Lebih ironis lg, banyak para " tokoh" tenglang berlomba2 dukung mendukung 
mereka bahkan dengan bangganya ikut promosi n cari dukungan dr tenglang 
laennya. Td di detik ada forum pemuda indo yg dukung JK-win, salah satu 
unsurnya disebut pemuda tionghoa. 
-----Original Message-----
From: zho...@yahoo.com

Date: Fri, 15 May 2009 10:52:24 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 -  Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?


Dua jendral yg seharusnya paling bertanggung jawab sekarang telah menjadi 
cawapres! 
Ironi demokrasi..

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "sunny" <am...@tele2.se>

Date: Fri, 15 May 2009 11:13:31 
To: <Undisclosed-Recipient:;><Invalid address>
Subject: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 -  Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?


Jawa Pos

 Rabu, 13 Mei 2009 ] 


Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 
Kapan Ada Keadilan untuk Korban? 

Oleh : Mustofa Liem

Para korban dan keluarganya pasti belum bisa melupakan Tragedi 13-15 Mei 1998 
di Jakarta. Meski sudah 11 tahun berlalu, tragedi itu tetap menjadi misteri 
yang menyisakan elegi bagi para korbannya.

Memang keberadaan negeri ini sudah lama kehilangan makna. Bagi para korban HAM, 
negara sudah lama absen. Ketika tragedi kelabu itu terjadi, tangisan, teriakan, 
dan jeritan frustrasi para korban tidak pernah didengar oleh negara, oleh 
pemerintah waktu itu, pemerintah yang menyusulnya kemudian sampai pemerintah di 
era sekarang. 

Memang sudah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No 
39/1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut 
Komnas HAM, telah terjadi perkosaan secara masal, sistematis, biadab, dan keji 
terhadap para wanita etnis Tionghoa di tengah kerusuhan 13-15 Mei 1998 di 
Jakarta. Pemerintah Habibie juga sudah membentuk Tim Perlindungan Wanita 
terhadap Kekerasan, juga ada Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pada 23 
Juli 1998. Rekomendasi kedua tim tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, 
sampai sekarang para pelaku Tragedi Mei itu tak satu pun yang ditangkap atau 
diadili.

Komnas HAM Tak Berdaya 

Komnas HAM yang dulu atau sekarang telah berupaya memanggil para mantan 
jenderal yang dianggap mengetahui atau bertanggung jawab atas beberapa kasus 
pelanggaran HAM masa lalu, tapi pemanggilan itu selalu gagal. Polemik antara 
para mantan jenderal dan Komnas HAM pun tak terelakkan. Semisal Menhan Juwono 
Sudarsono malah balik "menggugat" kewenangan hukum Komnas HAM.

Pernyataan Menhan (yang mewakili pemerintah) menunjukkan bahwa sesungguhnya 
komitmen pemerintah menegakkan HAM masih kecil, sementara iklim politik masih 
didominasi spirit anti-HAM. Padahal, pengungkapan kasus pelanggaran berat HAM 
yang terjadi di tanah air seperti "Tragedi Mei 1998" memerlukan komitmen dari 
pemerintah. Tanpa ada komitmen dan good will langsung dari presiden ,kasus 
tersebut bakal terkubur.

Para pelanggar HAM, apalagi dari kalangan militer, sudah bisa dipastikan akan 
menolak dituduh sebagai penanggung jawab pelanggaran HAM dengan beragam 
argumentasi dan rasionalisasi. Mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak 
bukan pada diri mereka.

Yang menyedihkan justru ada rasionalisasi bahwa para korban HAM dalam peristiwa 
13-15 Mei 1998 itu tidak pernah ada, karena tidak pernah bisa dibuktikan. 
Apalagi, jika dikaitkan dengan perundang-undangan pemerkosaan di negeri ini. 
Bagaimana membuktikan bahwa korban sungguh diperkosa?

Seperti dikatakan advokat senior Surabaya Trimoelja D. Soerjadi dalam beragam 
kesempatan bahwa setiap kasus yang terindikasi melibatkan militer, seperti 
Tragedi Mei, tidak pernah akan bisa diselesaikan dengan memuaskan. Artinya, 
para pelaku tetap bisa mengirup udara kebebasan. Tak ada keadilan bagi para 
korban. Hal ini juga terjadi pada kasus pelanggaran HAM lain, mulai Peristiwa 
1965 dan Tragedi Mei 1998.

Rekonsiliasi Sejati 

Meski demikian, penulis menganjurkan para korban Tragedi Mei untuk berani 
memaafkan, meskipun memaafkan bukan berarti harus melupakan. Harus selalu 
dicari ruang untuk mengingat peristiwa buruk seperti Tragedi Mei 1998. Dengan 
demikian, usul islah atau rekonsiliasi jangan pernah diabaikan meski ada yang 
bertanya untuk apa rekonsiliasi.

Tentu ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi terwujud. 
Pertama, harus diakui adanya pelanggaran berat HAM dalam Tragedi Mei 1998. Itu 
berarti ada pelaku yang harus bertanggung jawab. Kedua, keadilan harus 
ditegakkan. Artinya, pelaku harus mendapatkan sanksi hukum. Dengan demikian, 
luka hati korban dan keluarganya mendapatkan pemulihan. Setelah proses hukum 
ditegakkan, antara korban dan pelaku harus diupayakan perdamaian, supaya 
kebencian dan dendam tidak hidup terus sepanjang tujuh turunan.

Uskup Desmond Tutu, ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, 
menulis bahwa rekonsiliasi sejati mengekspos kekejaman, kekerasan, kepedihan, 
kebejatan, dan kebenaran, bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini 
adalah perbuatan berisiko. Meski begitu, pada akhirnya akan ada pemulihan nyata 
setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya 
dapat menghasilkan pemulihan palsu (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).

Akhirnya untuk negara dan pemerintah, sekali lagi utang-utang pada para korban 
harus dilunasi. Tocqueville (1805-1859) mengingatkan: "Karena masa lalu gagal 
menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut". Kabut dari 
peristiwa gelap masa lalu itulah yang harus disingkap negara demi keadilan pada 
para korban, termasuk korban Tragedi Mei. 

Selama orang terus mencari alasan guna lari dari tanggung jawab terhadap para 
korban HAM dan kekuasaan negara memberi perlindungan terhadap sikap pengecut 
ini, sehingga para pelaku terus menikmati impunitas di atas derita para korban 
HAM, negeri ini tetap akan susah mencapai masa depan. Sebab, pelanggaran HAM di 
masa silam selama terus dibiarkan justru menjadi kabut yang menghalangi 
perjalanan bangsa ini ke depan. 

Kabut itu harus disingkap dan para korban dijamin mendapatkan keadilan yang 
setimpal. Dengan demikian, kita bisa menyongsong masa depan tanpa ada yang 
dikorbankan lagi. 

*). Mustofa Liem PhD, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan. 


 



Reply via email to