MENCARI TONGKAT ESTAFET 

BAPAK BANGSA YANG HILANG[1]

Oleh  : Seruni Ambarkasih[2]

 

 

Kepada yang saya hormati 

Segenap Panitia Penyelenggara acara ini,

Segenap hadirin sekalian

 

Assalamuaalaikum ww.

Tahun 2008 ini memang merupakan tahun istimewa, karena bertepatan dengan satu 
abad peristiwa Kebangkitan Nasional, sepuluh windu Sumpah Pemuda dan 63 tahun 
Proklamasi Kemerdekaan RI. Ibarat manusia, usianya sudah tua dan para Bapak 
Bangsa atau founding fathers yang mencetuskannya juga sudah wafat semua. 

Karena itulah saya sebagai generasi yang ke sekian dari para Bapak Bangsa ingin 
menyebut diri sebagai cucu anak bangsa. Sebagaimana kita maklumi, Wahidin 
Sudirohusodo, Soetomo dan lain-lain pada 20 Mei 1908 di Jakarta telah 
memelopori mengajak bangsanya untuk bangkit dan menyadari dirinya sebagai 
bangsa yang masih terjajah. Dan hari itulah yang kemudian kita kenang sebagai 
Hari Kebangkitan Nasional. 

Duapuluh tahun kemudian disusul dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 
Oktober 1928, juga di Jakarta, di mana para pemuda dari berbagai pelosok dan 
golongan, seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon dan Jong-Jong lainnya 
dari seluruh Nusantara bersumpah mengaku  bertanahair  satu, berbangsa satu dan 
dengan satu bahasa persatuan, yakni tanahair, bangsa dan bahasa Indonesia. 

Dan tujuhbelas tahun kemudian, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan 
bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, pada 1 Juni 1945, Soekarno 
memperkenalkan hasil galiannya yang kemudian dijadikan sebagai dasar negara dan 
falsafah bangsa yakni Pancasila.  Inilah tonggak-tonggak penting yang telah 
dipancangkan oleh para Bapak Bangsa dan merupakan warisan yang amat mulia dan 
amat penting artinya bagi segenap komponen anak bangsa, karena apa yang mereka 
wariskan bukanlah harta kekayaan melainkan kesadaran nasional untuk bangkit 
melawan penjajahan, penetapan dasar negara dan filosofi untuk hidup berbangsa 
dan bernegara serta meneruskan perjuangan. Karena itu kata ?warisan? yang 
berkonotasi statis saya ganti saja dengan kata ?tongkat estafet? yang lebih 
dinamis. Dan sebagai generasi penerus atau cucu dan cicit mereka, saya merasa 
terpanggil untuk menjadikan tongkat estafet yang sangat berharga tersebut 
sebagai pegangan dan pedoman hidup, agar saya mengetahui ke arah mana melangkah 
guna menyongsong hari depan dan mengabdikan diri untuk meneruskan perjoangan 
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari anak bangsa dalam melaksanakan tugas 
sejarahnya. 

Masalahnya, baik Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Pancasila maupun 
Proklamasi Kemerdekaan yang telah dicetuskan para Bapak Bangsa tersebut kini 
seperti kapal oleng di tengah laut yang hilang-hilang tampak karena diterpa 
badai. Kebangkitan Nasional telah kehilangan rohnya karena diterpa sentimen 
primordial seperti konflik antarkelompok, antaragama, antargolongan, antaretnis 
dan berbagai perpecahan lainnya sehingga kita mengalami kebangkrutan nasional. 
Demikian juga Sumpah Pemuda. Kata ?satu? telah mengalami pembiasan karena 
adanya konspirasi kelompok-kelompok yang ingin membangun tanahair sendiri, 
bangsa sendiri dengan bahasa sendiri lepas dari keindonesiaannya sebagai akibat 
lebih lanjut dari proses kebangkrutan nasional tersebut. Cita-cita demokrasi 
yang pluralis heterogen sedang dibelokkan ke cita-cita teokrasi yang 
fundamentalis dan homogen. 

Nasib Pancasila pun telah menjadi kendaraan politik. Sebagai contoh, pada 1 
Juni 2008 lalu di Monumen Nasional bukan diperingati dengan khidmat tapi malah 
terjadi tawuran antarkelompok dengan penthungan. Pancasila berubah menjadi 
penthung dalam rangka main hakim sendiri. Tampaknya kalau selama pemerintahan 
Orde Baru Pancasila dijadikan kuda lumping kini di era Reformasi dijadikan kuda 
sado. Lain kali bisa menjadi kuda Troya. Pancasila telah kehilangan rohnya 
sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara. Para cucu bangsa bahkan 
bingung mencarinya apakah Pancasila masih ada dalam arti seperti ketika baru 
digali dan diajarkan oleh Bung Karno atau tinggal sebagai slogan kosong. Saya 
pernah mencarinya sampai ke museum barangkali ada di sana. Ketika saya mencari 
di Monumen Nasional, yang saya temukan hanya Kesaktian Pancasila ajaran Pak 
Harto. Sementara itu kita sedang dijajah kembali oleh bangsa sendiri meskipun 
Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini. Bung 
Karno mengajarkan Berdikari, Bung Hatta mengajarkan koperasi tetapi keduanya 
ditilep oleh kroni ajaran Pak Harto. Dan kini, di era reformasi diperparah lagi 
dengan terbongkarnya kasus-kasus korupsi berjamaah yang sebenarnya sudah lama 
berlangsung.

Jadi apa lagi yang masih tersisa dan layak untuk saya pegang sebagai tongkat 
estafet ketika kesemuanya telah rusak berkeping-keping seperti korban mutilasi? 
Inilah renungan pokok seorang cucu bangsa yang semoga dalam acara Bersulang 
Tanah Air ini ada  anak bangsa dapat memberikan masukan. Terima kasih. ***



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Tulisan ini disampaikan pada acara ?BERSULANG TANAHAIR? yang 
diselenggarakan oleh Majalah Sinergi Indonesia dan Solidaritas Nusa Bangsa 
dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, 80 Tahun Hari 
Sumpah Pemuda dan 63 Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI. Tulisan ini merupakan 
pendapat pribadi.

[2] Seruni Ambarkasih, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Kirim email ke