TAK HANYA MEMAKNAI, WHAT NEXT??

Ronald Susilo

Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga

Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IP-PSMTI)

 

Kemerdekaan itu tidak mudah didapat. Apa yang sudah diperjuangkan oleh para 
bapak bangsa kita di tahun 1908 itu tidak mudah. Bayangkan saja pada saat itu 
tidak semua orang menikmati pendidikan seperti yang kita alami sekarang. 
Bagaimana para bapak bangsa mengajak sesamanya pada saat itu untuk bersama-sama 
memikirkan dan kemudian mewujudkan kesadaran berbangsa dan bernegara dapat 
terwujud adalah suatu hal yang mustahil. Itu pemikiran kita sekarang. Tetapi, 
bagi mereka bukan masalah. Tindakan nyata dan semangat pantang menyerah akan 
mengatasi semua itu. Kira-kira itulah yang akan dikatakan mereka untuk 
menghilangkan kerutan di dahi kita akan ketidakmungkinan tersebut. Nah, untuk 
kita sekarang, berhentilah berbicara mengenai makna entah itu makna Kebangkitan 
Nasional, makna Sumpah Pemuda bahkan makna Reformasi. Sekali lagi berhentilah 
berbicara mengenai makna. Makna sekarang ini hanya akan menjadi suatu hal yang 
bersifat seremonial. Akan sama artinya dengan makna Ulang Tahun seseorang 
bahkan mungkin makna sebuah hari Valentin, selesai makan-makan pulang. 
Merayakan si merayakan acaranya tetapi selanjutnya apa? What next? Kita, 
sebagai generasi pendiri bangsa dan negara, maupun generasi pemelihara dan 
penerus bangsa, tentunya tidak boleh lagi hanya berhenti sebatas memaknai 
peristiwa-peristiwa besar tersebut. Berbicara mengenai makna hanya akan menjadi 
sebuah konsep yang tidak membumi lagi. Sekarang saatnya kita tunjukkan tindakan 
nyata untuk mengisi hari-hari untuk membangun suatu semangat pantang menyerah 
guna tercapainya negara Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat.

Peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928 yang dikumandangkan oleh para pemuda 
haruslah menjadi cambuk buat kita untuk sadar bahwa hanya persatuan dan 
kesatuanlah yang akan membuat tindakan nyata kita terwujud. Berhentilah 
berbicara mengenai suku, ras, bahkan agama. Berhentilah berbicara mengenai 
kepentingan golongan masing-masing. Sudah bukan saatnya lagi. Kalau ada yang 
bertanya, ?Anda orang mana?? jawaban tegas harus kita berikan, ?Saya orang 
Indonesia!? bukan malah menjawab,  ?Saya orang Jawa?,  atau ?Saya orang 
Tionghoa?. Harus selalu ingat bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan negara 
kita yang begitu indah. Indahnya karena Ika-nya bukan Bhineka-nya sebab karena 
kalau berbeda-beda dan terpisah-pisah tidak ada istimewanya sama sekali bahkan 
itu sesuatu yang lumrah, tetapi justru karena kita berbeda-beda dan dapat 
menjadi satu itulah yang istimewa. Sehingga cita-cita negara kita, negara 
Indonesia yang mempunyai satu kesatuan dari Sabang sampai Marauke tetap 
merupakan cita-cita kita bersama.

Anda tentu masih ingat kata-kata salah satu founding father Republik Indonesia, 
Bung Karno, ?One for All, All for One, All for All?. Kata-kata ini hendaklah 
dijadikan dasar pemikiran kita dewasa ini. Dasar bagi berbangsa dan bernegara 
yang dibuat oleh para pendahulu kita bukanlah dasar yang lemah. Dasar yang 
mereka buat adalah dasar yang sangat kuat dan kokoh. Sesungguhnya kita tinggal 
membangun saja. Kita tinggal meng-?upaya?-kan bagunan di atas dasar tersebut. 
Kira-kira itulah kata Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama yang selalu 
mengkritisi persoalan sosial dan politik demi kecintaannya yang besar akan 
negara Indonesia.

Kemerdekaan itu tidak murah. Begitu banyak hal yang telah dilalui bangsa kita 
ini untuk membayar nilai kemerdekaan yang telah kita dapatkan. Tetapi 
pertanyaan yang timbul seketika, apakah kita sudah benar-benar merdeka di dalam 
negara kita sendiri? Masih begitu banyak para koruptor yang ?menjajah? negara 
kita. Mereka yang menimbulkan utang, negara alias rakyat yang harus membayar. 
Itu namanya kolonialisme. Kita belum merdeka. Dalam bidang politik, yang ingin 
berkuasa seakan-akan berhak membawa seluruh anggota keluarga untuk memimpin 
satu kerajaan Indonesia. Bahkan kalau perlu tukang kebun dan tukang-tukang yang 
lain pun akan dimasukkan untuk memimpin kerajaannya. Ini bukan zaman kerajaan 
lagi, Bung! Berhentilah untuk mementingkan kepentingan pribadi. Ingatlah hal 
ini sudah pernah terjadi dan hasilnya adalah kehancuran kita di tahun 1998. 

Mengenang 10 tahun Peristiwa Reformasi masih banyak hal yang perlu dikembalikan 
lagi ke jalur yang sesuai. Sebab reformasi atau perubahan itu bisa banyak hal. 
Ke arah yang lebih baik atau buruk. Sebagai contoh sebelum reformasi kita belum 
begitu berani berbicara bahkan mendengar kata Pengadilan Negeri saja kita sudah 
merinding. Sekarang, semua orang sudah lebih berani. Berani untuk apa? Apa saja 
yang penting tidak merugikan kelompok sendiri. Sehingga kita tiba-tiba 
dikejutkan dengan kasus penusukan dan pembunuhan di sebuah ruangan lantai tiga 
Gedung Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat. Emangnya itu tempat underground bagi 
para bandit seperti yang terlihat di film-film? Menakjubkan!! Itulah kira-kira 
hasil reformasi yang sudah berjalan 10 tahun di negara ini. Hukum harus kembali 
ditegakkan dalam rangka pendewasaan masyarakat sehingga benar-benar siap hidup 
dalam alam demokrasi dengan nilai-nilai kemanusiaannya yang universal.

Memaknai ketiga peristiwa besar ini yakni, 100 tahunnya Peristiwa Kebangkitan 
Nasional, 10 windunya Peristiwa Sumpah Pemuda, dan 10 tahunnya Peristiwa 
Reformasi Indonesia, tidak dengan sendirinya merubah nasib atau keadaan suatu 
bangsa, kecuali perubahan itu atau keadaan yang lebih baik itu diupayakan lewat 
tindakan konkret. Dan, ?upaya? seperti itu sesungguhnya dapat dilakukan kapan 
saja. Suatu bangsa dapat mengubah nasibnya, keadaanya kapan saja??Ya, kapan 
saja. Semoga.

 

 

 

 

Kirim email ke