Bung Tan yb,

Lho, kenapa harus diakhiri dengan penyesalan setelah dapatkan nonton gratis? 
Dengan nonton sekali itu, saya bukan saja melihat isi film, tapi melihat 
pendidikan apa yang diberikan dan itu saya menilai kira-kira kemana arah 
pembuatan film Indonesia, yang tentunya juga sebagai alat propagandanya.

Saya melihatnya begini, film-film kungfu antar genster dan bajingan-bajingan, 
bisa saja terjadi antar bangsa, suku atau etnis tertentu, dan, ... itu bisa 
saja menampilkan bangsa mana, suku apa atau etnis apa yang menang. Orang 
setelah melihat film begituan munagkin juga tidak akan berkesan bau rasialis, 
kecuali memang ceritanya hanya menjelekkan, melecehkan bangsa, suku dan etnis 
tertentu. Itulah memang cerita bajingan-bajingan, ... Pada saat membuat film 
menceritakan satu Gang penyelundupan atau narkotik dengan tokohnya TIonghoa pun 
tidak masalah, memang itulah ceritanya. 

Tapi film "Anne Van Jogya" yang saat menampilkan adegan usaha batik Anne sedang 
maju, lalu ada pengusaha TIonghoa Batik merasa dapatkan saingan, gunakan 
cara-kotor dengan menonjolkan ke-Tionghoa-annya, menurut saya tidak etis dan 
sangat tidak bijaksana. Bahwa bisa saja ada pengusaha Tionghoa yang main kotor, 
juga tidak perlu terangkat ke-Tionghoa-annya. Untuk apa harus begitu?

Salam,
ChanCT

  ----- 原始郵件----- 
  寄件者: Nasir Tan 
  收件者: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  傳送日期: 2010年6月6日 18:59
  主旨: Re: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya




        Wah...jadi walau nonton gratis diakhiri penyesalan yah..?
        Mmm...gak hanya di Indonesia kalo bikin film begitu..film Amrik juga 
begitu, setiap ada adegan kekerasa ( entah Kungfu atau semacamnya ) pasti 
menggunakan ethinc Chinese atau yang mirip Chinese, entah itu Vietnam, Korea 
atau Jepang sebagai pemain figuran. Bahkan tidak jarang juga film yang 
menggambarkan narkotika, penyelundupan dan ketidakterbukaan identik dengan 
Chinese.


        regard


        Nasir Tan
        --- On Sat, 6/5/10, ChanCT <sa...@netvigator.com> wrote:


          From: ChanCT <sa...@netvigator.com>
          Subject: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya
          To: "GELORA_In" <gelor...@yahoogroups.com>
          Date: Saturday, June 5, 2010, 11:24 AM


            
           
          Anne Van Jogya

          Hari Selasa , tgl. 1 Juni yl., saya dapatkan telpon dari bu Nunung, 
KJRI-HK (Konsulat Jenderal Republik Indodnesia untuk Hong Kong) Public Affairs 
and Socio-Cultural, disamping memberi tahu KJRI sedang menyelenggarakan Pekan 
Film Indonesia, juga menawarkan saya kalau mau nonton. Bahkan saya 
diperkenankan untuk mengajak beberapa kawan. Haaha, sungguh dapatkan rejeki. 
Segera saya terima tawaran yang baik hati dari bu Nunung ini. Selama 34 tahun 
hidup di HK, untuk pertama kali saya dapatkan undangan nonton film Indonesia. 
Jadi, bagi saya meninggalkan Indonesia 45 tahun yang lalu, tidak lagi pernah 
lihat film Indonesia lagi. Terimakasih saya ucapkan pada bu Nunung, dan, ... 
tentunya rejeki ini akan saya timpakan juga pada beberapa kawan di HK yang 
tentunya juga seperti saya, puluhan tahun tidak pernah melihat film Indonesia 
lagi.

          Saya diberi 2 pilihan film, yang pertama tgl. 3 Juni "Anne Van Jogya" 
dan kedua, tgl. 4 Juni "Heartbreak. Com". Dalam pemikiran saya setelah melihat 
keterangan singkat isi cerita, ternyata kedua film yang ditawarkan adalah 
masalah cinta muda-mudi. Bedanya, "Anne Van Jogya" kelebihan masalah ras. 
Inilah yang mendorong saya ambil putusan untuk pilih "Anne Van Jogya" saja! 
Saya ingin tahu bagaimana Indonesia yang sudah puluhan tahun saya tinggalkan 
ini memecahkan problem RASIAL yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. 

          Entah bagaimana kesan kawan-kawan yang pernah nonton film "Anne Van 
Jogya" ini, tapi bagi yang belum pernah nonton, sebelum saya ajukan komentar 
atau pendapat, baik juga kalau saya lebih dahulu ceritakan secara ringkas jalan 
cerita film ini: 

          Kisah Anne Yuwantoro yang katanya terjadi sekitar tahun 1960, anak 
dari seorang bapak turunan ningrat Keraton Jogya dengan ibu seorang Belanda. 
Kakek Anne tentu saja berkeras menentang perkawinan putranya dengan gadis 
Belanda. Tapi yang namanya cinta muda-mudi, tentu saja tidak bisa dilarang. 
Perkawinan orang tua Anne dilangsungkan tanpa restu Kakek-Nenek nya. Dengan 
demikian Anne sekalipun lahir dan dibesarkan di Jogya juga, tapi sampai dewasa 
tidak mengetahui apalagi dapatkan kasih sayang dari kakek-nenek.

          Satu saat, ayahnya yang bekerja di perkebunan dalam perjalanan 
pulang, hujan lebat dengan geledek menyambar, terjadi kecelakaan dan meninggal 
dunia. Di upacara pemakaman ayahnya itulah, Anne untuk pertama kali menemui dan 
berkenalan dengan kakek-neneknya. Setelah ayahnya meninggal, membuat kehidupan 
keluarga Anne terjadi perubahan drastis. Ibunya yang seorang Belanda 
disingkirkan dalam usaha perkebunan ayahnya, yang ternyata adalah warisan 
keluarga ningrat mereka. Keluarga masih sulit menerima seorang Belanda. Bahkan 
akhirnya Anne dan ibunya harus keluar dari rumah dimana mereka tinggal. 
Terpaksa, Anne bersama ibu dan mbok yang setia pindah ke Solo. Kehidupan dengan 
sendirinya makin sulit, dan tidak lama ibu-nya jatuh sakit dan meninggal dunia. 

          Anne ternyata mewarisi budaya Jawa secara baik, khususnya dalam 
pembatikan. Untuk meneruskan hidup, Anne bersama mbok yang setia, membuka usaha 
batik. Usaha batik Anne kemudian bisa dapatkan kemajuan baik, karena ada 
pemesan pak Suryo dari Jogya,  yang ternyata dibalik itu adalah mas Satrio, 
pacar Anne dimasa sekolah di Jogya. Singkat kata, itu mas Satrio yang juga 
turunan ningrat, akan menikah dengan gadis yang ditentukan orang-tuanya, tapi 
cintanya pada Anne belum juga pupus. Terakhir, Satrio secara diam-diam memesan 
batik kerjaan tangan Anne untuk upacara pernikahannya. Sedang Anne yang juga 
masih mencintai Satrio, setelah mengetahui pesanan batik untuk pernikahan itu 
adalah pesanan Satrio, sekalipun mengidap penyakit, Anne tetap memaksakan diri 
membatik untuk menyelesaikan pesanan istimewa itu. 

          Begitulah, setelah menyelesaikan tugas membatik pesanan mas Satrio 
dan pernikahan dilangsungkan, film diakhiri dengan Anne menggeletak jatuh 
kelantai, meninggal karena sakitnya. Film diakhiri dengan kesedihan, tanpa apa 
pemecahan jalan keluar yang baik masalah ras yang dihadpi masyarakat saat itu. 
Akhirnya orang akan berkesan, itulah nasib kehidupan MALANG bagi orang yang 
melanggar ketentuan Keraton. Sepertinya, Film ini masih membenarkan pemikiran 
feodal, keluarga ningrat Jogya ingin pertahankan Ke-"KERATON' an yang superior, 
menganggap tidak seharusnya melangsungkan perkawinan dengan orang diluar 
turunan keraton yang lebih rendah. 

          Padahal, dijaman modern didunia dimana pikiran manusia telah maju 
selangkah lebih BERADAB, seperti kerjaan Jepang, dimana rajanya dianggap 
sebagai dewa-Matahari, sampai pada Akihito ditahun 60-an juga sudah bisa 
menikah dengan gadis dari rakyat biasa, ... Bahkan saat meninjau Keraton Jogya, 
lupa Hamengkubuwono ke-berapa, diantara istri-istri entah yang keberapa itu 
juga ada orang Belanda. Ini pendapat pertama. 

          Kedua, bagi saya film ini juga tercium bau rasialis. Disaat 
memunculkan adegan usaha batik Anne sedang menanjak maju, ada pengusaha batik 
Tionghoa yang merasa dapatkan saingan, menyuruh 2 orang tukang kepruk untuk 
merampas Batik Anne yang sedang diantar untuk pemesan. Pengangkatan adegan 
dengan menonjolkan pengusaha Tionghoa disini, tentu sangat tidak etis dan 
sangat tidak bijaksana. Persaingan didunia usaha sudah pasti akan berlangsung 
dan terjadi dimana saja, bahwa mungkin saja ada pengusaha yang melakukan 
cara-cara kotor untuk mengalahkan saingannya juga tidak perlu disangkal. Tapi, 
harus diakui dalam kenyataan mayoritas pengusaha, termasuk pengusaha Tionghoa 
yang melakukan usaha bisnis adalah persaingan yang sehat. Berjalan sesuai 
dengan ketentuan-ketentuan bisnis yang berlaku. Dan itulah yang mendorong maju 
roda ekonomi didunia ini. 

          Pengusaha asal suku atau etnis manapun bisa saja ada yang main 
curang, main kotor dalam persaingan yang terjadi, ... itu kenyataan yang tidak 
perlu ditutupi. Yang menjadi pertanyaan, kenapa pilihan dijatuhkan pada 
pengusaha Tionghoa dengan menekankan ke-Tionghoa- annya? Apakah sutradara film 
ini menganggap pengusaha Tionghoa umumnya gunakan cara-cara kotor dalam 
jalankan usaha? Sungguh sangat disesalkan, dimana RI yang baru saja berhasil 
mensahkan UU Anti-diskriminasi rasial, tapi masih juga menampilkan film yang 
berbau rasialis macam ini. Seolah-olah film ini hendak menyatakan, pengusaha 
Tionghoa selalu main kotor dalam usaha, ... 

          Salam,
          ChanCT 




  

Kirim email ke