Juga benar, dan sepenuhnya setuju dengan bung Dipo, kalau bangsa Indonesia 
beretnis Tionghoa ingin diperlakukan sama dengan suku-suku yang lain, hendaknya 
tidak lagi gunakan sebutan non-pri pada dirinya sendiri. Inilah kesalahan 
nyonya yang satu ini dalam tulisan di Suara Merdeka.

Salam,
ChanCT

  ----- Original Message ----- 
  From: dipodipo 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, June 24, 2009 10:17 PM
  Subject: [budaya_tionghua] Re: Istilah Usang Nonpri-Pri (Was: Kedoknya 
Tersingkap Juga)


  Yang menjadi topik disini bukan masalah rumah tangga si penulis, karena 
urusan perceraian sipenulis tidak ada hubungannya dengan budaya Tionghoa, 
ataupun milis ini. 

  Yang dibahas adalah penggunaan kata "pri" dan "nonpri". Jika bangsa Indonesia 
beretnis Cina / Tionghoa sendiri merasa bahwa mereka bukan pribumi, ini sama 
saja dengan menyetujui kelompok2 yang ingin memperlakukan etnis ini secara lain.

  Dalam artikel Suara Merdeka (bukan Suara Pembaruan) ini, kalimat pembuka 
adalah "Saya wanita nonpri". Apa maksud kalimat ini ?

  Jika kita ingin mendapat perlakuan sederajat dengan penduduk Indonesia 
lainnya, maka kita sendiri harus percaya bahwa sederajat dengan mereka.

  Salam

  --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT" <sa...@...> wrote:
  >
  > Benar, ... sudah tidak seharusnya istilah pri dan nonpri tetap digunakan. 
Istilah usang yang sudah seharusnya dimusiumkan. Tapi, saya rasa tulisan 
dibawah juga tidak bermaksud untuk mengangkat kembali istilah usang nonpri. 
Karena dia hanya mengkisahkan pengalaman hidup yang dihadapi saja, dari 
tenggelam hubungan cinta dengan Joko yang ditentang keras oleh keluarga, dan 
demi cinta yang menghangat ketika itu, dia terjang nasehat orang-tua. 
  > 
  > Dalam proses membangun keluarga dengan usaha yang berhasil selama belasan 
tahun, ternyata terjadi perubahan dari suami yang berselingkuh dengan perempuan 
lain, masalah beginian sebetulnya juga bisa terjadi di keluarga lain manapun 
juga. Tidak karena ada nya kawin silang, beda ras dan beda etnis bahkan beda 
Agama akan terjadi, sebaliknya juga bisa terjadi dalam keluarga yang satu ras, 
satu suku, satu etnis bahkan juga seAgama. Karena masalah kerukunan dan 
keharmonisan keluarga lebih tergantung dari interaksi suami-istri itu sendiri, 
bagaimana mereka berdua bisa saling menerima dan menghormati segala perbedaan 
yang ada dan yang terjadi, bagaimana mereka berdua memberikan perhatian dan 
kesayangannya, terus memupuk rasa cinta itu tumbuh terus lebih baik dan 
mendalam lagi. Jadi, jangan semaunya sendiri, tanpa perhatikan bagaimana 
perasaan pihak lain, hanya memaksakan apa yang disenangi dan diingini untuk 
diterima pihak lain saja.
  > 
  > Malah sementara orang bilang, disaat keluarga itu hadapi kesulitan, 
suami-istri yang dibangun dari percintaan yang mendalam akan tergalang lebih 
baik lagi, mereka akan bergulat bersama-sama untuk atasi kesulitan yang 
dihadapi. Sebaliknya, disaat usaha sudah berhasil dan terjadi kehidupan yang 
agak "mewah", bagi pihak yang tidak hati-hati lebih mudah tergoda (dan 
bersyarat) untuk memenuhi  "kekurangan" atau "ketidak puasan" yang terjadi 
dalam keluarga. Mungkin saja terjadi suami merasa kurang puas dengan istri yang 
tenggelam dalam kesibukan ngurusin anak dan kerja usaha, sedang dikantor menmui 
perempuan yang mengisi kekosongan itu. Dengan keberhasilan usaha, lebih-lebih 
membuka syarat bagi dirinya untuk berselingkuh. Sebaliknya ini juga berlaku dan 
bisa terjadi bagi sang istri. Mengapa tidak? 
  > 
  > Yang pasti, masalah keluarga begitu tidak tergantung dan ditentukan oleh 
perbedaan ras, suku, etnis dan juga Agama tertentu, tapi lebih ditentukan dalam 
berinteraksi suami-istri bersangkutan saja. Kenyataan juga ada keluarga yang 
beda ras, beda suku, bahkan beda Agama bisa hidup bahagia dan tetap harmonis 
sampai hari-tua.
  > 
  > Salam,
  > ChanCT
  > 
  >   ----- Original Message ----- 
  >   From: Lim Wiss 
  >   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  >   Sent: Wednesday, June 24, 2009 1:54 PM
  >   Subject: RE: [budaya_tionghua] Re: Istilah Usang Nonpri-Pri (Was: 
Kedoknya Tersingkap Juga)
  > 
  > 
  > 
  > 
  > 
  >   Jika kita baca dengan teliti artikel dari Suara Pembaruan ini.
  > 
  >   Wanita ini meminta bantuan secara hukum bagaimana proses perceraian 
dimana harta yang ia kumpulkan dengan susah payah dapat ia peroleh.
  > 
  >    
  > 
  >   Kisah ini banyak terjadi di sekeliling kita.
  > 
  >   Tidak hanya terjadi suku yang berbeda tetapi terjadi pula pada suku yang 
sama.
  > 
  >    
  > 
  >   Dimana generasi muda terbuai dengan kata-kata â?oCINTAâ?.
  > 
  >   Apa yang dinasehati oleh orang tua dianggap tidak sepaham akhirnya 
generasi muda yang merasa diri mereka benar menjalani kehidupan nyata.
  > 
  >    
  > 
  >   Saya membaca cerita ini terkesan wanita ini meminta bantuan secara hukum 
bagaimana proses perceraian, dimana ia sudah tidak bahagia terhadap 
perkawinannya.
  > 
  >    
  > 
  >   Mungkin kalian kaum laki-laki menganggap wanita harus terima perlakuan 
suami sehingga kalian bisa menulis kalimat â?oSebenarnya ini artikel tujuannya 
apa ? Masa masalah suami selingkuh dimasukin dikoran ?�
  > 
  >    
  > 
  >   Kalau anak anda mengalami kejadian ini apa yang anda lakukan?
  > 
  >   Apa kalian sebagai bapak bisa berkata â?oKamu harus terima perlakuan 
suami kamu. Itu nasib yang harus kamu jalani�
  > 
  >    
  > 
  >   Saya yakin jika anak anda mengalami kejadian ini, dipastikan anda akan 
cari pengacara hebat untuk memperjuangkan hak anak anda.
  > 
  >   Berbeda jika istri anda yang mengalami J
  > 
  >   Tiap manusia memiliki sifat mau cubit orang tapi tidak mau dicubit orang 
lain J
  > 
  >    
  > 
  >   Rgds,
  > 
  >   Lim Wiss
  > 
  >    
  > 
  > 
  > 
------------------------------------------------------------------------------
  > 
  >   From: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
[mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of dipodipo
  >   Sent: Wednesday, June 24, 2009 12:07 PM
  >   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
  >   Subject: [budaya_tionghua] Re: Istilah Usang Nonpri-Pri (Was: Kedoknya 
Tersingkap Juga)
  > 
  >    
  > 
  >   Tepat sekali ko David. Disatu sisi kita mengeluhkan diskriminasi, disisi 
lain kita eh malah ikut melestarikan. 
  > 
  >   Di artikel ditulis kalau si perempuan dari keluarga yang kaya, punya 
usaha keluarga dan tidak suka anaknya menikah dengan kelompok lain. Sebenarnya 
ini artikel tujuannya apa ? Masa masalah suami selingkuh dimasukin dikoran ? 
  > 
  >   Salam
  > 
  >   --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" <david_kwa2003@> 
wrote:
  >   >
  >   > Maaf, owe mau tak mau terpaksa berkomentar juga. Gatal rasanya kalau 
tidak. Rasanya janggal ya, istilah yang dipakai koq masih istilah diskriminatif 
ââ,¬Å"nonpri-priââ,¬Â hasil rekayasa rezim orde babe yang sudah usang 
seh...? Koq si perempuan yang satu ini mau-maunya menyebut dirinya 
ââ,¬Å"wanita nonpriââ,¬Â seh...? Jangan mau "diasing-asingkan" dan jangan 
sukaââ,¬Å"mengasing-asingkan diriââ,¬Â lah! Kalau owe seh, terus-terang, oga 
be'eng...! Owe ngga pernah merasa diri ââ,¬Å"asingââ,¬Â dan 
ââ,¬Å"menumpangââ,¬Â di negeri ini. Seandainya negeri ini bukan tanah 
tumpah-darah owe dan owe lantas disuruh ââ,¬Å"pulangââ,¬Â, mau disuruh 
ââ,¬Å"pulangââ,¬Â ke mana? Ke Amrik, ke Ostrali, atau ke Kanada? Lalu kenapa 
kalimatnya bukan ââ,¬Å"saya seorang perempuan Cina/Tionghoaââ,¬Â aja, yang 
kawin dengan ââ,¬Å"seorang Jawaââ,¬Â bernama Joko, kan enak kalau begitu! 
Daripada ââ,¬Å"nonpriââ,¬Â lah, ââ,¬Å"WNI keturunanââ,¬Â lah, 
ââ,¬Å"warga keturunanââ,¬Â lah (emangnya ââ,¬Å"keturunanââ,¬Â apa?), kan 
terasa lebih ââ,¬Å"sedapââ,¬Â dan ââ,¬Å"nyamanââ,¬Â di mata-kuping-hati 
disebut ââ,¬Å"Cina/Tionghoaââ,¬Â. Disebut Cina/Tionghoa, siapa takut? Biasa 
aja tuh... Kita emang orang Indonesia dari kelompok etnik Cina/Tionghoa. 
Cina/Tionghoa so what gitu loh. Pede aja lah, jangan minder disebut 
Cina/Tionghoa, orang juga maklum. Mereka yang tetep pake nama Cina/Tionghoa 
seperti Liem Swie King, Kwik Kian Gie juga pada pede aja tuh.
  >   > 
  >   > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ââ,¬Å"HKSISââ,¬Â <SADAR@:
  >   > 
  >   > 17 Juni 2009 | 07:08 wib
  >   > Kedoknya Tersingkap Juga 
  >   > 
  >   > ââ,¬Å"Kutinggalkan keluarga demi cinta. Hasilnya? Kesia-siaan.ââ,¬Â
  >   > 
  >   > Saya wanita nonpri. Sedari kecil, saya juga sekolah di lingkungan yang 
lebih akrab dengan teman-teman nonpri. Tapi, ketika kuliah, saya justru dekat 
dan jatuh cinta dengan Joko. Dia lelaki yang sopan, cukup ganteng, meski miskin 
tapi tak pernah terlihat rendah diri. Saya selalu merasa nyaman di sampingnya.
  >   > 
  >   > Tapi cinta saya tak mendapat dukungan keluarga, terutama engkong, yang 
sangat sayang dengan saya. Maklum, saya cucu perempuan satu-satunya. Dia 
berharap, jika pun menikah, saya mendapatkan lelaki dari kalangan saya, yang 
dapat meneruskan usaha keluarga, dan yang utama, tak harus pindah agama.
  >   > 
  >   > Tapi cinta adalah segalanya. Saya tak ingin menceritakan betapa 
beratnya dan banyaknya airmata yang saya korbankan untuk meninggalkan keluarga 
dan kehidupan yang mapan. Singkat kata, saya memilih Joko, keluarganya yang 
miskin, dan mengikuti agamanya. Saya menikah di usia 24, dua tahun setelah 
selesai kuliah. Saya bawa semua tabungan, dan mengontrak rumah di pinggiran 
Yogya.
  >   > 
  >   > Joko diterima jadi PNS, dan dia makin cinta kepada saya. Sebagai istri 
saya mencoba berbakti, dan bersyukur bahwa saya tak pernah salah pilih.
  >   > 
  >   > Saya dengan tabungan, membuka usaha kecil-kecilan, toko onderdil untuk 
motor dan mobil. Puji Tuhan, usaha kecil ini berkembang. Dan saya dapat 
memenuhi mimpi Joko untuk berbulan madu, dan menginap di hotel-hotel 
berbintang, di Jakarta, Bali, dan Lombok. Keluarganya juga saya bahagiakan. 
Empat tahun setelah saya menikah itu, dan bulan madu yang luar biasa itu, saya 
hamil. Di tahun kelima, saya melahirkan. Saya namakan anak kami yang perempuan 
itu Putri Cahaya, karena kehadirannya membuat rumah tangga kami jadi bercahaya 
dengan rejeki yang banyak.
  >   > 
  >   > Oh ya, pelan-pelan saya juga membeli tanah, membangun rumah, dan 
membeli mobil. Atas nasihat Joko, karena saya masih memakai nama nonpri, akta 
tanah dan rumah, juga mobil, selalu memakai nama dia. Saya percaya saja. 
Demikian juga usaha onderdil yang kemudian berkembang jadi bengkel dan 
jual-beli mobil bekas, dinamakan Joko. Meski saya yang mengurus dan 
mengelolanya, karena Joko setengah hari masih sibuk sebagai abdi negara.
  >   > 
  >   > Tanpa terasa, pernikahan kami sudah memasuki 11 tahun. Anak sudah dua 
juga. Usaha makin berkembang. Dan selama itu juga, saya tak pernah lagi 
berhubungan dengan keluarga. Bahkan sewaktu engkong saya meninggal, saya tak 
diperbolehkan menjenguk dan mencium jenajahnya. Keluarga merasa jijik dengan 
saya. Saya terima saja. Saya hanya membuktikan bahwa pilihan saya tidak salah. 
Saya senang, bahagia, dan hidup berkecukupan.
  >   > 
  >   > Karena itulah, sepintas jika teman-teman atau warga sekitar melihat 
rumah kami, pasti tak akan percaya bahwa Joko cuma PNS. Semua pasti tahu bahwa 
sayalah yang menopang ekonomi keluarga. Saya yang mati-matian. Karena itu, jika 
teman-teman kantor Joko datang, dengan bergurau mereka selalu mengatakan betapa 
Joko sangat beruntung mendapatkan saya. Dia lelaki yang pintar dan saya 
perempuan yang bodoh. Saya hanya tertawa. Saya tak peduli dibilang bodoh. Saya 
hanya tahu kalau saya bahagia.
  >   > 
  >   > Tapi, di pernikahan sebelas tahun itu juga saya mulai merasakan ada 
yang berbeda dengan Joko. Tiba-tiba dia jadi kasar, dan suka pergi sendiri. 
Bahkan, mobil kami jadi hanya dia yang boleh memakai. Saya hanya boleh memakai 
motor. Saya mencoba menawar dengan mengatakan ingin membeli mobil lagi. Tapi 
Joko marah, dan memegang semua uang tabungan saya, memaksa saya mencairkannya, 
dan memindahkan ke buku tabungannya. Kata Joko, saya terlalu boros dengan uang. 
Aneh. Kalau boros, dari mana semua kekayaan ini.
  >   > 
  >   > Akhirnya, saya mendapat kabar kalau Joko berselingkuh. Saya tak 
percaya. Tapi, kekasaran Joko dan kesukaannya pergi sendiri, menimbulkan 
kecurigaan saya. Dengan bermain petak-umpet, saya selidiki dia. Dan benarlah, 
Joko punya kekasih. Seorang pegawai di sebuah perusahaan asuransi. Saya tanpa 
sepengetahuan dia, mendatangi perempuan itu, dan menjelaskan status Joko. 
Ternyata, Joko berbohong pada perempuan itu. Dia berkisah kalau rumah 
tanggannya berantakan, saya terlalu memonopoli keuangan, merasa paling kaya, 
suka menghina Joko, dan tak pernah mau jadi istri yang taat pada suami. Joko 
juga bercerita kalau saya sudah tidak pernah mau diajak intim sejak dua tahun 
lalu. Sehingga dia merasa tersiksa dan ingin bercerai. Saya menangis. Saya 
ceritakan pada perempuan itu yang sebenarnya terjadi. Dan dia tahu kalau telah 
jadi korban sandiwara Joko. Dia merasa bodoh dan malu. Saya beri perempuan itu 
uang, dan berpindah untuk menghindari Joko.
  >   > 
  >   > Di rumah, Joko saya tanyain baik-baik. Tapi saya malah dapat 
tempelengan. Dia memaki-maki saya, dan mengusir saya jika merasa sudah tak 
mampu lagi mengikuti kehendaknya. Saya terperangah.
  >   > 
  >   > Setelah itu, kami nyaris kucing dan anjing. Semua keuangan di rumah dia 
kontrol. Pegawai-pegawai di toko dan bengkel segera dia kuasai. Saya tak punya 
kuasa apa-apa lagi. Uang belanja pun dia jatah. Nasib saya sengsara sekali. 
Saya selalu menangis tanpa henti.
  >   > 
  >   > Ternyata, perilaku Joko ini diketahui keluarga saya. Suatu hari, ibu 
saya menelpon, dan mengatatakan bahwa sekarang saya baru menyadari belang suami 
saya. Mereka mengatakan itulah akibat menikah dengan kalangan berbeda. Joko 
cuma mengincar harta saya. Ibu menyarangkan saya bercerai, membawa anak-anak, 
dan mereka akan menerima saya lagi. Tapi jika saya masih dengan Joko, mereka 
tidak akan mau tahu dan ikut campur.
  >   > 
  >   > Saya yang tidak tahan, mencoba menghubungi pengacara. Saya ingin, jika 
bercerai, harta benda saya itu jatuh ke tangan saya, karena memang saya yang 
punya. Saya tidak mau jerih payah saya dimakan Joko dan selingkuhannya. Tapi 
pengacara mengaku sulit, dan hanya bisa memastikan saya mendapat bagian dari 
pembagian harta gono-gini. Dan yang lebih parah, pengacara itu minta 25% hasil 
dari pembagian harga itu. Saya merasa serba susah.
  >   > 
  >   > Jujur saja, saya sudah tak dapat lagi hidup dengan Joko. 13 tahun 
pernikahan ini sudah cukuplah saya alami dengan 2 tahun terakhir penuh 
penderitaan. Saya tak ingin anak-anak saya menderita karena kelakuan Papahnya. 
Saya ingin bercerai saja, dan kembali pada keluarga besar saya. Tapi saya juga 
tak ikhlas menyerahkan semua harta saya kepadanya. Apakah saya masih memiliki 
harapan? Apakah ada lembaga yang mau membantu perempuan seperti saya ini?
  >   > 
  >   > Cerita Ibu Putri di Yogya
  >   >
  > 
  > 
  > 
  > 
  >   
  > 
  > 
  > 
------------------------------------------------------------------------------
  > 
  > 
  > 
  >   Internal Virus Database is out of date.
  >   Checked by AVG - www.avg.com 
  >   Version: 8.5.339 / Virus Database: 270.12.68/2175 - Release Date: 
06/14/09 05:53:00
  >




  ------------------------------------

  .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

  .: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :.

  .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

  .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

  Yahoo! Groups Links





------------------------------------------------------------------------------



  Internal Virus Database is out of date.
  Checked by AVG - www.avg.com 
  Version: 8.5.339 / Virus Database: 270.12.68/2175 - Release Date: 06/14/09 
05:53:00

Kirim email ke