Miris memang bung, demokrasi di negara kita memang masih setengah hati.
Perlu tokoh nasional sejati yg benar-benar menyadari(seperti Gusdur tempo hari) 
serta menganggap orang Tionghua keturunan ialah bagian dari pluralisme etnis 
Indonesia. 
Penerapan demokrasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan dan bukan hanya 
slogan belaka!. 

salam.
Nainggolan.


--- On Mon, 10/13/08, ChanCT <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: ChanCT <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Pengakuan Setengah Hati Terhadap Penganut Khonghucu
To: "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Monday, October 13, 2008, 12:03 AM










    
            


http://desantara. org/v3/index2. php?option= 
com_content&task=view&id=470&pop=1&page=0&Itemid=53


  
  
    Pengakuan 
      Setengah Hati Terhadap Penganut Khonghucu 
    

    

  
  
    
      
      
      Oleh Mashuri 
       
      
      Keluarnya Surat Edaran (SE) Mendagri 470/336/SJ, tertanggal 
      24 Pebruari 2006, membangkitkan luapan puji yang tak terkira bagi 
penganut 
      Khonghucu di Surabaya. Betapa tidak, SE Mendagri itu, bagi mereka, adalah 
      satu-satunya pisau pemotong belenggu diskriminasi yang sudah lama 
membelit 
      mereka. SE Mendagri ini berisi pengakuan  Khonghucu sebagai salah 
      satu agama yang resmi di Indonesia.
      
      
Sebelumnya, pada era Orde Baru, penganut Khonghucu 
      merasa kesulitan mencantumkan kata Khonghucu ke dalam kolom agama di 
      atribusi kependudukan. Di Surabaya, ini menjadi pengalaman pahit oleh 
      siapapun yang berhubungan dengan aktifitas Komisariat Majelis Daerah 
(KMD) 
      Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Surabaya di Boen Boe Kapasan 
dan 
      MAKIN KMD Jawa Timur di Pak Kik Bio Jagalan pada paruh akhir tahun 
      2000-2002.
      
      Anly adalah salah satu contohnya. Nasib kependudukan Anly 
      Cenggana dan keluarganya dipersulit oleh Dispenduk Capil Pemkot Surabaya. 
      Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang belum genap 24 jam dicabut secara sepihak 
      oleh aparat Pemkot, serta Kartu Keluarga (KK) ditahan dan tak kunjung 
      diberikan kepada Anly. Alasannya cuma satu, kolom agama di KTP dan KK 
Anly 
      diisi Khonghucu. Tentu akan lain cerita jika Anly secara sukarela 
bersedia 
      “menukarkan” agama Khonghucunya atau mengkonversinya ke salah satu agama 
      yang dianggap resmi oleh Negara.
      
      Nasib serupa juga dialami oleh Budi Widjaya dan Charles. 
      Perkawinan Budi dengan Lanny dan Charles dengan  Suryawati tidak 
      diakui oleh Pemkot (Pemerintahan Kota) Surabaya. Waktu itu, status 
      perkawinan mereka belum mendapatkan legalitas dari Dispenduk Capil. Jalan 
      berliku terpaksa ditempuh kedua pasangan tersebut. Budi, misalnya, 
sekedar 
      untuk mendapatkan selembar akta perkawinan, harus melakukan gugatan 
      terlebih dahulu, mulai dari PTUN Surabaya, PTTN Jawa Timur hingga kasasi 
      ke Mahkamah Agung (MA). Untungnya, di tangan MA, putusan kasasi berpihak 
      kepada Budi-Lanny.
      
      Sebelum terbitnya SE Mendagri 2006, bagi penganut Khonghucu 
      yang ingin mendapatkan dokumen kependudukan harus mengkonversi agamanya 
ke 
      agama lain. Sebuah pilihan yang menyakitkan. Namun apa daya, pilihan ini 
      tidak mungkin ditolak kecuali semua urusan publik mereka akan berantakan. 
      Jika mereka memaksa mencantumkan Khonghucu ke dalam dokumen kependudukan, 
      secara defacto seluruh dokumen itu dianggap tidak ada (undocumented 
      persons) 
      
      
       Harapan Belaka
      
      Ternyata, harapan penganut Khonghucu di Kota Surabaya yang 
      begitu besar dengan lahirnya SE sekedar utopia. SE Mendagri seperti pisau 
      tumpul yang tidak mampu memutus tali diskriminasi. Surat ini tidak 
      mempunyai kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan Pemkot Surabaya, yang 
      nota bene adalah bawahan Mendagri. Praktek diskriminasi terus terjadi dan 
      menimpa penganut Khonghucu di Surabaya. 
      
      Praktek diskriminasi ini terjadi ketika Pemkot Surabaya 
      berupaya menerjemahkan kebijakan kependudukan yang terkodifikasi dalam 
      Undang-Undang No 23 Tahun 2006. Sejak berlakunya UU tersebut, Sistem 
      Informasi dan Administrasi Kependudukan  (SIAK) mengarah pada pola 
      tertib kependudukan berbasis pada single identification number bagi 
      seluruh warganegara, termasuk umat Khonghucu. Salah satu kebutuhan SIAK 
      model baru ini adalah, sidik jari seluruh penduduk Kota Surabaya. Yang 
      membuat umat Khonghucu dan aktifis MAKIN heran adalah tidak adanya kolom 
      khusus agama Khonghuchu dalam dokumen yang harus diisi. Formatnya nyaris 
      sama dengan format sebelumnya. Dalam daftar isian di kolom  agama 
      hanya dicantumkan lima agama ditambah satu kolom yang berisi kata, “agama 
      lain”. Bagi penganut Khonghucu kolom ini membingungkan sekaligus 
      menjengkelkan .Namun, begitu ditanya atas kejanggalan ini, petugas 
      pelayanan publik di Surabaya dengan enteng menjawabnya: “salah cetak”, 
      “taruh atau isi saja di kolom agama lain”, “kalau merubah harus tender 
      lagi”. 
      
      
      Ternyata legalitas Khonghucu masih diakui setengah 
      hati.[DEPORT] 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke