Kepada Yth Sianseng David Kwa, Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, besok sudah berbuah. Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen. Mereka baru timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat. Makanya dari pada mikir yg susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon sianseng maafken. Soja, Tjandra G
--- On Thu, 1/28/10, dkhkwa <dkh...@yahoo.com> wrote: From: dkhkwa <dkh...@yahoo.com> Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, January 28, 2010, 4:18 PM Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli <ghozalli2002@ ...> wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun "main building" yang dibangun baru "sub building" yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) mengelilingi main building yg belum dibangun. Seperti yang dikatakan oleh ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu terbentur biaya. Agak miris juga kalau di kalangan warga Tionghoa banyak yg jadi konglomerat, malah anjungannya "melarat" Oleh karena itu saya kepikiran untuk membantu pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet pedulli "Anjungan Budaya Tionghoa Indonesia" yang akan dimuat daftar penyumbangnya di majalah POST Media. Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy Yusuf sudah buka account bersama di Bank Mandiri.No. rekening 125-00-0997473- 4 an Tedy Yusuf & Tjandra Ghozalli. Diharapkan para member millis ini bersedia membantu pembangunan anjungan kita itu. Perlu diketahui bahwa anjungan tersebut bukan milik PSMTI tetapi milik warga Tionghoa yg diserahkan oleh pak Harto (alm) kepada pak Tedy Yusuf. RGDS.Tjandra G