Makasi bro saya lihat subjectnya sih hehehe maaf ya
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: "WIRAnata Kemala Deng" <w...@isatbb.com>
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:36:39 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

ßro Jackson. 
Dianjurkan pake kata Tionghoa aja, nanti ada yang tersinggung loh. 
My 2 cents aja yaa. 
-----Original Message-----
From: jackson_ya...@yahoo.com
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:26:10 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG 
CINA

Selamat jalan Gus Dur
Surga telah menanti mu
Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus 
sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: "east_road" <east_r...@yahoo.com>
Date: Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: [budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG CINA

oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun 
sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau mendaftarkan anak 
ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan 
terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama "Nagaria". Biasanya naga 
menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini 
tertawa-tawa? "Hartadinata", terasa lucu, karena  tidak klop antara kekayaan 
dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di 
telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang 
Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk 
kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan 
meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal 
kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain 
yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain 
dalam waktu singkat.Secara terasa, "kesepakatan" meluas itu akhirnya mengambil 
bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk 
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan 
dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan 
mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk 
dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi 
pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang 
memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai  pula 
dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa 
kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk 
berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu mereka 
disalahkan pula: "penyebab kesenjangan sosial".

Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa  
keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab 
kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal 
permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui 
pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak 
faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan 
hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan. 
Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan 
potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan 
satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga 
dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit 
orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan 
sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah 'sasaran 
kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu 
oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya 
wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat 
serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa 
banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal  seperti itu, tetapi tentunya tidak 
dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang 
lain juga berbuat sama.

Dengan  demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa 
dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur 
umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan 
perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu 
ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh "posisi kolektif" mereka 
dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang 
ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.

Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang hitam di 
Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan  kemampuan sama maju 
dengan orang Cina, seperti semakin banyak  terbukti saat ini. Begitu pula 
bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas maupun mayoritas. Tesis 
pokoknya di sini adalah: dapatkah kelebihan kekayaan orang Cina dimanfaatkan 
bagi usaha lebih memeratakan lagi tingkat pendapatan segala lapisan masyarakat 
bangsa kita di masa depan?

Jawabnya, menurut penulis, adalah positif. Orang Cina, sebagaimana orang-orang 
lain juga, dapat diappeal untuk berkorban bagi kepentingan masa depan bangsa 
dan negara. Tentu dengan tetap menghormati hal-hal  mendasar yang mereka 
yakini, seperti kesucian hak-milik dari campur-tangan orang lain.
Pemindahan kekayaan secara masif bukanlah barang baru bagi orang Cina, karena 
mereka pun baru saja melakukan hal itu, dalam bentuk merampungkan upaya 
akumulasi modal yang bukan main besarnya.

Salah satu instink untuk tetap bertahan hidup bagi orang Cina adalah realisme 
sangat besar yang mereka miliki. Akal mereka akan mendiktekan keputusan 
pemindahan kekayaan secara masif kepada mereka yang lebih  lemah, dalam upaya 
mendukung pihak lemah itu agar juga menjadi kuat. Tetapi itu semua h arus 
dilakukan dengan menghormati kesucian hak-milik mereka, bukan dengan cara 
paksaan atau keroyokan.

Kalau begitu duduk perkaranya, jelas akses orang Cina kepada semua bidang 
kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau sekarang ada tiga  
orang Arab menjadi menteri, tanpa ada pertanyaan atau kaitan apa pun dengan 
asal-usul etnis atau rasial mereka, hal yang sama juga harus  diberlakukan bagi 
orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa 
pun. Kalau prestasi para dokter orang Cina sama baiknya dengan yang lain-lain, 
mereka pun berhak menjadi kepala rumah sakit umum. Begitu juga menjadi 
jenderal, dan demikian seterusnya.

Cerita gurau yang luas beredar menyebutkan perbedaan orang Jawa dari orang  
Cina. Orang Jawa, kata cerita itu, akan senantiasa menanyakan kesehatan kita 
kalau bertemu: "sampean waras?" Bagi orang Jawa yang mudah masuk ang in dan 
sebagainya, kesehatan adalah perhatian utama. Ini berbeda dengan orang   Cina. 
Kalau berjumpa dengan orang lain, pertanyaan yang diajukan: "sampean apa sudah 
cia?" alias apakah sudah makan atau belum. Mengapa? Karena mereka dahulu datang 
kemari akibat bahaya kelaparan di daratan Cina, negeri asal mereka.

"Keanehan" seperti itu adalah karakteristik etnis, yang tidak boleh mengganggu 
keserasiah hidup sebuah bangsa. Apalagi bagi bangsa yang pada dasarnya sudah 
sangat heterogen, seperti bangsa kita. Kita sudah harus dapat melihat 
karakteristik khusus orang Cina seperti juga 'keanehan' suku-suku bangsa kita 
yang lain.

Ini berarti kita harus mengubah cara pandang kita kepada orang Cina. Mereka 
harus dipandang sebagai unit etnis. Bukan unit rasial !.

Kalau kita bisa menerima kehadiran orang Flores, Maluku dan Irian sebagai 
satuan etnis - padahal mereka bukan dari stok Melayu (karena stok mereka adalah 
Astromelanesia), maka secara jujur kita harus melakukan hal yang sama kepada 
stok Cina. Juga stok Arab. Mereka bukan orang luar, melainkan kita-kita juga. 
Mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Itulah reaksi pertama pada ajakan 
"menyatukan dengan orang Cina". Akan banyak alasan dikemukakan dan argumentasi 
diaju kan. Karena, memang, dalam diri kita telah ada keengganan mendasar untuk 
menerima kehadiran orang Cina sebagai "orang sendiri". Kita sudah terbiasa mau 
menerima uang mereka tanpa merasakan kehadiran mereka.

Boleh saja keengganan bahkan ketakutan sepert! i itu kita beri sofistikasi 
sangat canggih. Tetapi, ia tetap saja merupakan keengganan dan ketakutan.  
Sesuatu yang irasional.

Justru itulah yang harus kita perangi, kita jauhi sejauh mungkin.Mengapakah hal 
itu menjadi keharusan? Karena hanya dengan perlakuan wajar,jujur dan fair dari 
kita sebagai bangsa kepada orang Cina sajalah yang dapat mendorong timbulnya 
rasa berkewajiban berbagi kekayaan dan nasib antara mereka dan pengusaha kecil 
kita.

Ini kalau kita benar-benar jujur, lain halnya kalau tidak...

Penulis adalah Ketua Dewan Syura PKB




Kirim email ke