RRS,

Sebagai tambahan mengenai Gedung Kapitan Cina Oey Djie San (masa 
jabatan 1907-1916) di Karawaci Bedeng ini.

Karena status kepemilikannya sebagai kediaman pejabat Tionghoa yang 
diangkat Belanda (Chineesche Officieren)―dalam hal ini Kapitan 
Cina―bangunan itu diperbolehkan mempunyai sepasang singa batu (cioq-
sai石獅), bukan kilin éº'麟, di depannya serta bentuk bubungan atap 
bergaya Ekor Walet (Yanbue heng 燕尾形). Bentuk atap ini ditandai 
dengan kedua ujung bubungannya yang mencuat ke atas macam ujung 
bubungan atap kelenteng. 

Seperti yang mungkin pernah saya singgung sebelumnya, di masa lalu, 
hingga akhir dinasti Qing (1644-1911), berlaku ketentuan: sepasang 
singa batu dan atap bubungan bergaya Ekor Walet merupakan privilege 
dan hanya boleh dipakai pada bangunan pemerintahan, kediaman pejabat 
pemerintah, serta bangunan peribadahan (kelenteng dsb). Rumah rakyat 
biasa tidak diperkenankan. Mereka hanya boleh memakai atap bubungan 
bergaya Pelana (Bepue Heng 馬背形) dan tidak memakai sepasang singa 
batu. Bentuk atap seperti ini banyak kita kita jumpai pada rumah-
rumah-toko (ruko) Tionghoa yang masih tersisa di sepanjang Angke, 
Jembatan Lima, Patekoan, Jiq Lak Keng, Kongsi Besar, Tongkangan, 
Petak Baru, Pasar Pagi, Pasar Gelap, Toko Tiga-Toko Tiga Sebrang, 
Blandongan, Pintu Kecil, Gang Burung, Jembatan Batu, Pinangsia; juga 
di Jatinegara. Yang di kawasan Tanah Abang dan Senen sudah musnah 
semasa orde babe berkuasa. Yang bergaya Ekor Walet bisa dihitung 
dengan jari: Gedung Majoor Khouw Kim An 許é‡`安 (Candra Naya) di 
Gajah Mada yang sudah rusak, Gedung Luitenant Souw Thian Pie蘇天庇 
(masa jabatan 1848-1860) dan kedua putranya Luitenant Titulair Souw 
Siauw Tjong 蘇紹宗 (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant Souw Siauw 
Keng 蘇紹ç¶" (masa jabatan 1897-1913) di Patekoan (sejak orde babe: 
Perniagaan), gedung yang kini dijadikan bangunan gereja Santa Maria 
de Fatima di Toasebio (sejak orde babe: Kemurnian III) dan tentunya 
Gedung Oey Djie San ini. Selain itu juga, gedung sekolah negeri di 
Pejagalan (atapnya terlihat jelas dari jalan layang Jembatan Lima-
Pintu Besar Utara), gedung seputar (depan?) Pertokoan Chandra di 
Pancoran, yang hanya bisa terlihat jelas dari lapangan parkir di 
belakangnya, dan Toko Lautan Mas di Toko Tiga. Dua yang disebut 
terakhir ini rupanya oleh pemiliknya sengaja “dipatahkan” Ekor 
Waletnya yang ujungnya terbelah dua, supaya terkesan mirip Pelana, 
yang sebenarnya lebih rendah status sosialnya.

Oleh sebab sangat sedikitnya bangunan bergaya atap ekor Walet, 
selain kelenteng-kelenteng, di Jakarta, masyarakat lebih mengenal 
bangunan bergaya Ekor Walet sebagai bangunan kelenteng, sehingga ada 
beberapa pihak yang “alergi” kalau rumahnya dibilang “mirip 
kelenteng”. Akibatnya terjadilah: ujung bubungan atap Ekor Walet 
sengaja “dipatahkan”, agar tampak mirip dengan Pelana!!! Ironis, 
bukan?

Selain itu, paseban yang terletak di muka gedung ini, bukan 
belakang―yang menghadap kali Cisadane―mempunyai ukiran cukup indah, 
meski barangkali masih di bawah ukiran paseban Candra Naya, yang 
juga sudah lenyap. Itulah sebabnya, pasebannya dipereteli dengan 
hati-hati, untuk kemudian dipindahkan ke lahan entah kolektor barang 
antik mana di Jakarta Selatan... Memasang kembali kerangka kayu 
sebuah paseban memang mudah, entah bagaimana dengan memasang kembali 
atap Ekor Waletnya yang terbuat dari semen. Bila kita perhatikan 
Ekor Walet sebuah bangunan tradisional, misalnya Gedung Keluarga 
Souw, maka akan kita dapati Ekor Waletnya membentuk busur yang 
luwes, bukan sebuah garis lurus yang tiba-tiba dicuatkan kedua 
ujungnya begitu saja! Berbeda jauh dengan kebanyakan Ekor Walet 
buatan sekarang, yang tampak kaku, sebab bukan dikerjakan oleh 
ahlinya.

Kiongchiu,
DK

Kirim email ke