Pohon beringin

 

Sewaktu Jepang menyerang "Hindia Belanda"engku, saudara ibu saya datang ke
Batavia dan menganjurkan kami kembali ke Surabaya. Beliau punya pabrik di
Wonokromo. Kami tinggal disitu kira-kira sebulan, karena ayah saya berasa
tidak enak tinggal dibesannya, apalagi sebagai seorang yang konservative.
Maka kami lalu mengungsi ke Blitar, tinggal dirumahnya  Tuaku (Wahkoh bahasa
Tionghoa Melayoe, kakak perempuan dari ayah). Beliau membuka kantor lelangan
dan kenal baik dengan Bupati (regent, bahasa Belanda) Blitar. 

            Rumahnya  besar dijalan stationstraat nomor 1, rumahnya dengan
architektur chas kolonial. Disitu sudah ada dua keluarga yang juga ngungsi
dirumah beliau. Untungnya rumahnya tuaku luas dan banyak kamar-kamarnya
sehingga kita sekeluarga masih bisa dapat satu kamar besar., apalagi ayah
saya adalah saudara yang paling tua  sesudah tuaku, sehinga yang lain harus
mengalah.

            Didepan rumahnya terdapat kebun yang besar dan banyak
bunga-bunga beraneka warna. Dibelakang rumahnya ada sungai kecil, bersih dan
aku sering kesana bermain main. Tuaku mempunyai perusahaan lelang dan
catering. Tuaku kenal baik dengan regent Biltar, seorang Indonesia yang
sering berkunjung kerumah naik sepeda, mereka sambil berbincang bincang
mengenai topik yang aktuil dan makan minum. 

            Aku kadang kadang dijak ke kantornya dan didepannya ada suatu
pohon yang besar, orang dahulu mengatakan pohon Waringin. Sekarang namanya
Pohon Beringin dan orang Blitar namakan pohon Ringin. Di rumah kantor Pak
regent itu pohon ringin memberikan keteduhan (pengiyupan) hampir seluruh
kebun yang besar. Pohon Ringin merupahkan seperti pohon beuk di
Belanda/Eropa namun lebih besar dan kuat kelihatannya, juga kalau
dibandingkan dengan pohon beuk yang tua. Dahan dahannya bercabang cabang
luas  dengan daunnya yang hijau, licin dan bersinar merapat saking
banyaknya. Ini menunjukkan ke cantikannya, kedahsyatannya dan kelebatan dari
pohon diatasnya. 

            Puluhan, bahkan ratusan akar-akar besar dan kecil,
panjang-panjang keluar dari dahan dahannya, turun dari atas kebawa  dan
melekat dengan kuatnya. Dahan yang berturunan itu begitu besarnya dan
luwesnya seperti puluhan ular-ular besar merambat  didahan pokoknya, sampai
kadang-kadang hampir tidak kelihatan lagi dahan pokoknya. 

            Pohon beringin ini di Jawa  dianggap pohon yang sangat unik dan
orang Jawa menganggap pohon ini "angker". Kebanyakan rumah rumah tanggah
tidak berani menanamnya karena pohon Beringin selalu ditinggali oleh  jiwa
supernatural. 

Aku  melihat dibawanya ada bunga bunga mawar dan melati, mereka menerangkan
padaku bahwa bunga bunga itu untuk mohon pada jiwa supernatural dari pohon
beringin  agar jangan menganggu manusia bahkan melindunginya. 

            Biasanya pohon beringin pada jaman "Tempo Doeloe" terdapat di
kantor kantor pemerintah, regent, bupati, Wedono dan dialun-alun (lapangan
besar). Di alun-alun dibawa Pohon Beringin terdapat banyak orang berjualan
dan orang beristirahat untuk minum es, makan soto, bahmi d.l.l. Bahkan juga
ada orang yang tidur dengan nyenyaknya dibawa pengiyupan beringin
menghindari  sinar matahari. 

            Pohon Beringin ini memang sangat berguna bagi negara tropis
seperti Indonesia, baik untuk pengiyupan maupun untuk kesegaran hawa udara.
Sayang sekarang tidak begitu banyak lagi pohon pohon Beringin di Jawa,
ditebang untuk bangunan atau jalanan. Mungkin karena luasnya pohon ini yang
memakan ruangan yang diperlukan.

            Aku masih ingat dipandanganku meskipun sudah puluhan tahun
berlalu, aku duduk dengan teman-temanku melihat keaktivan orang-orang dan
hewan-hewan, burung darah yang membekur-bekur dibelakang burung darah
wanita, burung glatik, burung Peking dan burung gereja berterbangan dari
cabang ke cabang, lalu terbang kebawah untuk mencari makan. Orang-orang yang
berhenti sebentar sesudah jalan jauh. Penjual-penjual makanan dan snak kaki
lima yang repot meladeni klien-kliennya. Pada sore hari pemuda dan pemudi
bermain sport, jaman doeloe korfbal. Dan saya lihat sungai yang airnya
jernih mengalir tanpa hentinya, ini semua menunjukkan penghidupan dan
keaktifannya dialam Indonesia.

            Ingatan dahulu ini sudah bertempat tetap disuatu tempat
diotakku, ingatan yang indah-sedih bercampuran, ditambah lagi dengan
misteri-misteri penghidupan.  Semua ini sudah lalu seperti mengalirnya air
ke laut, Aku menerima ini semua dan aku nikmati hidup disini dan sekarang.
Aku anggap sejarah adalah " ilmu pengetahuan"  penghidupan jaman nenek
moyang kita, sebagai satu pengalaman dan dikembangkan, disesuaikan untuk
kesejahteraan anak cucu kita.

 

Dr. Han Hwie-Song

Breda, 18 -9 -2008

Kirim email ke