Kebaya Encim dan sarung nyonya

Kebaya Encim dan Sarung Nyonya jarang pernah didengar oleh Generasi muda 
sekarang terutama Generasi muda tionghoa.
Ketika Batik dicanangkan sebagai budaya aset nasional dan berbondong - bondong 
orang memakai batik.
Dan merebut budaya batik dari pengakuan dan pengklaiman dari negara lain.

Terlupakan dan tidak terlintas dalam pemikiran kita bahwa ada Suatu Budaya 
kultur nasional yang sangat penting yaitu kebaya encim.
Batik, Kain songket, Dan kebaya Encim dan sarung nyonya adalah hasil budaya 
Alkurturasi Budaya Jawa, Sumatra, Belanda dan Tionghoa.
Terlintas bahwa mengapa batik itu dapat ditemui di negeri Tiongkok, malaysia, 
singapura dan sebagainya.
Dikarenakan bahwa sebenarnya asal mula motif mendasar pakaian batik berasal 
dari negeri Tiongkok.
Pada awalnya sejarah batik adalah Dari kain motif bunga berwarna pada pakaian 
wanita di negeri tiongkok.
Kemudian dibawa ke Tanah jawa oleh Saudagar negeri tiongkok, pada awalnya Kain 
ini dipersembahkan kepada
Penguasa Kerajaan Majapahit. 

Dan kemudian Melihat corak pakaiannya begitu indah, maka diperkenalkan kepada 
masyrakat majapahit untuk mulai membuat garis motik
dari simbol- simbol tanah jawa sehingga munculah kain bernama Batik. Batik dan 
Kebaya encim dan sarung nyonya ada perbandingan 
dasar dari cara pemakai dan jenis kelaminnya. Batik dikhususkan untuk pria, 
lain halnya pada jaman sekarang Batik dapat digunakan oleh pria maupun wanita 
dan bahkan menjadi accesories seperti
tas, dompet wanita, kipas, dan sebagainya, untuk kebaya sendiri untuk wanita.
Yang saya bahas bukanlah batik, Tapi kebaya Encim dan sarung nyonya banyak 
masyarakat Indonesia melupakan kain ini, kenapa kok di beri nama kebaya encim 
dan Sarung Nyonya.

Kata encim berasal dari Julukan atau panggilan Wanita yang sudah bekerluarga 
atau wanita  usia paruh baya dari suku tionghoa. Kata "encim"
Sebenarnya tidak ada dalam kamus Mandarin Tionghoa, Pangilan "encim" sebenarnya 
akulturasi bahasa Hokkian untuk" Cici" atau kakak perempuan.
Dan bahasa lokal betawi. Sehingga kita mengenal ada kalimat betawi seperti 
"Engkong" yang berasal dari " Akung"  dalam bahasa mandarin 
untuk memanggil kakek. Pangilan "Encim" pada tempo dulu adalah panggilan 
terhormat untuk memangil seseorang yang dituakan. Lain halnya jaman sekarang
Jika ada wanita paruh baya atau sudah menikah dari keturunan tionghoa dipanggil 
"Encim" pasti marah, mengira penghinaan pada dirinya.
Padahal tempo dulu pangilan "Encim" adalah pangilan terhormat.

sementara kebaya adalah pakaian adat jawa dan sumatra  yang dikenakan oleh kaum 
bangsawan wanita pada jaman dahulu.
Pada era Penjajahan Belanda terutama lingkungan Tionghoa peranakan, kaum wanita 
tionghoa peranakan 100% mengunakan kebaya, 
dalam kehidupan sehari - harinya. Kebaya encim sendiri mengalami penyebaran 
sehinga setiap daerah mengalami perubahan corak,
motif, sampai warna, Penyebaran kebaya Encim dan sarung nyonya  ini meliputi 
daerah Sumatra, Kalimatan, Jawa, Bali Dan Khususnya Jakarta / Batavia.

Pada kalimat "Sarung nyonya" Adalah dari kalimat nyonya adalah kalimat wanita 
yang paruh baya atau sudah menikah yang berasal dari Bahasa belanda.
Pada lingkungan tionghoa peranakan ada yang dikenal istilah "BABAH dan NYONYA". 
Istilah ini sebenarnya tak hanya digunakan di Indonesia sendiri tetapi
malaysia, dan singapura, kalimat "BABAH dan NYONYA ",penjelasannya adalah untuk 
memanggil kaum pria keturunan tionghoa dengan kalimat "BABAH" yang sudah 
menikah atau usia paruh baya.
"Nyonya" Pangilan Wanita pada jaman Belanda untuk pangilan wanita bangsawan 
yang sudah menikah atau paruh baya.

"Sarung nyonya "itu sendiri dipakai pada bawahan wanita pada tempo dulu seperti 
layaknya rok wanita jaman sekarang, pemakaian
sarung sendiri bisa dipakai oleh kaum wanita ataupun kaum pria, pengunaan 
sarung pada pria anda bisa lihat dalam budaya Betawi dan Sunda khususnya sampai 
sekarang.
Dalam lingkungan Masyarakat tionghoa peranakan khususnya wanita bawahan 
pakaiannya mengunakan sarung, 
ini dapat terlihat penyebarannya "Sarung Nyonya" di daerah Sumatra, jawa, 
Bali,Jakarta dan Kalimatan.

===============================================================================================================

Motif

Salah satu pengaruh kebudayaan peranakan Tionghoa yang paling
menonjol dalam karya seni Indonesia adalah seni batik, terutama
yang dinamakan sebagai batik pesisir. Dinamakan pesisir, karena kota-
kota yang menghasilkan kain batik ini seperti Indramyu, Cirebon,
Pekalongan, Lasem dan Tuban terletak pada pesisir utara pantai pulau
Jawa. Dan orang Tionghoa yang datang ke pulau Jawa pertama-tama
dan sebagian besar tinggal di kota-kota pesisir ini dan telah
terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan lokal selama itu.

Berbeda dengan batik-batik dari pedalaman Jawa, atau disebut juga
sebagai batik "vorstenlanden" seperti batik Solo (Surakarta) dan
Jogya yang berwarna "sogan" sebagai unsur warna dominannya. Batik
pesisir lebih ceria, berani menggunakan warna, bermotif flora dan
fauna atau binatang-binatang mitologi serta kaya akan corak ragam
hiasnya (motif).

Motif-motif binatang mitologi, folklor, dan simbol kebudayaan
Tionghoa, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu,
kilin, banji (swastika atau simbol kehidupan abadi), dll banyak
menghiasi seni karya batik pesisir ini atau yang disebut sebagai
batik peranakan. Motif-motif atau corak ragam hias Tionghoa ini
banyak mendapatkan inspirasi dari motif benda keramik atau
porselin (Ming dan Ching) serta kain sutera Tiongkok .

Setiap kota memiliki corak ragam hias dan keunikan yang berbeda
dan khusus, seperti motif Mega-mendung, Peksi naga liman, Wadasan,
dan Banji pada batik Cirebon, motif batik Encim, Pagi-Sore, dan
Sam Pek Eng Tay yang bermotifkan kupu-kupu, sebagai lambang
kesetiaan dan pernikahan bahagia pada batik Pekalongan dan motif
Tiga negeri, Bangbiru, Lok-Chan pada batik Lasem. Batik Lasem
adalah salah satu batik pesisir yang indah dan bernilai artistik,
serta digemari banyak orang, dalam dan luar negeri.

Pengaruh motif Tionghoa yang paling dominan adalah pada batik Lasem
terutama dengan motif Lok Chan, secara harafiah berarti sutera
biru, mungkin karena untuk pertama kalinya kain ini dibuat dari
sutera, yang pada saat itu didatangkan dari Tiongkok dan berwarna
biru.(pengaruh dari keramik atau porselin Ming), tetapi warna
dominan dari batik Lasem adalah warna merah darah.

Pengaruh ragam hias Tionghoa yang dominan pada batik Lasem ini,
disebabkan karena jumlah penduduk Tionghoanya yang relatif banyak
dan telah bermukim lama di kota ini. Dalam sejarahnya, Lasem
adalah salah satu kota pertama di pulau Jawa yang didatangi dan
dikunjungi oleh komunitas Tionghoa. Di Lasem masih banyak bangunan-
bangunan bergaya arsitektur tradisionil Tiongkok yang dikelilingi
oleh tembok tinggi. Sineas Remy Silado bahkan mengambil shooting
film "Ca Bau Kan" di Lasem sebagai salah satu lokasinya yang
terpilh, karena suasana komunitas Tionghoanya yang masih kental.

Batik peranakan dari Lasem ini sangat digemari dan populer pada
masyarakat Sumatra Barat dan digunakan sebagai syal oleh kaum
prianya dalam upacara adat di Sumatera Barat. Demikian juga di Bali,
Lombok dan Sumbawa, batik Lok Chan ini dipakai dalam upacara adat,
pelengkap busana dan lambang atau status kedudukan seseorang.

Batik-batik pesisir yang mempunyai nilai seni dan artistik ini
banyak menghiasi museum-musem dan kolektor pribadi di mancanegara.
Fungsi batik peranakan pesisir ini, bukan hanya digunakan sebagai
busana, seperti kebaya saja atau upacara adat saja, melainkan juga
digunakan sebagai alas meja sembahyang atau disebut Tokwi pada
masyarakat peranakan Tionghoa.

Mungkin yang paling populer di kalangan masyarakat peranakan
Tionghoa, adalah batik Encim dari Pekalongan yang banyak dipakai
oleh wanita-wanita peranakan Tionghoa sebagai kebaya (kebaya
Encim) pada waktu dahulu. Motif batik Encim sebenarnya adalah
batik yang dipengaruhi oleh campuran budaya Tionghoa dan budaya
Belanda (Eropah). Warnanya diinspirasikan oleh warna
porselin "famille rose" dan "famille verte" (porselin dari periode
dinasti Ching) yang berwarna pastel dadu (pink) dan biru, sedangkan
motifnya dari Eropah, yaitu "buketan" atau segenggam bunga (berasal
dari kata bouquet).

Batik Encim ini adalah identitas utamanya wanita peranakan
Tionghoa. Pada jaman sekarang wanita peranakan Tionghoa hanpir
jarang memakai kebaya Encim lagi, kecuali pada acara-acara
tertentu. Tetapi ini bukan berarti bahwa batik Encim sudah dilupakan
orang sama sekali. Beberapa fashion disainer muda berbakat telah
menemukan kembali warisan budaya batik Encim ini dan mendisain
kembali bahan batik Encim ini menjadi busana modern dengan
interpretasi kontemporer.

Mungkin pria terkenal yang sering mengenakan busana batik adalah
Gus Dur dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan, dan bahkan kadang-
kadang presiden SBY juga mengenakannya. Terakhir terlihat SBY
mengenakan batik pesisir Cirebon dengan motif Megamendung yang
indah. Hal ini berbeda dengan anggauta-anggauta DPR-RI kita yang
sekarang lebih berbangga mengenakan busana modern Jas yang dibuat
dari bahan wol, daripada busana batik yang dibuat dari kain mori.
Untuk wanita yang terkenal yang menggunakan Batik encim dan Sarung Nyonya  
adalah  menteri
Perdagangan ibu Maria Elka Pangestu.

=======================================================================================================

Pengaruh Budaya dan akulturasi budaya

Budaya campuran ini juga dapat kita lihat di Lasem, pemukiman
Tionghoa yang termasuk tertua di pantai utara Jawa.
Di Daerah lasem Jawa tengah terdapat banyak sekali produsen rumahan dan 
pengrajin batik dan kebaya,dari jaman penjajahan sampai sekarang.
Keberadaan mereka masih eksis sampai sekarang. Banyak sekali pengrajin yang 
berasal dari suku jawa, suku tionghoa bekerja bersama - sama untuk
memproduksi kain batik dan kain kebaya. motif mereka Gunakan sangat lah unik, 
pencampuran motif pakaian belanda, Tionghoa dan jawa.

Pada dasarnya Motif-Motif Kebaya Encim, Batik, dan Kain songket memiliki ciri 
khas sendiri, Setiap goresan dan guratan kainnya, memiliki arti filosofi
sendiri, layaknya dalam budaya tionghoa, juga memiliki setiap simbol-simbol 
guratan coretan kainnya memiliki makna tersendiri seperti persahabatan, kasih 
sayang,
Gagah perkasa, kewibawaan dan sebagainya, Setiap guratan simbol-simbol kain 
memiliki ciri khas filosofi Jawa, Sumatra, dan juga Tionghoa.

Di Jawa, walau batik hampir semua berlatarkan warna cokelat,
membedakan antara batik Solo dan Jogya.  mengenai batik Pekalongan, yang
adalah busana wanita Tionghoa (tepat, dengan kebaya putih). 

kalau batik Pekalongan itu, bahannya lain dari batik
Jawa, yakni sutra.  batik Pekalongan lebih menarik polanya, 
Kini, menikah dengan wanita Minahasa,  bahwa kebaya wanita
Minahasa, adalah diambilkan dari kebaya wanita peranakan, yakni
putih. Demikian pula di Malukku. Ini terjadi, karena pembauran di
Minahasa lebih intensif daripada di Jawa. Ini kita lihat pula, dari
makam tradisonal Minahasa (dari masa pra Kristiani), yang
dinamakan "Waruga", kebanyakan diisi dengan pot pot dan bahan rumah
tangga keramik Tionghoa.

Kebaya yang berasal dari minahasa ini anda dapat lihat juga di Malakka, 
terutama di-gambar gambar
di museum Baba-Nonya.

Meskipun sama-sama batik, sarung dan kebaya, bedanya kontras.
Karena yang memakai batik ini biasanya berbeda, batik corak putih ini yang
dikenal batik Nyonya, dan hanya dipakai oleh orang Tionghoa.
Baju kebayanya biasanya berwarna polos, kebanyakan putih, tapi ada yang berwarna
muda, misalnya merah muda, hijau muda dan sebagainya, tapi pasti polos, bagian
bawahnya tidak rata, tapi panjang di depan, jadi ujungnya agak lancip, biasanya
diberi renda atau sulaman lain.

Kebaya berkembang ada, latar putih kembang biasanya biru, ini untuk orang tua,
nenek-nenek. Singapore mempunyai musium yang memamerkan budaya peranakan. Bahkan
tahun lalu ada pesta perkawinan peranakan yang disponsori biro turis dan
diadakan upacara besar di musium. Penonton banyak, terutama turis. Memang
tujuannya menarik turis.

Jangan lupa budaya di Tiongkok sendiri tiap daerah berbeda di Indonesia. 
Budaya kita di Indonesia kebanyakan berasal dari budaya
Hokkian dan Kheq yang dominan. Orang Tio ciu , Hainan, Jasirah Leizhou, Taiwan
adalah turunan imigran Hokkian yang pindah ke sana. Orang Kheqpun terdapat di

Taiwan, Hunan, Sichuan di Tiongkok barat.
=========================================================================================================================================================

Cara pengunaan dan pemakaian

Kebaya Encim dipakai pada atasan baju wanita, dan Sarung Nyonya digunakan pada 
bawahan wanita.
Biasanya dapat ditambahkan aksesories lainnya seperti kain songket, kain ini 
digunakan pada bahu wanita, 
Kain songket sendiri dapat digunakan oleh pria, tergantung dari pola warnanya, 
Pakaian ini dahulu dipakai dalam ruang lingkup
sehari - hari, dan juga pada saat pesta. Lain halnya sekarang Kebaya Encim dan 
Sarung Nyonya dipakai untuk Acara tertentu, seperti
pesta, Peresmian, Atau acara - acara Budaya, pada era sekarang Kebaya encim dan 
sarung Nyonya mengalami perubahan drastis, sehingga
motifnya sangat menarik dan Indah digunakan pada acara penting.

=========================================================================================================================================================

Kesimpulan. 

Kebaya encim dan sarung nyonya adalah aset nasional yang mesti dilestarikan, 
kebaya Encim ini hampir punah dengan kemajuan zaman.
Banyaknya generasi muda sekarang, terutama generasi wanita Tionghoa Indonesia 
sekarang baik tua ataupun muda,
tidak mau memakai Kebaya Encim dan sarung Nyonya ini, takut dipanggil "ENCIM". 
Sehingga penguna kebaya encim ini mulai jarang terlihat 
oleh masyarakat Indonesia. Janganlah Aset Budaya "Kebaya Encim dan Sarung 
Nyonya" direbut oleh negara lain dan diklaim salah satu budaya
nasional mereka, barulah kita marah-marah, dan mulai berbondong - bondong 
memakainya karena takut direbut negara lain, seperti kejadian batik
diakui budaya NEgara Lain.
jangan ada lagi perebutan Aset budaya nasional kembali, mari kita lestarikan 
"kebaya Encim" sebagai aset nasional negara Kita.
Karena "Kebaya Encim dan sarung Nyonya" tidak dapat ditemukan dinegara manapun 
selain Indonesia.
 

*tulisan ini serta merta mengalami perubahan sesuai dengan adanya data 
pendukung"

Ucapan terima kasih kepada
NaraSumber dan Kontributor :

- Bpk David Kwa
Peneliti dan pengamat budaya Tionghoa Peranakan Indonesia.
 
- Ibu Hartati
Peneliti dan Pengamat Budaya Tionghoa.

- Prof. DR Hans Hwie Song
Pengamatan dan peneliti.

- Prof. Dr. Leo Suryadinata.
Peneliti dan pengamat Budaya Nasional 

- Bapak RM. Danardono.
Peneliti dan pengamat Budaya Jawa

- BPk Ahmad Bukhtari saleh.
Peneleti dan pengamat budaya Nasional dan budaya tionghoa.

- Bapak liang U.

- Bapak King Hian.


- Segenap anggota Milis Budaya Tionghoa dan Tionghoa Net, yang telah memberikan 
sumbangsih besar bagi
pelestarian Budaya yang telah memberikan sumbangsih penulisan ini, dan tak 
dapat disebutkan namanya satu persatu.


- INTI (Ikatan Nasionalis Tionghoa Indonesia)

- PSMTI (Persatuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia)

- Seluruh Organisasi masyarakat Tionghoa dan Tokoh - Tokoh masyarakat Indonesia 
yang melakukan pelestarian Budaya.


Kirim email ke