wah terima kasih infonya..

--- Pada Sel, 23/3/10, David <dkh...@yahoo.com> menulis:


Dari: David <dkh...@yahoo.com>
Judul: [budaya_tionghua] Re: Kebaya Encim dan sarung nyonya
Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 23 Maret, 2010, 2:24 AM


  



ER:
Kata encim berasal dari Julukan atau panggilan Wanita yang sudah bekerluarga 
atau wanita usia paruh baya dari suku tionghoa. Kata "encim" sebenarnya tidak 
ada dalam kamus Mandarin Tionghoa, Pangilan "encim" sebenarnya akulturasi 
bahasa Hokkian untuk" Cici" atau kakak perempuan. Dan bahasa lokal betawi. 
Sehingga kita mengenal ada kalimat betawi seperti "Engkong" yang berasal dari " 
Akung" dalam bahasa mandarin untuk memanggil kakek. Pangilan "Encim" pada tempo 
dulu adalah panggilan terhormat untuk memangil seseorang yang dituakan. Lain 
halnya jaman sekarang Jika ada wanita paruh baya atau sudah menikah dari 
keturunan tionghoa dipanggil "Encim" pasti marah, mengira penghinaan pada 
dirinya.
Padahal tempo dulu pangilan "Encim" adalah pangilan terhormat.

DK:
Encim bukan “julukan atau panggilan wanita yang sudah berkerluarga atau wanita 
usia paruh baya dari suku tionghoa”, tapi artinya sama saja dengan Bibi 
(Melayu, Sunda), Bulik (Jawa), Tante (Belanda), Aunty (Inggris), atau Sukme 
��"姆 (Hakka), Shenshen 嬸嬸 (Mandarin). Artinya, “istri adik laki-laki ayah 
(Encek)”. Demikianlah Encing (Betawi) disinyalir berasal dari kata Encim ini. 
Kata Encim berasal dari kata Hokkian (Selatan) Ng-cim �'�嬸, bukan Mandarin, 
maka tidak akan ada dalam kamus Mandarin.
Awalnya panggilan Encim ini dipakai untuk menyapa wanita paruh baya yang 
usianya sebaya dengan istri adik laki-laki ayah (Encek) seseorang, namun 
lambat-laun hanya dipakai untuk wanita yang sudah lanjut, sehingga banyak orang 
merasa alergi dipanggil Encim, maunya Tante, karena beranggapan Encim adalah 
wanita yang sudah nene-nene. Demikian pula banyak orang yang tidak suka 
dipanggil Encek, maunya Oom. 
Engkong berasal dari Ng-kong �'�公 (Hokkian Selatan) yang sama saja artinya 
dengan Akung 阿公 (Hakka), Yeye 爺爺 (Mandarin).
Istilah Encim yang dilekatkan kepada kebaya Tionghoa peranakan bukan berasal 
dari nama kebaya itu sendiri, tapi nama yang dilekatkan oleh para disainer pada 
1970-an, karena melihat yang masih setia mengenakan kebaya itu tinggal wanita 
tua alias Encim-encim tadi. Padahal nama kebaya ini sebenarnya KEBAYA NYONYA, 
dengan padanannya SARUNG NYONYA, bukan kebaya Tante (Encim kan = Tante???).

ER:
Fungsi batik peranakan pesisir ini, bukan hanya digunakan sebagai busana, 
seperti kebaya saja atau upacara adat saja, melainkan juga digunakan sebagai 
alas meja sembahyang atau disebut Tokwi pada masyarakat Tionghoa peranakan. 

DK:
Toq-ui (Tokwi) 桌圍 bukan “alas meja sembahyang”, tapi “penutup bagian muka meja 
sembahyang, di antara kedua kakinya. Toq-ui biasanya tersulam indah. Istilah 
Toq-ui berlaku umum, bukan hanya di Tionghoa Peranakan.

ER:
Pada kalimat "Sarung nyonya" Adalah dari kalimat nyonya adalah kalimat wanita 
yang paruh baya atau sudah menikah yang berasal dari Bahasa belanda. Pada 
lingkungan tionghoa peranakan ada yang dikenal istilah "BABAH dan NYONYA". 
Istilah ini sebenarnya tak hanya digunakan di Indonesia sendiri tetapi 
malaysia, dan singapura, kalimat "BABAH dan NYONYA ",penjelasannya adalah untuk 
memanggil kaum pria keturunan tionghoa dengan kalimat "BABAH" yang sudah 
menikah atau usia paruh baya. "Nyonya" Pangilan Wanita pada jaman Belanda untuk 
pangilan wanita bangsawan yang sudah menikah atau paruh baya.

DK:
Istilah NYONYA bukan berasal dari bahasa Belanda, tapi dari Hokkian (Selatan) 
Nio-a 娘��". Istilah ini dipakai kepada wanita Tionghoa yang terhormat, menjadi 
panggilan khas Tionghoa Peranakan. Itulah sebabnya istilah ini dikenal juga di 
Singapura dan Malaysia. BABA adalah panggilan kepada laki-laki Tionghoa 
Peranakan, kira-kira artinya setara dengan BAPAK. Orang Betawi memanggil 
ayahnya BABA, atau berubah jadi BABAH atau BABE di beberapa daerah tertentu.

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "east_road" <east_r...@. ..> wrote:

Kebaya Encim dan sarung nyonya

Kebaya Encim dan Sarung Nyonya jarang pernah didengar oleh Generasi muda 
sekarang terutama Generasi muda tionghoa. Ketika Batik dicanangkan sebagai 
budaya aset nasional dan berbondong - bondong orang memakai batik. Dan merebut 
budaya batik dari pengakuan dan pengklaiman dari negara lain.

Terlupakan dan tidak terlintas dalam pemikiran kita bahwa ada Suatu Budaya 
kultur nasional yang sangat penting yaitu kebaya encim. Batik, Kain songket, 
Dan kebaya Encim dan sarung nyonya adalah hasil budaya Alkurturasi Budaya Jawa, 
Sumatra, Belanda dan Tionghoa.
Terlintas bahwa mengapa batik itu dapat ditemui di negeri Tiongkok, malaysia, 
singapura dan sebagainya. Dikarenakan bahwa sebenarnya asal mula motif mendasar 
pakaian batik berasal dari negeri Tiongkok.

Pada awalnya sejarah batik adalah Dari kain motif bunga berwarna pada pakaian 
wanita di negeri tiongkok. Kemudian dibawa ke Tanah jawa oleh Saudagar negeri 
tiongkok, pada awalnya Kain ini dipersembahkan kepada Penguasa Kerajaan 
Majapahit. 

Dan kemudian Melihat corak pakaiannya begitu indah, maka diperkenalkan kepada 
masyrakat majapahit untuk mulai membuat garis motik dari simbol-simbol tanah 
jawa sehingga munculah kain bernama Batik. Batik dan Kebaya encim dan sarung 
nyonya ada perbandingan dasar dari cara pemakai dan jenis kelaminnya. Batik 
dikhususkan untuk pria, lain halnya pada jaman sekarang Batik dapat digunakan 
oleh pria maupun wanita dan bahkan menjadi accesories seperti tas, dompet 
wanita, kipas, dan sebagainya, untuk kebaya sendiri untuk wanita.
Yang saya bahas bukanlah batik, Tapi kebaya Encim dan sarung nyonya banyak 
masyarakat Indonesia melupakan kain ini, kenapa kok di beri nama kebaya encim 
dan Sarung Nyonya.

Kata encim berasal dari Julukan atau panggilan Wanita yang sudah bekerluarga 
atau wanita usia paruh baya dari suku tionghoa. Kata "encim" sebenarnya tidak 
ada dalam kamus Mandarin Tionghoa, Pangilan "encim" sebenarnya akulturasi 
bahasa Hokkian untuk" Cici" atau kakak perempuan. Dan bahasa lokal betawi. 
Sehingga kita mengenal ada kalimat betawi seperti "Engkong" yang berasal dari " 
Akung" dalam bahasa mandarin untuk memanggil kakek. Pangilan "Encim" pada tempo 
dulu adalah panggilan terhormat untuk memangil seseorang yang dituakan. Lain 
halnya jaman sekarang Jika ada wanita paruh baya atau sudah menikah dari 
keturunan tionghoa dipanggil "Encim" pasti marah, mengira penghinaan pada 
dirinya.
Padahal tempo dulu pangilan "Encim" adalah pangilan terhormat.

Sementara kebaya adalah pakaian adat jawa dan sumatra yang dikenakan oleh kaum 
bangsawan wanita pada jaman dahulu. Pada era Penjajahan Belanda terutama 
lingkungan Tionghoa peranakan, kaum wanita tionghoa peranakan 100% mengunakan 
kebaya, 
dalam kehidupan sehari - harinya. Kebaya encim sendiri mengalami penyebaran 
sehinga setiap daerah mengalami perubahan corak, motif, sampai warna, 
Penyebaran kebaya Encim dan sarung nyonya ini meliputi daerah Sumatra, 
Kalimatan, Jawa, Bali Dan Khususnya Jakarta / Batavia.

Pada kalimat "Sarung nyonya" Adalah dari kalimat nyonya adalah kalimat wanita 
yang paruh baya atau sudah menikah yang berasal dari Bahasa belanda. Pada 
lingkungan tionghoa peranakan ada yang dikenal istilah "BABAH dan NYONYA". 
Istilah ini sebenarnya tak hanya digunakan di Indonesia sendiri tetapi 
malaysia, dan singapura, kalimat "BABAH dan NYONYA ",penjelasannya adalah untuk 
memanggil kaum pria keturunan tionghoa dengan kalimat "BABAH" yang sudah 
menikah atau usia paruh baya. "Nyonya" Pangilan Wanita pada jaman Belanda untuk 
pangilan wanita bangsawan yang sudah menikah atau paruh baya.

"Sarung nyonya "itu sendiri dipakai pada bawahan wanita pada tempo dulu seperti 
layaknya rok wanita jaman sekarang, pemakaian sarung sendiri bisa dipakai oleh 
kaum wanita ataupun kaum pria, pengunaan sarung pada pria anda bisa lihat dalam 
budaya Betawi dan Sunda khususnya sampai sekarang. Dalam lingkungan Masyarakat 
tionghoa peranakan khususnya wanita bawahan pakaiannya mengunakan sarung, ini 
dapat terlihat penyebarannya "Sarung Nyonya" di daerah Sumatra, jawa, 
Bali,Jakarta dan Kalimatan.

Motif

Salah satu pengaruh kebudayaan Tionghoa peranakan yang paling menonjol dalam 
karya seni Indonesia adalah seni batik, terutama yang dinamakan sebagai batik 
pesisir. Dinamakan pesisir, karena kota-kota yang menghasilkan kain batik ini 
seperti Indramyu, Cirebon, Pekalongan, Lasem dan Tuban terletak pada pesisir 
utara pantai pulau Jawa. Dan orang Tionghoa yang datang ke pulau Jawa 
pertama-tama dan sebagian besar tinggal di kota-kota pesisir ini dan telah 
terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan lokal selama itu.

Berbeda dengan batik-batik dari pedalaman Jawa, atau disebut juga sebagai batik 
"vorstenlanden" seperti batik Solo (Surakarta) dan Jogya yang berwarna "sogan" 
sebagai unsur warna dominannya. Batik pesisir lebih ceria, berani menggunakan 
warna, bermotif flora dan fauna atau binatang-binatang mitologi serta kaya akan 
corak ragam hiasnya (motif).

Motif-motif binatang mitologi, folklor, dan simbol kebudayaan Tionghoa, seperti 
burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, banji (swastika atau 
simbol kehidupan abadi), dll banyak menghiasi seni karya batik pesisir ini atau 
yang disebut sebagai batik peranakan. Motif-motif atau corak ragam hias 
Tionghoa ini banyak mendapatkan inspirasi dari motif benda keramik atau 
porselin (Ming dan Ching) serta kain sutera Tiongkok . 

Setiap kota memiliki corak ragam hias dan keunikan yang berbeda dan khusus, 
seperti motif Mega-mendung, Peksi naga liman, Wadasan, dan Banji pada batik 
Cirebon, motif batik Encim, Pagi-Sore, dan Sam Pek Eng Tay yang bermotifkan 
kupu-kupu, sebagai lambang kesetiaan dan pernikahan bahagia pada batik 
Pekalongan dan motif Tiga negeri, Bangbiru, Lok-Chan pada batik Lasem. Batik 
Lasem adalah salah satu batik pesisir yang indah dan bernilai artistik, serta 
digemari banyak orang, dalam dan luar negeri.

Pengaruh motif Tionghoa yang paling dominan adalah pada batik Lasem terutama 
dengan motif Lok Chan, secara harafiah berarti sutera biru, mungkin karena 
untuk pertama kalinya kain ini dibuat dari sutera, yang pada saat itu 
didatangkan dari Tiongkok dan berwarna biru.(pengaruh dari keramik atau 
porselin Ming), tetapi warna dominan dari batik Lasem adalah warna merah darah.

Pengaruh ragam hias Tionghoa yang dominan pada batik Lasem ini, disebabkan 
karena jumlah penduduk Tionghoanya yang relatif banyak dan telah bermukim lama 
di kota ini. Dalam sejarahnya, Lasem adalah salah satu kota pertama di pulau 
Jawa yang didatangi dan dikunjungi oleh komunitas Tionghoa. Di Lasem masih 
banyak bangunan-bangunan bergaya arsitektur tradisionil Tiongkok yang 
dikelilingi oleh tembok tinggi. Sineas Remy Silado bahkan mengambil shooting 
film "Ca Bau Kan" di Lasem sebagai salah satu lokasinya yang terpilh, karena 
suasana komunitas Tionghoanya yang masih kental. 

Batik peranakan dari Lasem ini sangat digemari dan populer pada masyarakat 
Sumatra Barat dan digunakan sebagai syal oleh kaum prianya dalam upacara adat 
di Sumatera Barat. Demikian juga di Bali, Lombok dan Sumbawa, batik Lok Chan 
ini dipakai dalam upacara adat, pelengkap busana dan lambang atau status 
kedudukan seseorang. 

Batik-batik pesisir yang mempunyai nilai seni dan artistik ini banyak menghiasi 
museum-musem dan kolektor pribadi di mancanegara. Fungsi batik peranakan 
pesisir ini, bukan hanya digunakan sebagai busana, seperti kebaya saja atau 
upacara adat saja, melainkan juga digunakan sebagai alas meja sembahyang atau 
disebut Tokwi pada masyarakat Tionghoa peranakan. 
Mungkin yang paling populer di kalangan masyarakat Tionghoa peranakan, adalah 
batik Encim dari Pekalongan yang banyak dipakai oleh wanita-wanita Tionghoa 
peranakan sebagai kebaya (kebaya Encim) pada waktu dahulu. Motif batik Encim 
sebenarnya adalah batik yang dipengaruhi oleh campuran budaya Tionghoa dan 
budaya Belanda (Eropah). Warnanya diinspirasikan oleh warna porselin "famille 
rose" dan "famille verte" (porselin dari periode dinasti Ching) yang berwarna 
pastel dadu (pink) dan biru, sedangkan motifnya dari Eropah, yaitu "buketan" 
atau segenggam bunga (berasal dari kata bouquet).

Batik Encim ini adalah identitas utamanya wanita Tionghoa peranakan. Pada jaman 
sekarang wanita Tionghoa peranakan hanpir jarang memakai kebaya Encim lagi, 
kecuali pada acara-acara tertentu. Tetapi ini bukan berarti bahwa batik Encim 
sudah dilupakan orang sama sekali. Beberapa fashion disainer muda berbakat 
telah menemukan kembali warisan budaya batik Encim ini dan mendisain kembali 
bahan batik Encim ini menjadi busana modern dengan interpretasi kontemporer.

Mungkin pria terkenal yang sering mengenakan busana batik adalah Gus Dur dan 
Nelson Mandela dari Afrika Selatan, dan bahkan kadang-kadang presiden SBY juga 
mengenakannya. Terakhir terlihat SBY mengenakan batik pesisir Cirebon dengan 
motif Megamendung yang indah. Hal ini berbeda dengan anggauta-anggauta DPR-RI 
kita yang sekarang lebih berbangga mengenakan busana modern Jas yang dibuat 
dari bahan wol, daripada busana batik yang dibuat dari kain mori. Untuk wanita 
yang terkenal yang menggunakan Batik encim dan Sarung Nyonya adalah menteri 
Perdagangan ibu Maria Elka Pangestu.

============ ========= ========= ========= ========= ========= ========= 
========= ========= ========= ========= =

Pengaruh Budaya dan akulturasi budaya

Budaya campuran ini juga dapat kita lihat di Lasem, pemukiman Tionghoa yang 
termasuk tertua di pantai utara Jawa. Di Daerah lasem Jawa tengah terdapat 
banyak sekali produsen rumahan dan pengrajin batik dan kebaya,dari jaman 
penjajahan sampai sekarang. Keberadaan mereka masih eksis sampai sekarang. 
Banyak sekali pengrajin yang berasal dari suku jawa, suku tionghoa bekerja 
bersama - sama untuk memproduksi kain batik dan kain kebaya. motif mereka 
Gunakan sangat lah unik, pencampuran motif pakaian belanda, Tionghoa dan jawa.

Pada dasarnya Motif-Motif Kebaya Encim, Batik, dan Kain songket memiliki ciri 
khas sendiri, Setiap goresan dan guratan kainnya, memiliki arti filosofi 
sendiri, layaknya dalam budaya tionghoa, juga memiliki setiap simbol-simbol 
guratan coretan kainnya memiliki makna tersendiri seperti persahabatan, kasih 
sayang, Gagah perkasa, kewibawaan dan sebagainya, Setiap guratan simbol-simbol 
kain memiliki ciri khas filosofi Jawa, Sumatra, dan juga Tionghoa.

Di Jawa, walau batik hampir semua berlatarkan warna cokelat, membedakan antara 
batik Solo dan Jogya. mengenai batik Pekalongan, yang adalah busana wanita 
Tionghoa (tepat, dengan kebaya putih). 

kalau batik Pekalongan itu, bahannya lain dari batik Jawa, yakni sutra. batik 
Pekalongan lebih menarik polanya, Kini, menikah dengan wanita Minahasa, bahwa 
kebaya wanita Minahasa, adalah diambilkan dari kebaya wanita peranakan, yakni 
putih. Demikian pula di Malukku. Ini terjadi, karena pembauran di Minahasa 
lebih intensif daripada di Jawa. Ini kita lihat pula, dari makam tradisonal 
Minahasa (dari masa pra Kristiani), yang dinamakan "Waruga", kebanyakan diisi 
dengan pot pot dan bahan rumah tangga keramik Tionghoa.

Kebaya yang berasal dari minahasa ini anda dapat lihat juga di Malakka, 
terutama di-gambar gambar di museum Baba-Nonya.

Meskipun sama-sama batik, sarung dan kebaya, bedanya kontras. Karena yang 
memakai batik ini biasanya berbeda, batik corak putih ini yang dikenal batik 
Nyonya, dan hanya dipakai oleh orang Tionghoa. Baju kebayanya biasanya berwarna 
polos, kebanyakan putih, tapi ada yang berwarna muda, misalnya merah muda, 
hijau muda dan sebagainya, tapi pasti polos, bagian bawahnya tidak rata, tapi 
panjang di depan, jadi ujungnya agak lancip, biasanya diberi renda atau sulaman 
lain.

Kebaya berkembang ada, latar putih kembang biasanya biru, ini untuk orang tua, 
nenek-nenek. Singapore mempunyai musium yang memamerkan budaya peranakan. 
Bahkan tahun lalu ada pesta perkawinan peranakan yang disponsori biro turis dan 
diadakan upacara besar di musium. Penonton banyak, terutama turis. Memang 
tujuannya menarik turis.

Jangan lupa budaya di Tiongkok sendiri tiap daerah berbeda di Indonesia. Budaya 
kita di Indonesia kebanyakan berasal dari budaya Hokkian dan Kheq yang dominan. 
Orang Tio ciu , Hainan, Jasirah Leizhou, Taiwan adalah turunan imigran Hokkian 
yang pindah ke sana. Orang Kheqpun terdapat di Taiwan, Hunan, Sichuan di 
Tiongkok barat.

Cara pengunaan dan pemakaian

Kebaya Encim dipakai pada atasan baju wanita, dan Sarung Nyonya digunakan pada 
bawahan wanita. Biasanya dapat ditambahkan aksesories lainnya seperti kain 
songket, kain ini digunakan pada bahu wanita, Kain songket sendiri dapat 
digunakan oleh pria, tergantung dari pola warnanya, Pakaian ini dahulu dipakai 
dalam ruang lingkup sehari - hari, dan juga pada saat pesta. Lain halnya 
sekarang Kebaya Encim dan Sarung Nyonya dipakai untuk Acara tertentu, seperti 
pesta, Peresmian, Atau acara - acara Budaya, pada era sekarang Kebaya encim dan 
sarung Nyonya mengalami perubahan drastis, sehingga motifnya sangat menarik dan 
Indah digunakan pada acara penting.

Kesimpulan. 
Kebaya encim dan sarung nyonya adalah aset nasional yang mesti dilestarikan, 
kebaya Encim ini hampir punah dengan kemajuan zaman.
Banyaknya generasi muda sekarang, terutama generasi wanita Tionghoa Indonesia 
sekarang baik tua ataupun muda, tidak mau memakai Kebaya Encim dan sarung 
Nyonya ini, takut dipanggil "ENCIM". Sehingga penguna kebaya encim ini mulai 
jarang terlihat 
oleh masyarakat Indonesia. Janganlah Aset Budaya "Kebaya Encim dan Sarung 
Nyonya" direbut oleh negara lain dan diklaim salah satu budaya nasional mereka, 
barulah kita marah-marah, dan mulai berbondong - bondong memakainya karena 
takut direbut negara lain, seperti kejadian batik diakui budaya NEgara Lain.
jangan ada lagi perebutan Aset budaya nasional kembali, mari kita lestarikan 
"kebaya Encim" sebagai aset nasional negara Kita. Karena "Kebaya Encim dan 
sarung Nyonya" tidak dapat ditemukan dinegara manapun selain Indonesia.

*tulisan ini serta merta mengalami perubahan sesuai dengan adanya data 
pendukung"

Ucapan terima kasih kepada
NaraSumber dan Kontributor :

- Bpk David Kwa
Peneliti dan pengamat budaya Tionghoa Peranakan Indonesia.

- Ibu Hartati
Peneliti dan Pengamat Budaya Tionghoa.

- Prof. DR Hans Hwie Song
Pengamatan dan peneliti.

- Prof. Dr. Leo Suryadinata.
Peneliti dan pengamat Budaya Nasional 

- Bapak RM. Danardono.
Peneliti dan pengamat Budaya Jawa

- BPk Ahmad Bukhtari saleh.
Peneleti dan pengamat budaya Nasional dan budaya tionghoa.

- Bapak liang U.

- Bapak King Hian.

- Segenap anggota Milis Budaya Tionghoa dan Tionghoa Net, yang telah memberikan 
sumbangsih besar bagi
pelestarian Budaya yang telah memberikan sumbangsih penulisan ini, dan tak 
dapat disebutkan namanya satu persatu.

- INTI (Ikatan Nasionalis Tionghoa Indonesia)

- PSMTI (Persatuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia)

- Seluruh Organisasi masyarakat Tionghoa dan Tokoh - Tokoh masyarakat Indonesia 
yang melakukan pelestarian Budaya.









      Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke