Ning M. Widjaja wrote:
Belum lagi kasus raibnya banyak benda-benda antik di kelenteng-kelenteng tua 
yang tidak ada catatan dalam hal ini seperti Kwan Im Hud Couw Bio Banten yg 
telah saya kunjungi dan inapi sejak saya berumur 12 tahun, sekian tahun banyak 
barang berupa lukisan, gambar, patung, lian, furniture dan pernak-pernik altar 
yang hilang tanpa jejak ditambah lagi penambahan bangunan yang tidak 
mengindahkan keindahan dan fungsi yang baik, sekedar untuk menampung dana umat 
milyard demi milyard rupiah dan pekerjaan jasa konstruksi dan pembelian 
material yang tidak pernah diaudit.
 
DK:
Bahkan sebuah pian (Man. bian) 匾 (papan horizontal) berangka tahun Kong Si 光緒 
(Man. Guang Xu, 1875-1908) yang bertuliskan nama Kelenteng Ban Tek Ie (Man. 
Wande Yuan) 萬德院 pun tidak digantung di tempat yang mudah diakses, untuk 
diperlihatkan kepada umat. Akibatnya, umat hanya tahu nama kelenteng itu adalah 
Koan Im Hut Cou Bio 觀音佛祖廟, padahal sebenarnya Ban Tek Ie, seperti terbukti oleh 
adanya pian tersebut. Saat beberapa waktu lalu kunjungan owe ke Kelenteng Ban 
Tek Ie, secara tak sengaja owe menemukan beberapa pian tergeletak di lantai 
karena sedang dibersihkan―di antaranya pian papan nama kelenteng tersebut. 
 
Sungguh sayang memang, Kelenteng Ban Tek Ie 萬德院, aka Koan Im Hut Cou Bio 觀音佛祖廟 
atau Vihara Avalokitesvara Banten (sejak orde babe), yang sudah berusia ratusan 
tahun―bukan ribuan deng, sejak masa Kesultanan Banten (1524-1813)―harus 
mengalami terbakar ruang altar utamanya. Jadi, tidak seluruh bangunan terbakar. 
Menurut kabar, kebakaran terjadi pukul 4 subuh, saat di kelenteng tidak ada 
orang. Akibat kejadian tersebut, atap ruang altar utama runtuh, kimsin (Man. 
jinshen) 金身 (image) Koan Im Hut Cou 觀音佛祖 turut terbakar, namun tidak rubuh, 
apalagi hancur. 
 
Yang belum jelas, seberapa parah kerusakan yang dialami kimsin; apakah masih 
bisa diperbaiki? Mudah-mudahan saja kimsin masih bisa diselamatkan, karena 
kimsin tersebut sudah sangat tua, jauh lebih tua dari bangunan kelenteng yang 
sekarang, sebab kelenteng sebelumnya konon dibangun di Kampung Dermayon, 
sebelah selatan Masjid Agung Banten, pada 1652, semasa pemerintahan Sultan 
Ageng Tirtayasa (1651-1680). Kelenteng tersebut baru dipindahkan ke tempatnya 
sekarang di Kampung Pamarican, Desa Pabean, pada 1774, semasa pemerintahan 
Sultan Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799).
 
Nama Kelenteng Ban Tek Ie menjadi sangat terkenal sejak ke mana-mana terjadinya 
tsunami yang menyertai Meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Senin, 27 
Agustus 1883, yang letusannya terasa sampai ke Hawaii. Tsunami yang meminta 
korban ± 50.000 di pantai Banten dan Lampung. Menurut penuturan seorang saksi 
mata yang berhasil selamat, ketika itu ribuan orang dari berbagai bangsa yang 
mengungsi ke Kelenteng selamat dari bencana itu, karena Kelenteng tidak kena 
tsunami, bahkan air sama sekali tidak bisa memasuki Kelenteng!
 
Masalahnya sekarang, apakah pembangunan kembali ruang altar utama kelenteng 
akan tetap mempertahankan ciri-ciri gaya arsitektur Tiongkok selatan (Fujian, 
Taiwan dan Guangdong) yang kita kenal selama ini, dan tidak latah mengubahnya 
ke gaya arsitektur Tiongkok utara yang asal jadi, seperti yang 
terjadi―maaf―dengan Kelenteng Sam Poo Tong (Man. Sanbao Dong) 三寶洞 Semarang dan 
sebuah kelenteng lain―owe lupa namanya―juga di Semarang? 
 
Kenapa hal ini penting? Karena berdasarkan kunjungan owe dan salah seorang 
modie BT Sdr Ardian Zhang beberapa hari lalu ke beberapa kelenteng tua di 
Jakarta, nara sumber owe dari Malaysia yang ahli bangunan tradisional Tionghoa 
masih bisa mengenali gaya-gaya eksterior dan interior beberapa kelenteng 
tersebut. Apakah itu gaya Hokkian, Konghu atau Hinghua. Sebagian besar bangunan 
tersebut masih asli, dan kalau pun diperbaiki, masih mengikuti “pakem” aslinya. 
Di Malaysia juga Kelenteng Cheng Hoon Teng (Man. Qingyun Ting) 青雲亭 di Melaka 
telah dipugar dengan menggunakan tenaga ahli-ahli bangunan tradisional Tionghoa 
dari Hokkian, Tiongkok, dan hasilnya pun tidak mengecewakan. Keasliannya tetap 
terjaga, tidak seperti kelenteng-kelenteng tua kita yang banyak rusak karena 
penanganan yang asal jadi, sekadar daripada tidak ada! Ukiran yang dibuat pun 
sudah ala Jepara, bukan lagi Tionghoa, sebab tukang ukirnya dari Jepara, 
dll. Apakah nasib yang sama juga
 akan dialami oleh Kelenteng Ban Tek Ie setelah dipugar nanti? Apakah Kelenteng 
Ban Tek Ie kelak masih punya nilai historis, tidak sekadar megah bak istana 
Kota Terlarang di Beijing, dan bukan di Fujian, Taiwan atau Guangdong? Just 
wait and see!
 
Semoga kali ini kesalahan yang telah terjadi tidak terus diulang-ulang, karena 
ketidaktahuan dan juga ketidakpedulian kita terhadap bangunan-bangunan tua yang 
kita miliki. Semoga.
 
Kiongchiu sembari dipenuhi keprihatinan,
DK
 
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, agoeng_...@... wrote:
 
G setuju juga, adakah disini para auditor yg bersedia membantu adain penyuluhan 
ke para yayasan n klenteng2 tentang good governance? Dibantu ama para ahli 
hukum dan ahli pajak juga bakal lebih bagus.
 
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, agoeng_...@... wrote:
 
G setuju juga, adakah disini para auditor yg bersedia membantu adain penyuluhan 
ke para yayasan n klenteng2 tentang good governance? Dibantu ama para ahli 
hukum dan ahli pajak juga bakal lebih bagus.
 
-----Original Message-----
From: "Ning M. Widjaja" <nmw...@...
 
Date: Fri, 1 May 2009 09:29:23 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] info kebakaran di dalam vihara-Banten
 
Menyedihkan sekali ketika sahabat-sahabat dan saudara saya 3 hari lalu 
menceritakn kisah terbakarnya alatar Kwan Im Hid Couw Bio Banten.
 
Sudah saatnya masyarakat lebih menaruh perhatian pada kepengurusan 
kelenteng-kelenteng tua. Tidak di pungkiri aset dan liquiditas kas yang 
dikelola swakelola oleh para pengurus yayasan, locu dan bio kong jumlahnya 
sangat besar dan belum dikelola secara transparan dan akuntabel.
 
Belum lagi kasus raibnya banyak benda-benda antik di kelenteng-kelenteng tua 
yang tidak ada catatan dalam hal ini seperti Kwan Im Hud Couw Bio Banten yg 
telah saya kunjungi dan inapi sejak saya berumur 12 tahun, sekian tahun banyak 
barang berupa lukisan, gambar, patung, lian, furniture dan pernak-pernik altar 
yang hilang tanpa jejak ditambah lagi penambahan bangunan yang tidak 
mengindahkan keindahan dan fungsi yang baik, sekedar untuk menampung dana umat 
milyard demi milyard rupiah dan pekerjaan jasa konstruksi dan pembelian 
material yang tidak pernah diaudit.
 
Sayangnya lagi kesejahteraan dan pengurusan karyawan sangat diabaikan, sampai 
terakhirpun keperluan persembahan dan persembahyangan sudah banyak yang di 
sunat sampai sangat menyedihkan.
 
Mungkin sudah saatnya, kita semua sebagai pewaris legasi dari jasa-jasa para 
leluhur terdahulu, untuk bisa memperjuangkan keberlangsungan 
kelenteng-kelenteng dan dikelola secara baik dan benar dan terbuka.
 
Alangkah baiknya juga, bila dana kelenteng bisa di gunakan untuk kepentingan 
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya seperti pembangunan sekolah, 
puskesmas, klinik, panti jompo, balai pelatihan ketrampilan, lembaga pendidikan 
budaya dan tradisi dsb.
 
Ironis, kelenteng seperti Bio Banten ini yang mewah, dikelilingi oleh 
masyarakat yang amat sangat miskin baik dari kalangan penduduk daerah asli 
setempat maupun yang keturunan warga Tiong Hoa.
 
Mudah-mudahan bisa ada yang tergugah dan mulai melakukan perbaruan demi 
kebaikan yang lebih mulia.
 
Salam hormat,
(Masih Belajar Budi Pekerti)
 
2009/4/30 Jen Ku Luk <jenku...@...
 
Rekan-rekan semuanya,
Saya mendapatkan kiriman sms dari teman yang isinya bahwa Klenteng Dewi Kwan Im 
di Banten mengalami kebakaran di ruangan dalam,persisnya di altar yang 
menyebabkan patung Dewi Kwan Im juga ikut terbakar.
Adakah rekan yang berdomisili di daerah tersebut yang bisa memberikan informasi 
tsb benar/tidak?
Thank's a lot.
 
Aluk.



      

Reply via email to