Pak David yth., Saya ada artikel riwayat hidupnya, semoga bermanfaat sebagai kenangan atasnya, Salam, Soebianto-TBian http://www.tempointeraktif.com/
Edisi. 22/XXXVII/21 - 27 Juli 2008 Joesoef Isak - Ditunjuk ’Pemimpin Besar Revolusi’ SEJAK di sekolah menengah pertama di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, saya sudah bisa menulis resensi musik dan film. Guru saya memuji tulisan itu. Dia meminta saya mengirimkannya ke surat kabar, tapi saya tidak pernah melakukannya—entah kenapa. Persinggungan saya dengan dunia pers dimulai ketika saya bekerja di harian Berita Indonesia pada 1946. Ketika Jepang kalah oleh Sekutu, mereka diberi tugas tetap memelihara keamanan dan ketertiban. Pulau Jawa, yang dikuasai Angkatan Darat Jepang, mengeluarkan buletin berita Gunsei Kambu. Untuk melawan penerbitan itu, para senior saya, Taslim dan Suardi Tasrif, mendirikan surat kabar Berita Indonesia. Orang yang membiayainya Zulkifli Lubis, ”bapak” intelijen di Indonesia. Ketika itu usia saya 17-18 tahun dan baru tamat dari Taman Dewasa, setingkat sekolah menengah atas, di Kemayoran, Jakarta Pusat. Di sana saya tidak langsung menjadi wartawan, tapi memulai dari bawah sekali. Tugas saya di bagian dokumentasi, menerjemahkan berita-berita berbahasa Belanda yang penting untuk dimuat di Berita Indonesia. Kemudian saya menjadi korektor dan di bagian layout. Setelah itu, saya mulai menulis berita kriminal atau sepak bola. Zaman dulu tidak ada spesialisasi seperti wartawan sekarang. Berita Indonesia merupakan koran yang paling sering dibredel Belanda. Ini membuat koran itu menjadi populer di kalangan para pejuang kemerdekaan. Apalagi revolusi bersenjata sudah dimulai. Meski sering dibredel, surat kabar masih bisa terbit. Itu bedanya pembredelan di masa pemerintah Belanda dengan masa Soeharto. Belanda masih berpegang pada hukum. Kalau dibilang dua minggu, ya dibredel selama itu. Ada juga yang sampai sebulan, tapi waktunya jelas. Bukan ”digantung”, seperti di zaman Soeharto. Pada 1949 Boerhanudin Mohammad Diah—yang ketika itu sudah memiliki Merdeka—membeli Berita Indonesia dan langsung menutupnya. Saya dan sebagian karyawan lain pindah ke Merdeka. Kendati lebih dulu berdiri, saya sayangkan Merdeka kalah bersaing dengan Kompas karena diurus dengan gaya warung. Tidak ada pendelegasian wewenang kepada orang di luar keluarga. Pada 1956 saya menikah. Waktu itu B.M. Diah dan istrinya, Herawati, juga hadir. Resepsi pernikahan dilangsungkan di Gedung Pemuda, tempat berkumpulnya para pemuda. Sekarang tempat itu menjadi Gedung Mahkamah Agung. Ketika memberikan ucapan selamat, B.M. Diah berbisik dalam bahasa Belanda: ”Soef, aku punya kado untukmu. Mulai hari ini aku angkat kau jadi managing editor.” Dulu, struktur redaksi sangat sederhana. Managing editor merupakan redaktur pertama atau wakil pemimpin redaksi. Jadi saya adalah wakil B.M. Diah! Ini suatu penghargaan, karena banyak senior di atas saya. Tapi B.M. Diah memilih saya. Pada 1959 B.M. Diah diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Cekoslowakia. Untuk pertama kali, dia terpaksa harus melepaskan jabatannya sebagai pemimpin redaksi. Padahal, dalam sejarah Merdeka, B.M. Diah tidak pernah melepaskan jabatan itu. Walaupun sudah tidak menulis editorial lagi, namanya tetap dicantumkan sebagai pendiri dan pemimpin redaksi. Sekali lagi, B.M. Diah menunjuk saya sebagai pemimpin redaksi. Sewaktu bertemu dengan Bung Karno, cerita B.M. Diah kepada saya, dia ditanya siapa yang akan menggantikan posisinya? B.M. Diah menyebut nama saya. Bung Karno, yang belum mengenal saya, langsung berpesan agar saya memelihara Merdeka menjadi koran progresif-revolusioner. Kalau tidak bisa, Bung Karno akan memanggil Diah pulang kembali ke Indonesia. B.M. Diah hanya tiga tahun di Praha, kemudian dia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Inggris. Waktu di London, dia rupanya dilapori, entah oleh siapa: saya makin lama makin membawa Merdeka ke arah kiri. Mendapat laporan itu, B.M. Diah berpesan, ”Soef, kau tahu sendiri kan? Suluh Indonesia itu didukung Partai Nasional Indonesia, harian Rakyat didukung Partai Komunis Indonesia, Bintang Timur ada Partindo. Merdeka apa? Keringat kita sendiri. Jadi buat apa kita besar-besarkan Ali Sastroamidjojo, Roeslan Abdulgani, atau Soebandrio? Kalau menguntungkan, kita dukung, kalau tidak, buat apa?” Itu prinsip B.M. Diah. Merdeka mendapat label sebagai koran independen atau tengah. Namun tekanan untuk memecat saya terus berkembang. Salah satunya dari direktur sebuah perusahaan negara. Pada masa nasionalisasi, banyak perusahaan Belanda jatuh ke tangan militer. Direktur salah satu perusahaan itu menawari B.M. Diah mesin cetak baru. Mereka cuma minta satu syarat: saya dikeluarkan. Lantaran B.M. Diah sayang dan menganggap saya kadernya yang paling berhasil, dia tidak mau memecat saya. Ini yang mau saya luruskan. Saya tidak dipecat, tapi ”ditendang” ke atas. Saat itu Grup Merdeka punya percetakan, harian, majalah, dan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Dia angkat saya menjadi direktur dari semuanya itu, tapi harus melepaskan jabatan Pemimpin Redaksi Merdeka. Namun saya menolak tawarannya dan tak pernah masuk kantor. Setelah berhenti dari Merdeka, saya berkonsentrasi penuh di organisasi Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Bagaimana bisa sampai terlibat di organisasi ini? Pada 1949 organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berdiri di Yogyakarta. Pada 1959, saat masih menjadi Pemimpin Redaksi Merdeka, saya terpilih sebagai Ketua PWI Jakarta. Selain di PWI, saya menjadi anggota International Organization of Journalist, yang berpusat di Praha, Cekoslowakia. Waktu itu ada dua organisasi wartawan. Satu lagi International Federation of Journalist yang berpusat di Brussel, Belgia. Pada 1962 ada kongres International Organization of Journalist di Budapest. Sebagai anggota, saya ke sana dan terpilih menjadi wakil presiden. Saat di Budapest itulah lahir ide untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika. Para wartawan Asia-Afrika, yang memanfaatkan sidang International Organization of Journalist, membuat pernyataan tertulis dan menandatangani kesepakatan rencana Konferensi Wartawan Asia-Afrika. Dokumen ini lalu saya bawa ke Jakarta. Tapi ide itu ditolak oleh orang PWI lainnya. Jalan keluarnya muncul pada saat Presiden Rumania diundang ke Jakarta. Dulu banyak wartawan diangkat menjadi duta besar. Mulai Adam Malik, B.M. Diah, hingga Soekrisno dari Antara, yang menjadi Duta Besar Indonesia di Rumania. Karena Presiden Rumania mau datang, Soekrisno datang ke Jakarta untuk persiapan. Soekrisno setiap waktu bisa ketemu dengan Soekarno, sedangkan kami dari PWI, yang dianggap kiri, susah menembus Istana. Ada ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko dan Sugandhi, yang kanan. Saya minta tolong Soekrisno membawa dokumen Konferensi Wartawan Asia-Afrika ke Bung Karno. Mungkin karena Soekrisno yang membawa, Bung Karno tahunya yang akan menyelenggarakan konferensi itu adalah PWI. Soekarno langsung tanda tangan dan PWI diminta melaksanakan sebaik-baiknya. Akhirnya Konferensi Wartawan Asia-Afrika diselenggarakan di Jakarta pada 1963. Karena menjadi tuan rumah, saya yang saat itu menjadi Ketua PWI Jakarta menjadi ketua konferensi. Dalam konferensi diputuskan untuk membentuk Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Organisasi ini seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, dipimpin oleh sekretaris jenderal. Djawoto, yang saat itu Ketua PWI Pusat, menjabat posisi itu. Tapi baru beberapa bulan, ia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Cina, sehingga posisi itu lowong. Waktu menghadap Soekarno, sekaligus melaporkan telah terbentuknya Persatuan Wartawan Asia-Afrika, Presiden bertanya siapa pengganti Djawoto. Disebutlah beberapa nama, tidak termasuk saya. Tapi Soekarno malah menunjuk saya: ”Joesoef saja.” Secara prosedural, seharusnya PWI Pusat memilih ketua dan dialah yang menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Karena Pemimpin Besar Revolusi sudah menunjuk, siapa yang berani melawan? Padahal, kalau pakai istilah sekarang, penunjukan itu tidak konstitusional. --- On Sun, 8/16/09, David Kwa <david_kwa2...@yahoo.com> wrote: From: David Kwa <david_kwa2...@yahoo.com> Subject: [budaya_tionghua] Fw: Joesoef Isak Meninggal Dunia To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Sunday, August 16, 2009, 11:36 AM http://koran. kompas.com/ read/xml/ 2009/08/16/ 04031242/ joesoef.isak. meninggal. dunia Joesoef Isak Meninggal Dunia Minggu, 16 Agustus 2009 | 04:03 WIB Jakarta, Kompas - Joesoef Isak (81), mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka dan salah seorang pendiri penerbit Hasta Mitra, meninggal dunia di kediamannya, Jalan Duren Tiga, Jakarta, Sabtu (15/8) sekitar pukul 01.30. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Sabtu siang. ”Bapak sebelumnya tidak mengeluh apa-apa,” kata Ny Budi Asni Isak, istri Joesoef Isak, yang dinikahinya tahun 1956. Dilahirkan 15 Juli 1928, Joesoef Isak dikenal sebagai pribadi yang teguh dalam pendirian. Ia juga sangat antidiskriminasi, terlebih menyangkut masyarakat Tionghoa. Dalam sebuah percakapan dengan Kompas dua bulan lalu, Joesoef Isak menyampaikan pentingnya mengambil sisi positif budaya masyarakat Tionghoa untuk melengkapi proses berbangsa dan membangun Indonesia. Terkait sikap antidiskriminasi itu, karya terakhir Joesoef Isak yang belum diedarkan di toko buku adalah Memoir Ang Jang Goan (Ang Jan Goan/Hong Yuanyuan 洪淵源, 1894-1984―DK), seorang Tionghoa nasionalis Indonesia yang terpaksa menyingkir dari Indonesia karena tekanan rezim Orde Baru dan wafat di Kanada. Ang Jang Goan adalah salah seorang pendiri rumah sakit terkemuka di Jakarta dan tokoh pers tiga zaman di Indonesia. Dirikan penerbit buku Di tengah kekuasaan Orde Baru, tahun 1980 Joesoef Isak mendirikan Penerbit Buku Hasta Mitra yang banyak menerbitkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Buku pertama yang diterbitkannya berjudul Bumi Manusia, yang kemudian dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru. Buku-buku yang diterbitkan selanjutnya juga dilarang beredar oleh pemerintah. Namun, larangan tersebut tidak menyurutkan nyali dan langkah bapak tiga anak ini untuk terus menerbitkan buku. Beberapa buku karya Pramoedya yang diterbitkannya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Perancis, dan Mandarin. Perjuangannya yang panjang di bidang kemanusiaan mengantarkan Joesoef Isak mendapatkan Wertheim Award dari Belanda tahun 2005. Joesoef Isak dinilai telah berjuang bertahun- tahun untuk kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. Di bidang jurnalistik, Joesoef Isak sempat menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Ia juga pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jakarta (1959-1963) serta Sekjen Persatuan Wartawan Asia Afrika (PWAA) dan Wakil Presiden International Organization of Journalist (IOJ). (ONG/THY)