Itu judulnya apa tidak berlebihan? 
Kata Cina sih pantas pantas aja digunakan, selama pemakaiannya baik dan benar. 

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dedistd" <dedi...@...> wrote:
>
> Untuk memperjelas saja, kata "Tionghoa" di Indonesia memang sudah digunakan 
> sebelum 1911 (seiring dengan kata "cina"), hanya saja sejak 1911 timbul 
> kecenderungan yang lebih kuat untuk lebih intensif menggunakan kata 
> "Tionghoa" menggantikan "Cina".
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "henyung" <henyung@> wrote:
> >
> > Sebagai tambahan saja, rekan Suma Mihardja pernah menunjukkan bukti konkrit 
> > berupa banyak foto spanduk kejadian sebelum 1911 yang mengusung kata 
> > Tionghoa. Juga foto prasasti sebelum 1911 yang juga menggunakan istilah 
> > Tionghoa.
> > 
> > Foto-foto itu ditunjukkan di diskusi istilah Cina vs Tionghua yang pernah 
> > dilaksanakan dulunya. Sayang sekali yang hadir di diskusi itu berat sebelah 
> > hanya dari satu pihak saja.
> > 
> > Jadi gagasan bahwa istilah Tionghoa diawali pendirian Republik Tiongkok 
> > kelihatannya perlu dikaji lebih lanjut. 
> > 
> > Bukti foto ada di rekan Suma Mihardja.
> > 
> > Hormat saya,
> > 
> > Yongde
> > 
> > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Dedi <dedistd@> wrote:
> > >
> > > Mengapa Kata 'Cina' Tidak Pantas Digunakan?
> > > 
> > > Latar Belakang Sejarah
> > > 
> > > Kata 'Cina' mulanya digunakan secara netral sampai dengan awal abad 
> > > ke-20, namun kemudian karena sering digunakan untuk menghina dan memaki, 
> > > akhirnya kata tersebut mulai ditinggalkan.
> > > 
> > > Seiring dengan itu, gerakan kemerdekaan di Tiongkok mencapai puncaknya 
> > > pada tahun 1911 dengan berdirinya Republik Tiongkok yang dalam bahasa 
> > > Mandarin disebut Zhonghua Minguo. Kata Zhonghua dalam dialek Hokkian 
> > > menjadi Tionghoa. Semangat gerakan ini menyebar ke orang-orang Tionghoa 
> > > di Indonesia sehingga mereka mulai menyebut dirinya dengan kata Tionghoa, 
> > > menggantikan kata Cina.
> > > 
> > > Semangat kemerdekaan ini kemudian ditularkan kepada para pejuang 
> > > kemerdekaan Indonesia. Karena sama-sama merasa senasib, sama-sama 
> > > berjuang melawan kekuasaan asing (Eropa), maka terciptalah kerja sama dan 
> > > saling pengertian antara orang Tionghoa dan Indonesia.
> > > 
> > > Beberapa bentuk kerja sama tersebut di antaranya:
> > > 1. Lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, pertama kali dipublikasikan 
> > > seara umum oleh harian Sin Po, harian milik golongan Tionghoa yang 
> > > berorientasi ke negeri Tiongkok (Saat itu ada 3 golongan Tionghoa: 
> > > pro-Tiongkok, pro-Indonesia dan pro-Belanda).
> > > 2. Orang Belanda suka menggunakan kata 'Inlander' untuk menghina orang 
> > > Indonesia. Kata ini sama dengan kata 'Cina', awalnya netral tapi kemudian 
> > > berkonotasi negatif. Koran Sin Po-lah yang pertama kali mengambil 
> > > inisiatif untuk mengganti kata 'Inlander' dengan kata 'Boemipoetra' yang 
> > > lebih positif.
> > > 
> > > Sebagai wujud rasa terima kasih atas kedua hal ini dan terutama atas 
> > > semangat kebangkitan nasional yang ditularkan orang Tionghoa kepada orang 
> > > Indonesia, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia juga mulai meninggalkan kata 
> > > 'Cina' dan mulai menggunakan kata Tionghoa.
> > > 
> > > Dengan demikian penghilangan kata Cina dan menggantinya dengan kata 
> > > Tionghoa memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi orang-orang 
> > > Tionghoa di Indonesia. Inilah salah satu bukti bahwa orang Tionghoa ikut 
> > > berjuang untuk Indonesia. Inilah juga yang membuktikan adanya kerja sama 
> > > dan saling pengertian yang harmonis antara orang Tionghoa dan Indonesia 
> > > di jaman pra-kemerdekaan.
> > > 
> > > Pada jaman orde lama, kata yang selalu digunakan adalah Tionghoa, bahkan 
> > > koran dan tokoh yang anti Tionghoapun juga menggunakan kata Tionghoa. 
> > > 
> > > Lalu bagaimana kata Tionghoa berubah kembali menjadi kata Cina?
> > > 
> > > Tanggal 25-31 Agustus 1966 (di awal rejim orde baru) berlangsung seminar 
> > > Angkatan Darat di Bandung yang bertujuan untuk membahas peran Angkatan 
> > > Darat. Entah dari mana, tiba-tiba mereka membahas dan memutuskan untuk 
> > > mengganti kata Tionghoa/Tiongkok dengan kata Cina. Pada tanggal 25 Juni 
> > > 1967 keluarlah keputusan presidium kabinet untuk membuang kata 
> > > Tionghoa/Tiongkok dan menggantinya dengan kata Cina. Dan keputusan ini 
> > > didukung oleh segelintir Tionghoa (yang, maaf, tidak tahu malu) yang 
> > > tergabung di dalam LPKB (K. Shindunata dkk).
> > > 
> > > Sebenarnya ini suatu keganjilan besar. Bagaimana mungkin suatu seminar 
> > > yang tidak ada hubungannya dengan soal Tionghoa mengambil suatu keputusan 
> > > menghilangkan kata  Tionghoa?! Bagaimana mungkin penghilangan suatu kata 
> > > saja harus ditetapkan melalui keputusan presidium kabinet?! Jelas sekali 
> > > bahwa keputusan ini rasis dan bermotif politik yang bertujuan 
> > > mendiskriminasi golongan Tionghoa. Dengan demikian jelas bahwa kata Cina
> > > sengaja dihidupkan kembali dengan tujuan yang tidak baik.
> > > 
> > > Sejak saat itu, semua media massa mulai menggunakan kembali kata 'Cina' 
> > > dan meninggalkan kata Tionghoa. Hanya ada satu koran yang tetap bertahan 
> > > menggunakan kata Tionghoa, yaitu Indonesia Raya yang dipimpin oleh 
> > > Mochtar Lubis.
> > > 
> > > Akibatnya bisa kita rasakan sampai sekarang terutama di kalangan generasi 
> > > muda Tionghoa. Mereka (atau kita) tidak terlalu peduli lagi, bahkan sama 
> > > sekali tidak mengetahui kenyataan sejarah dan makna yang sangat penting 
> > > di balik penggantian kata Cina menjadi Tionghoa. Bahkan banyak yang tidak 
> > > tahu menahu mengenai kata Tionghoa, yang mereka tahu hanya 'Cina' dan 
> > > menggunakannya tanpa merasa berdosa sama sekali.
> > > 
> > > Jadi mengapa kata Cina tidak pantas digunakan?
> > > 
> > > Sebagian orang mengatakan karena kata itu mengandung unsur penghinaan. 
> > > Memang betul bahwa kata itu mengandung penghinaan. Namun itu tidak 
> > > berarti bahwa kita harus terhina. dan tidak perlu membuat kita 
> > > terhina/tersinggung. Orang yang menyebut kata 'cina' pun biasanya tidak 
> > > bermaksud menghina.
> > > 
> > > Namun ada 1 alasan yang sangat kuat, yaitu fakta sejarah seperti 
> > > diuraikan di atas tadi. Penghilangan kata Cina dan penggunaan kata 
> > > Tionghoa adalah bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia 
> > > dan adanya kerja sama yang baik dan harmonis antara tokoh pejuang 
> > > Tionghoa dan Indonesia. 
> > > 
> > > Juga jelas penggunaan kembali kata 'Cina' di jaman orde baru memiliki 
> > > motif diskriminasi dan penghinaan. Dengan demikian apabila kita masih 
> > > saja menggunakan kata 'Cina', sama saja artinya kita mengubur fakta 
> > > sejarah. Sama saja artinya kita tidak menghargai kesepakatan yang diraih 
> > > oleh para pahlawan kita. Sama saja artinya kita menodai perjuangan para 
> > > tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia baik itu orang Tionghoa maupun 
> > > Indonesia. Sama saja artinya kita mewarisi kebijakan rejim orde baru yang 
> > > rasis dan diskriminatif.
> > > 
> > > Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang 
> > > merhargai para pahlawannya. Saya yakin ini termasuk artinya kita 
> > > meneruskan perjuangan mereka dan menghargai segala jerih payah mereka. 
> > > Penghilangan kata Cina adalah hasil jerih payah pejuang Tionghoa dan 
> > > kesepakatan dengan tokoh pejuang Indonesia. Kalau kita tidak bisa 
> > > menghargainya (atau dengan kata lain kalau saja masih memakai kata Cina), 
> > > berarti kita bukanlah bangsa yang besar. Dengan demikian, orang Tionghoa 
> > > yang sudah mengerti fakta sejarah ini tetapi masih saja menggunakan kata 
> > > 'cina' bukanlah orang yang “besarâ€?!
> > > 
> > > Penutup
> > > Setelah mengetahui fakta sejarah ini, diharapkan agar kita semua mulai 
> > > meninggalkan kata 'cina'. Perlu diperhatikan juga, masih banyak orang 
> > > Tionghoa yang menggunakan kata-kata yang tidak pantas untuk menyebut 
> > > orang Indonesia. Kebiasaan jelek ini juga harus kita tinggalkan.
> > > 
> > > Pramudya Ananta Tur dalam sebuah wawancara mengungkapkan: "Masalah 
> > > "Cina-Tionghoa" bukan sekedar istilah yang mana yang lebih enak diucap 
> > > atau ditulis, tapi bottom line-nya adalah mengembalikan kebenaran sejarah 
> > > atas perjuangan Tionghoa dalam pembentukan Republik Indonesia yang hampir 
> > > terhapus selama hampir 40 tahun."
> > > 
> > > Saya sangat setuju sekali, masalah utamanya bukanlah soal mengandung 
> > > penghinaan, konotasi, atau enak tidaknya didengar, tetapi makna 
> > > sejarahnya!
> > > 
> > > Dedi S Lim
> > > 
> > > Referensi:
> > > 1. Leo Suryadinata, "Negara dan Etnis Tionghoa", bab 4, LP3ES
> > > 2. Artikel "Cina atau Tionghoa" karangan Siau Gok Tjhan
> > > 3. Artikel "Cina atau Tionghoa?" karangan Dr Irawan (Sumber: 
> > > www.indonesiamedia.com)
> > > 4. Benny G Setiono, “Tionghoa dalam Pusaran Politikâ€?.
> > >
> >
>


Kirim email ke