Mengapa Kata 'Cina' Tidak Pantas Digunakan?

Latar Belakang Sejarah

Kata 'Cina' mulanya digunakan secara netral sampai dengan awal abad ke-20, 
namun kemudian karena sering digunakan untuk menghina dan memaki, akhirnya kata 
tersebut mulai ditinggalkan.

Seiring dengan itu, gerakan kemerdekaan di Tiongkok mencapai puncaknya pada 
tahun 1911 dengan berdirinya Republik Tiongkok yang dalam bahasa Mandarin 
disebut Zhonghua Minguo. Kata Zhonghua dalam dialek Hokkian menjadi Tionghoa. 
Semangat gerakan ini menyebar ke orang-orang Tionghoa di Indonesia sehingga 
mereka mulai menyebut dirinya dengan kata Tionghoa, menggantikan kata Cina.

Semangat kemerdekaan ini kemudian ditularkan kepada para pejuang kemerdekaan 
Indonesia. Karena sama-sama merasa senasib, sama-sama berjuang melawan 
kekuasaan asing (Eropa), maka terciptalah kerja sama dan saling pengertian 
antara orang Tionghoa dan Indonesia.

Beberapa bentuk kerja sama tersebut di antaranya:
1. Lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, pertama kali dipublikasikan seara umum 
oleh harian Sin Po, harian milik golongan Tionghoa yang berorientasi ke negeri 
Tiongkok (Saat itu ada 3 golongan Tionghoa: pro-Tiongkok, pro-Indonesia dan 
pro-Belanda).
2. Orang Belanda suka menggunakan kata 'Inlander' untuk menghina orang 
Indonesia. Kata ini sama dengan kata 'Cina', awalnya netral tapi kemudian 
berkonotasi negatif. Koran Sin Po-lah yang pertama kali mengambil inisiatif 
untuk mengganti kata 'Inlander' dengan kata 'Boemipoetra' yang lebih positif.

Sebagai wujud rasa terima kasih atas kedua hal ini dan terutama atas semangat 
kebangkitan nasional yang ditularkan orang Tionghoa kepada orang Indonesia, 
tokoh-tokoh pergerakan Indonesia juga mulai meninggalkan kata 'Cina' dan mulai 
menggunakan kata Tionghoa.

Dengan demikian penghilangan kata Cina dan menggantinya dengan kata Tionghoa 
memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi orang-orang Tionghoa di 
Indonesia. Inilah salah satu bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk 
Indonesia. Inilah juga yang membuktikan adanya kerja sama dan saling pengertian 
yang harmonis antara orang Tionghoa dan Indonesia di jaman pra-kemerdekaan.

Pada jaman orde lama, kata yang selalu digunakan adalah Tionghoa, bahkan koran 
dan tokoh yang anti Tionghoapun juga menggunakan kata Tionghoa. 

Lalu bagaimana kata Tionghoa berubah kembali menjadi kata Cina?

Tanggal 25-31 Agustus 1966 (di awal rejim orde baru) berlangsung seminar 
Angkatan Darat di Bandung yang bertujuan untuk membahas peran Angkatan Darat. 
Entah dari mana, tiba-tiba mereka membahas dan memutuskan untuk mengganti kata 
Tionghoa/Tiongkok dengan kata Cina. Pada tanggal 25 Juni 1967 keluarlah 
keputusan presidium kabinet untuk membuang kata Tionghoa/Tiongkok dan 
menggantinya dengan kata Cina. Dan keputusan ini didukung oleh segelintir 
Tionghoa (yang, maaf, tidak tahu malu) yang tergabung di dalam LPKB (K. 
Shindunata dkk).

Sebenarnya ini suatu keganjilan besar. Bagaimana mungkin suatu seminar yang 
tidak ada hubungannya dengan soal Tionghoa mengambil suatu keputusan 
menghilangkan kata  Tionghoa?! Bagaimana mungkin penghilangan suatu kata saja 
harus ditetapkan melalui keputusan presidium kabinet?! Jelas sekali bahwa 
keputusan ini rasis dan bermotif politik yang bertujuan mendiskriminasi 
golongan Tionghoa. Dengan demikian jelas bahwa kata Cina
sengaja dihidupkan kembali dengan tujuan yang tidak baik.

Sejak saat itu, semua media massa mulai menggunakan kembali kata 'Cina' dan 
meninggalkan kata Tionghoa. Hanya ada satu koran yang tetap bertahan 
menggunakan kata Tionghoa, yaitu Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar 
Lubis.

Akibatnya bisa kita rasakan sampai sekarang terutama di kalangan generasi muda 
Tionghoa. Mereka (atau kita) tidak terlalu peduli lagi, bahkan sama sekali 
tidak mengetahui kenyataan sejarah dan makna yang sangat penting di balik 
penggantian kata Cina menjadi Tionghoa. Bahkan banyak yang tidak tahu menahu 
mengenai kata Tionghoa, yang mereka tahu hanya 'Cina' dan menggunakannya tanpa 
merasa berdosa sama sekali.

Jadi mengapa kata Cina tidak pantas digunakan?

Sebagian orang mengatakan karena kata itu mengandung unsur penghinaan. Memang 
betul bahwa kata itu mengandung penghinaan. Namun itu tidak berarti bahwa kita 
harus terhina. dan tidak perlu membuat kita terhina/tersinggung. Orang yang 
menyebut kata 'cina' pun biasanya tidak bermaksud menghina.

Namun ada 1 alasan yang sangat kuat, yaitu fakta sejarah seperti diuraikan di 
atas tadi. Penghilangan kata Cina dan penggunaan kata Tionghoa adalah bukti 
bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia dan adanya kerja sama yang 
baik dan harmonis antara tokoh pejuang Tionghoa dan Indonesia. 

Juga jelas penggunaan kembali kata 'Cina' di jaman orde baru memiliki motif 
diskriminasi dan penghinaan. Dengan demikian apabila kita masih saja 
menggunakan kata 'Cina', sama saja artinya kita mengubur fakta sejarah. Sama 
saja artinya kita tidak menghargai kesepakatan yang diraih oleh para pahlawan 
kita. Sama saja artinya kita menodai perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan 
Indonesia baik itu orang Tionghoa maupun Indonesia. Sama saja artinya kita 
mewarisi kebijakan rejim orde baru yang rasis dan diskriminatif.

Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang 
merhargai para pahlawannya. Saya yakin ini termasuk artinya kita meneruskan 
perjuangan mereka dan menghargai segala jerih payah mereka. Penghilangan kata 
Cina adalah hasil jerih payah pejuang Tionghoa dan kesepakatan dengan tokoh 
pejuang Indonesia. Kalau kita tidak bisa menghargainya (atau dengan kata lain 
kalau saja masih memakai kata Cina), berarti kita bukanlah bangsa yang besar. 
Dengan demikian, orang Tionghoa yang sudah mengerti fakta sejarah ini tetapi 
masih saja menggunakan kata 'cina' bukanlah orang yang “besar”!

Penutup
Setelah mengetahui fakta sejarah ini, diharapkan agar kita semua mulai 
meninggalkan kata 'cina'. Perlu diperhatikan juga, masih banyak orang Tionghoa 
yang menggunakan kata-kata yang tidak pantas untuk menyebut orang Indonesia. 
Kebiasaan jelek ini juga harus kita tinggalkan.

Pramudya Ananta Tur dalam sebuah wawancara mengungkapkan: "Masalah 
"Cina-Tionghoa" bukan sekedar istilah yang mana yang lebih enak diucap atau 
ditulis, tapi bottom line-nya adalah mengembalikan kebenaran sejarah atas 
perjuangan Tionghoa dalam pembentukan Republik Indonesia yang hampir terhapus 
selama hampir 40 tahun."

Saya sangat setuju sekali, masalah utamanya bukanlah soal mengandung 
penghinaan, konotasi, atau enak tidaknya didengar, tetapi makna sejarahnya!

Dedi S Lim

Referensi:
1. Leo Suryadinata, "Negara dan Etnis Tionghoa", bab 4, LP3ES
2. Artikel "Cina atau Tionghoa" karangan Siau Gok Tjhan
3. Artikel "Cina atau Tionghoa?" karangan Dr Irawan (Sumber: 
www.indonesiamedia.com)
4. Benny G Setiono, “Tionghoa dalam Pusaran Politik”.


      

Kirim email ke