Konferensi pers yang membahas pembongkaran Rumah Perkebunan Karet di
Karawaci Tangerang akan diadakan pada

Hari / Tanggal:     Rabu, 10 Desember 2008
Waktu         :     13:00 - 14:00
Tempat        :     Bakoel Koffie, Jl Cikini Raya No 25, Jakarta Pusat
                    (seberang pertokoan Menteng Huis Cikini)

Acara         :     
Penjelasan sisi sejarah dari pakar :
            Bapak Budi Lim (Arsitek)
            Ibu Myra Sidharta (Pemerhati masalah sosial budaya)
            Ibu Mona Lohanda (Penulis sejarah)
            Bapak Adolf Heuken, SJ (Penulis sejarah Jakarta)
            Bapak Yori Antar (Arsitek)

            Presentasi keadaan terkini dan tanya jawab

Juga akan dibagikan pernyataan dari Ronald Knapp dan para pakar
lainnya. Terima kasih untuk David heng atas dukungannya.

Sebagian ulasan media dapat dilihat di link dibawah ini :
http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/07/unprotected-chinese-indisch-buildings-razed-tangerang.html
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDgzNTM=
http://indonesianhistorical.multiply.com/journal/item/3/Sebelum_Tinggal_Puing

Status terakhir dapat dilihat di http://indonesianhistorical.multiply.com

Salam

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> RRS,
> 
> Tak heran yang diincar orang hanya bangunan yang berlanggam Cina, 
> bukan yang Indisch, sebab bangunan inilah yang kaya ornamen ukir-
> ukiran yang indah, utamanya paseban yang rangka atapnya berukir 
> indah, pintu dan jendela sebelah dalamnya yang merupakan lattice 
> work. Di satu pihak ada keluarga yang diwarisi gedung sedemikian 
> indah berikut lahannya yang luas dan satu-satunya di Indonesia namun 
> sama sekali tak menghargainya, dan lebih menghargai nilai ekonomis 
> lahannya, di lain pihak ada pihak yang sangat menghargai keindahan 
> ornamen-ornamennya dan ingin menguasainya. Maka gayung pun 
> bersambut, jadilah kejadiannya seperti sekarang. Bertemulah kedua 
> kepentingan itu. Rumah dengan hati-hati dipreteli, untuk kemudian 
> diambili ornamen-ornamennya, sisanya yang tidak bisa diambil, 
> dihancurkan. Kita tunggu saja, suatu saat nanti pasti dia akan 
> muncul sebagai koleksi salah satu kolektor antik yang memang sudah 
> mengincarnya sejak lama. Sayang ya?!
> 
> Salam prihatin,
> DK
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dipodipo" 
> <[EMAIL PROTECTED]:
> 
> Rekan semua,
> 
> Saya baru kembali dari Karawaci. Paseban sudah dibawa ke pangkalan 
> pedagangnya, jadi sudah habis semua. Dibagian dalam, beberapa pintu 
> besar (pintu yang terdiri dari 2 daun pintu) sudah dibawa juga. 
> Pintu utama dan 2 jendela di depan masih utuh.
> 
> Jadi saat ini yang dijual hanya rumahnya saja, yang sudah dibongkar 
> adalah sisi bergaya Cina. Sisi bergaya Indische masih aman. 
> 
> Yang menyedihkan, kami memiliki dugaan kuat bahwa harga jual 
> bangunan itu masih tidak cukup untuk membeli sebuah Honda Jazz.
> 
> Salam
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" <david_kwa2003@> 
> wrote:
> 
> RRS,
> 
> Sebagai tambahan mengenai Gedung Kapitan Cina Oey Djie San (masa 
> jabatan 1907-1916) di Karawaci Bedeng ini.
> 
> Karena status kepemilikannya sebagai kediaman pejabat Tionghoa yang 
> diangkat Belanda (Chineesche Officieren)―dalam hal ini Kapitan 
> Cina―bangunan itu diperbolehkan mempunyai sepasang singa batu (cioq-
> sai 石獅), bukan kilin 麧麟, di depannya serta bentuk bubungan atap 
> bergaya Ekor Walet (Yanbue heng 燕尾形). Bentuk atap ini ditandai 
> dengan kedua ujung bubungannya yang mencuat ke atas macam ujung 
> bubungan atap kelenteng. 
> 
> Seperti yang mungkin pernah saya singgung sebelumnya, di masa lalu, 
> hingga akhir dinasti Qing (1644-1911), berlaku ketentuan: sepasang 
> singa batu dan atap bubungan bergaya Ekor Walet merupakan privilege 
> dan hanya boleh dipakai pada bangunan pemerintahan, kediaman pejabat 
> pemerintah, serta bangunan peribadahan (kelenteng dsb). Rumah rakyat 
> biasa tidak diperkenankan. Mereka hanya boleh memakai atap bubungan 
> bergaya Pelana (Bepue Heng 馬背形) dan tidak memakai sepasang singa 
> batu. Bentuk atap seperti ini banyak kita kita jumpai pada rumah-
> rumah-toko (ruko) Tionghoa yang masih tersisa di sepanjang Angke, 
> Jembatan Lima, Patekoan, Jiq Lak Keng, Kongsi Besar, Tongkangan, 
> Petak Baru, Pasar Pagi, Pasar Gelap, Toko Tiga-Toko Tiga Sebrang, 
> Blandongan, Pintu Kecil, Gang Burung, Jembatan Batu, Pinangsia; juga 
> di Jatinegara. Yang di kawasan Tanah Abang dan Senen sudah musnah 
> semasa orde babe berkuasa. Yang bergaya Ekor Walet bisa dihitung 
> dengan jari: Gedung Majoor Khouw Kim An è¨±é‡ å®‰ (Candra Naya) di 
> Gajah Mada yang sudah rusak, Gedung Luitenant Souw Thian Pie蘇天庇 
> (masa jabatan 1848-1860) dan kedua putranya Luitenant Titulair Souw 
> Siauw Tjong 蘇紹宗 (masa jabatan 1877-1898) dan Luitenant Souw Siauw 
> Keng 蘇紹ç¶"; (masa jabatan 1897-1913) di Patekoan (sejak orde babe: 
> Perniagaan), gedung yang kini dijadikan bangunan gereja Santa Maria 
> de Fatima di Toasebio (sejak orde babe: Kemurnian III) dan tentunya 
> Gedung Oey Djie San ini. Selain itu juga, gedung sekolah negeri di 
> Pejagalan (atapnya terlihat jelas dari jalan layang Jembatan Lima-
> Pintu Besar Utara), gedung seputar (depan?) Pertokoan Chandra di 
> Pancoran, yang hanya bisa terlihat jelas dari lapangan parkir di 
> belakangnya, dan Toko Lautan Mas di Toko Tiga. Dua yang disebut 
> terakhir ini rupanya oleh pemiliknya sengaja “dipatahkan” Ekor 
> Waletnya yang ujungnya terbelah dua, supaya terkesan mirip Pelana, 
> yang sebenarnya lebih rendah status sosialnya.
> 
> Oleh sebab sangat sedikitnya bangunan bergaya atap ekor Walet, 
> selain kelenteng-kelenteng, di Jakarta, masyarakat lebih mengenal 
> bangunan bergaya Ekor Walet sebagai bangunan kelenteng, sehingga ada 
> beberapa pihak yang “alergi” kalau rumahnya dibilang “mirip 
> kelenteng”. Akibatnya terjadilah: ujung bubungan atap Ekor Walet 
> sengaja “dipatahkan”, agar tampak mirip dengan Pelana!!! Ironis, 
> bukan?
> 
> Selain itu, paseban yang terletak di muka gedung ini, bukan 
> belakang―yang menghadap kali Cisadane―mempunyai ukiran cukup indah, 
> meski barangkali masih di bawah ukiran paseban Candra Naya, yang 
> juga sudah lenyap. Itulah sebabnya, pasebannya dipereteli dengan 
> hati-hati, untuk kemudian dipindahkan ke lahan entah kolektor barang 
> antik mana di Jakarta Selatan... Memasang kembali kerangka kayu 
> sebuah paseban memang mudah, entah bagaimana dengan memasang kembali 
> atap Ekor Waletnya yang terbuat dari semen. Bila kita perhatikan 
> Ekor Walet sebuah bangunan tradisional, misalnya Gedung Keluarga 
> Souw, maka akan kita dapati Ekor Waletnya membentuk busur yang 
> luwes, bukan sebuah garis lurus yang tiba-tiba dicuatkan kedua 
> ujungnya begitu saja! Berbeda jauh dengan kebanyakan Ekor Walet 
> buatan sekarang, yang tampak kaku, sebab bukan dikerjakan oleh 
> ahlinya.
> 
> Kiongchiu,
> DK
>


Reply via email to