Bung Fy Zhou, Bu Melani Chia dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Nimbrung dikit ajah ya.

Sistem ranking di sekolah, semasa saya SD THHK dulu, kayaknya cuma 
ada untuk 'kelakuan', dinilai dengan A, B, C, D, E. Jadi, bisa saja nilai pe-
lajaran bagus tapi nilai kelakuan E. Tapi ini sangat jarang terjadi, biasa-
nya 'hao xie-shen' (murid baik) ya bagus pelajarannya, bagus juga kela-
kuannya. Cuma hao-xie-shen bisa jadi ketua kelas, suatu kebanggaan.

Lalu ada ranking untuk keseluruhan, pelajaran + kelakuan (budi pekerti?) 
yang cuma diberikan juara 1 s/d 3 saja, kalau tak salah.

Waktu anak-anak saya masih SD-SMP, di sekolah BHK - Bunda Hati Ku-
dus, kayaknya ada sistem ranking 'resmi', dicantumkan di rapor, dari mu-
lai nomor 1 sampai dengan nomor akhir sesuai jumlah muridnya. Paling 
nanti yang dibanggakan adalah 10 besar, misalnya. Atau 3 atau 5 besar. 

Gurunya suka kebingungan kalau ada 2-3 orang murid yang sama total 
nilai ujiannya, sebab cuma dibandingkan total nilai saja, tanpa menilai ke-
lakuan (budi pekerti). Anak saya yang kedua pernah protes karena dibe-
ri ranking ke-2, padahal nilainya sama dengan yang ranking ke-1.

Kalau ndak salah, lantas ada masukan dari orangtua murid, sistem peran-
kingan banyak negatipnya, membuat si murid 'patah semangat' kalau dia
mendapat ranking 15 ke atas. Setelah dipertimbangkan, kayaknya lantas 
sistem ranking di rapor dihapus. Secara resmi tidak ada lagi ranking, tapi 
secara tak resmi memang diumumkan 10 besar. Kalau ndak salah biasa-
nya 10 besar itu yang rapornya dibagikan pertama. Ndak usah ditanya ju-
ga sudah tahu jadinya.

Kenapa akhirnya sekolah setuju tidak memberi ranking yang ditulis resmi 
di rapor? Sebab mayoritas orangtua tidak setuju. Jelas, dari 150 murid da-
lam satu tingkatan kelas, tentu cuma 30-50 murid yang masuk 10 besar 
toh? Mayoritas adalah yang diluar 10 besar itu. Bener ndak?

Saya setuju bahwa tidak perlu ranking begitu, walau ada sisi baiknya, tapi 
lebih banyak lagi sisi tak baiknya. Anak-anak menjadi stress, dikejar-kejar 
orangtua yang cuma berambisi menjadikan anaknya mendapat ranking, ja-
di cuma nguber nilai, kadang dengan cara yang salah: mencari bocoran ba-
han ujian. Mestinya, sekolah itu yang paling penting adalah mendidik anak 
supaya mengerti, memahami makna pelajaran, bukan nilainya yang utama. 

Nilai sih cuma sebagai akibat saja, kalau anak-anak mengerti dan mema-
hami pelajarannya, otomatis nilainya bagus toh? Tapi, tentu saja ini sih cu-
ma pendapat dari seorang tuwek yang awam. Jangan dijadikan bahan acuan
ataupun perdebatan. Hehehe....... kepala sama hitam, pendapat bisa beda.

Kalau ndak salah, sekolah di Singapura juga mengenal ranking, ini untuk 
memudahkan sistem penyaringan masuk ke jenjang sekolah berikutnya. 
Kalau anak-2 dengan nilai bagus, uniknya, makin bagus makin kecil total 
nilainya, mereka berhak mendapatkan sekolah lanjutannya dalam ranking 
yang tinggi pula. Sekolah di sana diberi ranking sesuai prestasi murid-mu-
ridnya. Bisa berubah setiap saat sesuai hasil ujian akhir para muridnya. Ja-
di murid-murid dan guru-gurunya bersaing untuk menjadi paling baik.

Saya agak lupa sistem mereka membuat nilai yang makin kecil justru ma-
kin baik. Tapi, kalau anak-anak anda mendapat nilai bagus, ndak usah ku-
atir untuk melanjutkan sekolah di Singapura. Semua sekolah saling terhu-
bung. Jadi begitu nama anak anda 'bunyi' dengan nilai bagus, otomatis se-
kolah yang lain tahu. Mereka akan berlumba-lumba menawarkan anak an-
da untuk gabung di sekolahnya, misal dari SD ke SMP, SMP ke SMA. 

Sistem bersaing sesama sekolah begini dilakukan dengan fair, bukan de-
ngan cara 'katrol' nilai supaya bisa membanggakan sekolahnya. Beasiswa 
juga diberikan kepada anak-2 dengan nilai bagus, tidak peduli berlatar be-
lakang ekonomi rendah atau tinggi. May the best takes it all?

Anak saya pernah ikut beasiswa yang ditawarkan dari MOE - minister of 
education Singapura, waktu itu dia baru naik ke kelas 3 SMP, dari sekolah-
nya hanya dikirim 4 atau 5 orang yang dipilih berdasarkan hasil terbaik. 
Waktu ikut test, ada serombongan anak sekitar 40 orang mewakili satu 
sekolah yang sama dari Jakarta Timur (tidak usah disebut namanya ya), 
betapa hebatnya tu sekolah, karena ada 40 murid terbaiknya toh. Seko-
lah lain paling banyak sekitar 6-8 orang saja.

Ternyata yang 40 orang itu tidak satupun ada yang lolos saringan. Mung-
kin gurunya anggap, masak dari 40 orang tak satupun yang lolos. Itulah 
bedanya sistem mereka. Mereka cukup ketat dalam penilaian, boleh dibi-
lang 'no mercy'. Bahkan kesehatan anak-anak diperiksa terus tiap hari. 
Yang OW - over weight ketika ditimbang pagi hari, hukumannya lari pu-
tar lapangan di sekolah. Menyehatkan sekaligus memalukan toh.

Tapi sebaliknya juga ada, seorang murid dari 3 yang diterima dari seko-
lah yang sama, mengundurkan diri, batal setelah lulus test beasiswanya.
Sebab orangtuanya mau supaya anaknya lulus SMP dulu (dapat ijasah, se-
mentara anak saya belum ikut ujian kelas 3 SMP, jadi ndak punya ijasah)
baru ikut test lagi. Ternyata tahun berikutnya dia lulus test beasiswa da-
ri MOE juga. The real diamond will always shine, jeh!

Kalau anak-anak anda mau kuliah di Singapura, mungkin ada baiknya
anak-anak anda masuk dari SMA di sana. Agak sulit untuk ikut test ma-
suk perguruan tinggi di sana kalau anak-anak lulus SMA-nya dari Indo-
nesia, kecuali memang benar-benar dari BOB - best of the best. Apala-
gi kalau mau mendapatkan beasiswa. Mereka cukup mengenal sistem
ujian akhir dengan 'katrol' ala sekolah kita. Sudah mashur rupanya ya.

Yang unik, bagaimanapun juga, sekolah di Jakarta rata-rata untuk math
mungkin lebih baik (walau tergantung muridnya juga), sebab tingkat pe-
ngajaran math di Indo sedikit lebih tinggi dari sekolah di Singapura. Pe-
lajaran di kelas 3 mereka, misalnya, sama dengan pelajaran di kelas 2
di sekolah Jakarta. Yang nampak nyata kurang dari sekolah kita adalah
'inisiatip'. Anak-anak kita sudah dilatih untuk 'nrimo' tanpa ada kebebas-
an mengeluarkan pendapat, nampaknya ya. Banyak pasipnya dari aktip.

Begitulah saja kira-kira sedikit berbagi pengalaman, kiranya ada manfaat
yang dapat anda terima. 

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Fy Zhou <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Memang saya dengar ada yang pakai, keponakan saya ada yang pakai ada yang 
tidak. 
dulu waktu saya smp dan sma tak ada. mungkinkah ini terserah sekolahannya? 
  
 
--- On Mon, 10/13/08, melani chia <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
 
From: melani chia <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Ooops, Sorry, Mestinya 1966. (Was: Jangan 
Lupakan 
Sekolah Chung Chen.)
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Monday, October 13, 2008, 2:23 PM
 
  
 
 
 
 
sistim rangking ada disekolah bhs Indonesia,dari tingkat SD sampe SMA,
sampe th 90an lihat rapor keponakan masih ada,
sekarang kurang tau.
 
 
 --- On Mon, 13/10/08, Fy Zhou <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:
 
From: Fy Zhou <[EMAIL PROTECTED] com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Ooops, Sorry, Mestinya 1966. (Was: Jangan 
Lupakan 
Sekolah Chung Chen.)
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Date: Monday, 13 October, 2008, 6:29 PM
 
 
Ada sebuah tradisi di sekolah Tionghoa, yakni selalu menuliskan rangking si 
anak dalam 
rapornya. hal ini saya lihat tak menjadi hal umum di sekolah2 Indonesia. entah 
pertimbangnnya apa?
 



Kirim email ke