Jika kita baca dengan teliti artikel dari Suara Pembaruan ini.

Wanita ini meminta bantuan secara hukum bagaimana proses perceraian dimana 
harta yang ia kumpulkan dengan susah payah dapat ia peroleh.

 

Kisah ini banyak terjadi di sekeliling kita.

Tidak hanya terjadi suku yang berbeda tetapi terjadi pula pada suku yang sama.

 

Dimana generasi muda terbuai dengan kata-kata “CINTA”.

Apa yang dinasehati oleh orang tua dianggap tidak sepaham akhirnya generasi 
muda yang merasa diri mereka benar menjalani kehidupan nyata.

 

Saya membaca cerita ini terkesan wanita ini meminta bantuan secara hukum 
bagaimana proses perceraian, dimana ia sudah tidak bahagia terhadap 
perkawinannya.

 

Mungkin kalian kaum laki-laki menganggap wanita harus terima perlakuan suami 
sehingga kalian bisa menulis kalimat “Sebenarnya ini artikel tujuannya apa ? 
Masa masalah suami selingkuh dimasukin dikoran ?”

 

Kalau anak anda mengalami kejadian ini apa yang anda lakukan?

Apa kalian sebagai bapak bisa berkata “Kamu harus terima perlakuan suami kamu. 
Itu nasib yang harus kamu jalani”

 

Saya yakin jika anak anda mengalami kejadian ini, dipastikan anda akan cari 
pengacara hebat untuk memperjuangkan hak anak anda.

Berbeda jika istri anda yang mengalami :-)

Tiap manusia memiliki sifat mau cubit orang tapi tidak mau dicubit orang lain 
:-)

 

Rgds,

Lim Wiss

 

  _____  

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] 
On Behalf Of dipodipo
Sent: Wednesday, June 24, 2009 12:07 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: Istilah Usang Nonpri-Pri (Was: Kedoknya 
Tersingkap Juga)

 

Tepat sekali ko David. Disatu sisi kita mengeluhkan diskriminasi, disisi lain 
kita eh malah ikut melestarikan. 

Di artikel ditulis kalau si perempuan dari keluarga yang kaya, punya usaha 
keluarga dan tidak suka anaknya menikah dengan kelompok lain. Sebenarnya ini 
artikel tujuannya apa ? Masa masalah suami selingkuh dimasukin dikoran ? 

Salam

--- In budaya_tionghua@ <mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com> 
yahoogroups.com, "David Kwa" <david_kwa2...@...> wrote:
>
> Maaf, owe mau tak mau terpaksa berkomentar juga. Gatal rasanya kalau tidak. 
> Rasanya janggal ya, istilah yang dipakai koq masih istilah diskriminatif 
> “nonpri-pri” hasil rekayasa rezim orde babe yang sudah usang seh...? Koq 
> si perempuan yang satu ini mau-maunya menyebut dirinya “wanita nonpri” 
> seh...? Jangan mau "diasing-asingkan" dan jangan suka“mengasing-asingkan 
> diri” lah! Kalau owe seh, terus-terang, oga be'eng...! Owe ngga pernah 
> merasa diri “asing” dan “menumpang” di negeri ini. Seandainya negeri 
> ini bukan tanah tumpah-darah owe dan owe lantas disuruh “pulang”, mau 
> disuruh “pulang” ke mana? Ke Amrik, ke Ostrali, atau ke Kanada? Lalu 
> kenapa kalimatnya bukan “saya seorang perempuan Cina/Tionghoa” aja, yang 
> kawin dengan “seorang Jawa” bernama Joko, kan enak kalau begitu! Daripada 
> “nonpri” lah, “WNI keturunan” lah, “warga keturunan” lah 
> (emangnya “keturunan” apa?), kan terasa lebih “sedap” dan 
> “nyaman” di mata-kuping-hati disebut “Cina/Tionghoa”. Disebut 
> Cina/Tionghoa, siapa takut? Biasa aja tuh... Kita emang orang Indonesia dari 
> kelompok etnik Cina/Tionghoa. Cina/Tionghoa so what gitu loh. Pede aja lah, 
> jangan minder disebut Cina/Tionghoa, orang juga maklum. Mereka yang tetep 
> pake nama Cina/Tionghoa seperti Liem Swie King, Kwik Kian Gie juga pada pede 
> aja tuh.
> 
> --- In budaya_tionghua@ <mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com> 
> yahoogroups.com, “HKSIS” <sa...@...:
> 
> 17 Juni 2009 | 07:08 wib
> Kedoknya Tersingkap Juga 
> 
> “Kutinggalkan keluarga demi cinta. Hasilnya? Kesia-siaan.”
> 
> Saya wanita nonpri. Sedari kecil, saya juga sekolah di lingkungan yang lebih 
> akrab dengan teman-teman nonpri. Tapi, ketika kuliah, saya justru dekat dan 
> jatuh cinta dengan Joko. Dia lelaki yang sopan, cukup ganteng, meski miskin 
> tapi tak pernah terlihat rendah diri. Saya selalu merasa nyaman di sampingnya.
> 
> Tapi cinta saya tak mendapat dukungan keluarga, terutama engkong, yang sangat 
> sayang dengan saya. Maklum, saya cucu perempuan satu-satunya. Dia berharap, 
> jika pun menikah, saya mendapatkan lelaki dari kalangan saya, yang dapat 
> meneruskan usaha keluarga, dan yang utama, tak harus pindah agama.
> 
> Tapi cinta adalah segalanya. Saya tak ingin menceritakan betapa beratnya dan 
> banyaknya airmata yang saya korbankan untuk meninggalkan keluarga dan 
> kehidupan yang mapan. Singkat kata, saya memilih Joko, keluarganya yang 
> miskin, dan mengikuti agamanya. Saya menikah di usia 24, dua tahun setelah 
> selesai kuliah. Saya bawa semua tabungan, dan mengontrak rumah di pinggiran 
> Yogya.
> 
> Joko diterima jadi PNS, dan dia makin cinta kepada saya. Sebagai istri saya 
> mencoba berbakti, dan bersyukur bahwa saya tak pernah salah pilih.
> 
> Saya dengan tabungan, membuka usaha kecil-kecilan, toko onderdil untuk motor 
> dan mobil. Puji Tuhan, usaha kecil ini berkembang. Dan saya dapat memenuhi 
> mimpi Joko untuk berbulan madu, dan menginap di hotel-hotel berbintang, di 
> Jakarta, Bali, dan Lombok. Keluarganya juga saya bahagiakan. Empat tahun 
> setelah saya menikah itu, dan bulan madu yang luar biasa itu, saya hamil. Di 
> tahun kelima, saya melahirkan. Saya namakan anak kami yang perempuan itu 
> Putri Cahaya, karena kehadirannya membuat rumah tangga kami jadi bercahaya 
> dengan rejeki yang banyak.
> 
> Oh ya, pelan-pelan saya juga membeli tanah, membangun rumah, dan membeli 
> mobil. Atas nasihat Joko, karena saya masih memakai nama nonpri, akta tanah 
> dan rumah, juga mobil, selalu memakai nama dia. Saya percaya saja. Demikian 
> juga usaha onderdil yang kemudian berkembang jadi bengkel dan jual-beli mobil 
> bekas, dinamakan Joko. Meski saya yang mengurus dan mengelolanya, karena Joko 
> setengah hari masih sibuk sebagai abdi negara.
> 
> Tanpa terasa, pernikahan kami sudah memasuki 11 tahun. Anak sudah dua juga. 
> Usaha makin berkembang. Dan selama itu juga, saya tak pernah lagi berhubungan 
> dengan keluarga. Bahkan sewaktu engkong saya meninggal, saya tak 
> diperbolehkan menjenguk dan mencium jenajahnya. Keluarga merasa jijik dengan 
> saya. Saya terima saja. Saya hanya membuktikan bahwa pilihan saya tidak 
> salah. Saya senang, bahagia, dan hidup berkecukupan.
> 
> Karena itulah, sepintas jika teman-teman atau warga sekitar melihat rumah 
> kami, pasti tak akan percaya bahwa Joko cuma PNS. Semua pasti tahu bahwa 
> sayalah yang menopang ekonomi keluarga. Saya yang mati-matian. Karena itu, 
> jika teman-teman kantor Joko datang, dengan bergurau mereka selalu mengatakan 
> betapa Joko sangat beruntung mendapatkan saya. Dia lelaki yang pintar dan 
> saya perempuan yang bodoh. Saya hanya tertawa. Saya tak peduli dibilang 
> bodoh. Saya hanya tahu kalau saya bahagia.
> 
> Tapi, di pernikahan sebelas tahun itu juga saya mulai merasakan ada yang 
> berbeda dengan Joko. Tiba-tiba dia jadi kasar, dan suka pergi sendiri. 
> Bahkan, mobil kami jadi hanya dia yang boleh memakai. Saya hanya boleh 
> memakai motor. Saya mencoba menawar dengan mengatakan ingin membeli mobil 
> lagi. Tapi Joko marah, dan memegang semua uang tabungan saya, memaksa saya 
> mencairkannya, dan memindahkan ke buku tabungannya. Kata Joko, saya terlalu 
> boros dengan uang. Aneh. Kalau boros, dari mana semua kekayaan ini.
> 
> Akhirnya, saya mendapat kabar kalau Joko berselingkuh. Saya tak percaya. 
> Tapi, kekasaran Joko dan kesukaannya pergi sendiri, menimbulkan kecurigaan 
> saya. Dengan bermain petak-umpet, saya selidiki dia. Dan benarlah, Joko punya 
> kekasih. Seorang pegawai di sebuah perusahaan asuransi. Saya tanpa 
> sepengetahuan dia, mendatangi perempuan itu, dan menjelaskan status Joko. 
> Ternyata, Joko berbohong pada perempuan itu. Dia berkisah kalau rumah 
> tanggannya berantakan, saya terlalu memonopoli keuangan, merasa paling kaya, 
> suka menghina Joko, dan tak pernah mau jadi istri yang taat pada suami. Joko 
> juga bercerita kalau saya sudah tidak pernah mau diajak intim sejak dua tahun 
> lalu. Sehingga dia merasa tersiksa dan ingin bercerai. Saya menangis. Saya 
> ceritakan pada perempuan itu yang sebenarnya terjadi. Dan dia tahu kalau 
> telah jadi korban sandiwara Joko. Dia merasa bodoh dan malu. Saya beri 
> perempuan itu uang, dan berpindah untuk menghindari Joko.
> 
> Di rumah, Joko saya tanyain baik-baik. Tapi saya malah dapat tempelengan. Dia 
> memaki-maki saya, dan mengusir saya jika merasa sudah tak mampu lagi 
> mengikuti kehendaknya. Saya terperangah.
> 
> Setelah itu, kami nyaris kucing dan anjing. Semua keuangan di rumah dia 
> kontrol. Pegawai-pegawai di toko dan bengkel segera dia kuasai. Saya tak 
> punya kuasa apa-apa lagi. Uang belanja pun dia jatah. Nasib saya sengsara 
> sekali. Saya selalu menangis tanpa henti.
> 
> Ternyata, perilaku Joko ini diketahui keluarga saya. Suatu hari, ibu saya 
> menelpon, dan mengatatakan bahwa sekarang saya baru menyadari belang suami 
> saya. Mereka mengatakan itulah akibat menikah dengan kalangan berbeda. Joko 
> cuma mengincar harta saya. Ibu menyarangkan saya bercerai, membawa anak-anak, 
> dan mereka akan menerima saya lagi. Tapi jika saya masih dengan Joko, mereka 
> tidak akan mau tahu dan ikut campur.
> 
> Saya yang tidak tahan, mencoba menghubungi pengacara. Saya ingin, jika 
> bercerai, harta benda saya itu jatuh ke tangan saya, karena memang saya yang 
> punya. Saya tidak mau jerih payah saya dimakan Joko dan selingkuhannya. Tapi 
> pengacara mengaku sulit, dan hanya bisa memastikan saya mendapat bagian dari 
> pembagian harta gono-gini. Dan yang lebih parah, pengacara itu minta 25% 
> hasil dari pembagian harga itu. Saya merasa serba susah.
> 
> Jujur saja, saya sudah tak dapat lagi hidup dengan Joko. 13 tahun pernikahan 
> ini sudah cukuplah saya alami dengan 2 tahun terakhir penuh penderitaan. Saya 
> tak ingin anak-anak saya menderita karena kelakuan Papahnya. Saya ingin 
> bercerai saja, dan kembali pada keluarga besar saya. Tapi saya juga tak 
> ikhlas menyerahkan semua harta saya kepadanya. Apakah saya masih memiliki 
> harapan? Apakah ada lembaga yang mau membantu perempuan seperti saya ini?
> 
> Cerita Ibu Putri di Yogya
>



Reply via email to