Tulisan yang bagus Erik heng.

Saya tambahkan sedikit ya. Sebelum pak Tjandra atau dr Irawan menganggap kalau 
kita ini punya dendam masa lalu atau selalu merenungkan masa lalu saja.

Gedugn CN hanyalah sebuah contoh yang dipakai. Gedung Candra Naya sendiri 
sampai saat ini masih ada, meski dalam kondisi yang menyedihkan. Entah apakah 
pak Tjandra & Dr Irawan mengetahui hal ini. Jadi kalau nama Candra Naya selalu 
disebut2, itu bukan karena dendam masa lalu. 

Selain gedung CN, masih banyak gedung2 lain yang nasibnya tidak kalah 
menyedihkan.

Salam

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Erik" <rsn...@...> wrote:
>
> 
> Sorry, ikut nimbrung ya Vid!
> 
> Rupanya pak Tjandra kita belum nangkep suasana batin teman-teman yang
> uneg-unegnya sudah panjang lebar ditumpahkan kemarin itu ya?
> 
> Apa yang harus dibanggakan, kalau dibilang "Anjungan Tionghoa di TMII
> luasnya 4,5 ha, sedangkan suku lain cuma 2 ha". Itu khan dibeli dengan
> duit dari koceknya para so call "Tokoh Tionghoa" yang nyatanya adalah
> para Konglomerat. Sekarang ribut-ribut kurang duit (dan minta
> partisipasi masyarakat Tionghoa) untuk membangun main building, kenapa
> tidak minta yayasan TMII aja yang nangani? Nyatanya khan anjungan untuk
> suku-suku lain dibangun oleh yayasan!! Kenapa khusus anjungan Tionghoa
> mesti bangun sendiri? Apa yang salah? Salah dimana? Jangan-jangan
> setelah diusut ternyata adalah SALAH SENDIRI! GOBLOK SENDIRI!!
> 
> Pak Tjandra menandaskan (dengan font tebal) bahwa "Yang dibangun
> bukanlah replika dari gedung bekas kediaman tokoh masyarakat Anu dari
> daerah Anu di Indonesia". Ini lagi-lagi kesalah-pahaman pak Tjandra
> dengan suara hati teman-teman! Teman-teman bukan menginginkan
> dihadirkannya sesuatu yang asli (yang sebelumnya belum pernah ada di
> Indonesia), teman-teman justru keberatan kalau GEDUNG ASLI yang sudah
> bernilai sejarah dibongkar, dirobohkan dan hanya membuat sekedar
> REPLIKAnya saja.
> 
> Adapun tentang Gedung Tua, bukanlah sembarang Gedung Tua yang ingin
> dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Tidak semua, karena memang
> tidak mungkin dan juga tidak perlu! Yang harus dipertahankan adalah
> Gedung Tua yang memiliki nilai sejarah bagi keberadaan, perkembangan dan
> perjuangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Salah satunya adalah Gedung
> CANDRA NAYA!
> 
> Nilai historis Gedung CANDRA NAYA yang dulunya bernama Gedung Sin Min
> Hui bagi masyarakat Tionghoa khususnya dan masyarakat  Indonesia umumnya
> kira-kira sebanding dengan Gedung Joang bagi masyarakat Indonesia.
> Selain dari segi arsitektur gedung ini terbilang lengkap dan sempurna
> dengan gaya Tionghoanya, gedung ini pun adalah bekas tempat tinggal
> Mayor Khouw Kim An (mayor Tiongoa terakhir di Indonesia) yang turut
> mendirikan THHK (Tiong Hua Hui Koan) dan sekaligus ketua Kongkoan di
> awal tahun 1900-an. Setelah perkumpulan Sin Min Hui didirikan, di gedung
> ini pula acap digelar pertunjukan kesenian masyarakat Tionghoa (di
> samping kesenian Betawi, Sunda dan juga Belanda), juga digedung ini
> pernah dipertunjukkan lakon “Kembang Ros Dari Tjikembang”
> yang ditonton oleh presiden Soekarno. Dan yang paling tak bisa dilupakan
> adalah kejadian pada zaman Gedoran di Tangerang pada tahun 1945-1947.
> Dalam kerusuhan anti Tionghoa itu, dipimpin oleh pengurus dan anggota
> Sin Min Hui, masyarakat Tionghoa dari Jakarta melakukan evakuasi
> terhadap masyarakat Tionghoa di Tangerang dan mengangkut dan
> menyelamatkan mereka ke gedung Sin Min Hui (yang kemudian berganti nama
> Candra Naya) ini. Walau pun tidak resmi dijadikan secretariat THHK, tapi
> di gedung Sin Min HUi (Candra Naya) inilah acap diadakan
> pertemuan-pertemuan membahas pergerakan dan kegiatan-kegiatan masyarakat
> Tionghoa. Jadi, tak salah jika dikatakan Gedung Candra Naya adalah saksi
> bisu bagi peristiwa-peristriwa social-politik dan budaya masyarakat
> Tionghoa di Indonesia.
> 
> Namun, kemudian oleh masyarakat Tionghoa sendiri yang a-historis, Gedung
> bersejarah itu dipindah-tangan ke developer dan (rencananya) dibangun
> apartemen yang dilengkapi dengan pusat pertokoan (dan sampai hari ini
> blm rampung). Banyak elemen masyarakat Tionghoa yang keberatan dan
> melayangkan protes terhadap pengurus Candra Naya dan lembaga-lembaga
> lain yang terkait. Namun di tengah perjuangan masyarakat Tionghoa
> mempertahankana gedung Candra Naya bersejarah ini, muncul seorang
> Brigjen Teddy Yusuf (mengaku dan diakui sebagian orang) tokoh masyarakat
> Tionghoa yang menyatakan dukungannya atas pembongkaran gedung Candra
> Naya.
> 
> Kemudian, entah atas prakarsa siapa dan bagaimana prosesnya (ini pak
> Tjandra yang lebih tahu), dicanangkanlah pembangunan Anjungan Tionghoa
> di TMII juga oleh paduka yang mulia Brigjen Teddy Yusuf, yang hari ini
> oleh Pak Tjandra dihimbau partisipasi kita untuk biaya pembangunannya.
> 
> Sikap yang bagaimana lagi yang anda harapkan dari kami pak Tjandra???
> 
> Salam,
> 
> Erik
> 
> ------------------------------------------------------------------------\
> -----------
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dkhkwa" <dkhkwa@> wrote:
> >
> Pa Tjandra,
> Yang owe dengar dari “sumber yang bisa dipercaya”, tanah
> aslinya adalah 1 ha, “Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha
> padahal anjungan lain paling besar 2 ha.” Tapi, karena tanah
> selebihnya dibeli dari penduduk entah dengan sukarela atau paksa
> “bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan
> lahan tsb dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa Tedy juga
> pensiunan petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur maka
> lahan tsb sekarang terbebaskan.” Jadi, kalau sekarang luasnya 4,5
> ha, apa anehnya? Orang boleh beli koq, bukan pengasih babe ato yang
> semasa berkuasanya menindas orang TIONGHOA, untuk “menebus
> dosa”??? Bukankah kata pepatah, “ada uang, ada
> barang”?
> >
> > Luasnya yang jau melebihi anjungan dari daerah-daerah lain di
> Indonesia apa tidak dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan sosial?
> Apalagi bangunan yang hendak dibuat adalah “main building Taman
> Budaya Tionghoa yg megah (ada pagoda segala dan danau buatan di
> kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk perayaan Peh Chun).” Yang
> dibangun bukanlah replika dari gedung bekas kediaman tokoh masyarakat
> Anu dari daerah Anu di Indonesia, yang tak asing bagi sebagian orang,
> tapi sesuatu yang benar-benar asing, karena tidak ada di Indonesia, yang
> tukang-tukangnya “diimpor” langsung dari Tiongkok,
> sedangkan anjungan-anjungan lain toch mengambil contoh, misalnya,
> Keraton Yogyakarta yang memang aslinya benar-benar ada di Yogya.
> “Disain ini bukan replika dari rumah kuno para tuan tanah
> Tionghoa, tetapi sama sekali baru.” Kenapa bersikap
> “alergi” betul terhadap para tuan tanah atau pejabat
> TIONGHOA, sementara etnis LAIN biasa-biasa saja terhadap para pemimpin
> seperti para raja, sultan atau bupati mereka?
> >
> > Ataukah anjungan Tionghoa Indonesia isinya adalah replika Cikim-snia
> (Kota Terlarang) di Pakknia (Beijing), Danau Se’ou (Xihu) di
> Hangciu (Hangzhou), lengkap dengan pohon Yangliu-nya segala, Taman-taman
> Souciu (Suzhou), Pailau (Gerbang) dari Emui (Xiamen), dsb. Kalau orang
> mau melihat bangunan Tionghoa asli di Tiongkok, kenapa mereka harus ke
> Taman Mini? Kenapa tidak terbang saja langsung ke Beijing, Shanghai,
> Hangzhou, Suzhou, Xiamen, Guangzhou, Shenzhen? Di sana malah lebih
> bagus, bukan tiruan seperti kita, tapi asli loh!!! Yang owe tahu, di
> Shenzhen juga dibikin miniatur seperti di kita, China Folk Cultures
> Village, tapi kan mereka menampilkan beragam bangunan berdasarkan
> kelompok etnik yang memang ADA di Tiongkok, bukan mendisain
> bangunan-bangunan baru yang “ngga karuan juntrungannya”!!!
> (PCMIIW) Lalu ke mana orang harus pergi bila ingin mencari dan
> mempelajari bangunan ala TIONGHOA INDONESIA, kalau bangunan asli yang
> ada sudah dihancurkan dan replikanya yang dibuat sesuai aslinya pun
> tidak ada? Apakah sejarah dan jatidiri Tionghoa Indonesia mau
> dihapuskan, digantikan dengan sejarah non-Tionghoa Indonesia versi Taman
> Mini yang―lagi-lagi―“ngga karuan
> juntrungannya”???
> >
> > Owe harep itu perkara tida nanti sampe kajadian pada generatie muda
> kita sampe kapan juga. Muhun maaf seandeh owe punya kata-kata ada yang
> sala.
> >
> > Kiongchiu,
> > DK
>


Kirim email ke