Benar, diantara sekelompok manusia, entah itu etnis, atau suku apalagi Agama yang punya pengertian lebih besar dan luas, pasti ada saja yang berbuat salah atau serong. Yang jelas dan sudah bisa dipastikan, setiap perbuatan seseorang yang jelek, yang salah atau yang jahat itu, tidak bisa mewakili kelompok etnis, suku atau Agama bersangkutan. Perbuatan salah, jelek dan jahat hanya menjadi tanggungjawab orang bersangkutan saja. Jerat dan jatuhilah hukuman sesuai dengan HUKUM yang berlaku. Tapi, jangan dan tidak perlu dikaitkan dengan etnis, suku atau Agama orang itu. Dia sendirilah yang harus menanggung segala dosa dan kesalahan yang diperbuat, tak ada hubungan dengan etnis, suku atau Agamanya. Jadi, kalau perlu sebut saja nama bersangkutan, tanpa harus menyeret etnis, suku atau Agama yang dianut dia.
Jadi, ... dalam satu adegan film, atau cerita novel, atau pemberitaan di koran, kalau kesalahan seseorang lalu diembel-embeli etnis, suku atau Agama orang bersangkutan, tentu terasa ada kesengajaan untuk jelek-jelek etnis, suku atau Agama tertentu. Dan sikap begitu tidak seharusnya masih saja diteruskan sampai sekarang, dimana UU Anti-Diskriminasi Rasial sudah ditegakkan dinegeri ini. Bahwa kenyataan ada pengusaha Tionghoa berhasil karena main culas, bersekongkol dengan pejabat tinggi, ... tidak perlu disangkal. Tapi tidak bisa dijadikan stereotype, begitulah semua pengusaha Tionghoa. TIDAK BISA! Yang segelintir bagaimanapun juga tidak bisa mewakili yang mayoritas mutlak. Pengusaha Tionghoa umumnya, mayoritas mutlak juga berada dilapisan menengah-bawah, yang melangsungkan usaha dagangnya dengan baik-baik dan jujur, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, ... dan lapisan mereka inilah yang senasib-sependeritaan dengan rakyat banyak, tapi justru yang seringkali kena getah dan dijadikan kambing-hitam setiap terjadi kerusuhan anti-TIonghoa, yang puncaknya Tregedi Mei 98 itu. Sebaliknya yang berdosa sesungguhnya, yang selama ini membuat rakyat banyak menderita, yaitu terjadinya persekongkolan penguasa dengan segelintir pengusaha, tak seorangpun berhasil dijebloskan dalam penjara. Semua lolos, tetap melanglang buana menikmati kehidupan mewah hasil jarahannya. Sungguh dunia tidak adil! Salam, ChanCT ----- 原始郵件----- 寄件者: twa...@yahoo.com 收件者: budaya_tionghua@yahoogroups.com 傳送日期: 2010年6月8日 13:55 主旨: Re: 回覆: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya Tidak begitu jg. Semuanya adalah manusia. Bahwa manusia dpt berbuat kejahatan dan kesalahan adalah manusiawi. Tidak terbatas pada jenis manusia tertentu. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT ------------------------------------------------------------------------------ From: zho...@yahoo.com Sender: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Tue, 8 Jun 2010 05:49:23 +0000 To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> ReplyTo: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: 回覆: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya Ini memang stereotype yg dilekatkan sebagian orang thd pedagang tionghoa: bisa sukses gara2 main culas! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT ------------------------------------------------------------------------------ From: Nasir Tan <hitaci2...@yahoo.com> Sender: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Mon, 7 Jun 2010 01:55:29 -0700 (PDT) To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> ReplyTo: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: 回覆: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya Bung Chan yth.. Tapi film "Anne Van Jogya" yang saat menampilkan adegan usaha batik Anne sedang maju, lalu ada pengusaha TIonghoa Batik merasa dapatkan saingan, gunakan cara-kotor dengan menonjolkan ke-Tionghoa- annya, menurut saya tidak etis dan sangat tidak bijaksana. Bahwa bisa saja ada pengusaha Tionghoa yang main kotor, juga tidak perlu terangkat ke-Tionghoa- annya. Untuk apa harus begitu? Saya kira karena sistem kita ini belum dewasa bahkan sangat kekanak-kanakan. Selain itu juga seyogyanya kalau mau membuat suatu film melatar belakangi etnis-etnis lain ( etnis mana aja ), seharusnya dikomunikasikan dahulu kepada para tokoh atau para cendekiawan yang tahu masalah itu, akan lebih baik dari apa asal njeplak aja. Dan seandainya para tokoh masayarakat/cendekiawan dll yang tau persis masalah tersebut mengetahui, bukan tidak mungkin akan memberi masukan sehingga penyajian film bisa lebih bermutu. Selain itu, lembaga sensor film kita mungkin tidak bekerja maksimal, koq bisa-bisanya film begitu lolos sensor yah? Nasir T --- On Mon, 6/7/10, ChanCT <sa...@netvigator.com> wrote: From: ChanCT <sa...@netvigator.com> Subject: 回覆: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Monday, June 7, 2010, 4:09 AM Bung Tan yb, Lho, kenapa harus diakhiri dengan penyesalan setelah dapatkan nonton gratis? Dengan nonton sekali itu, saya bukan saja melihat isi film, tapi melihat pendidikan apa yang diberikan dan itu saya menilai kira-kira kemana arah pembuatan film Indonesia, yang tentunya juga sebagai alat propagandanya. Saya melihatnya begini, film-film kungfu antar genster dan bajingan-bajingan, bisa saja terjadi antar bangsa, suku atau etnis tertentu, dan, ... itu bisa saja menampilkan bangsa mana, suku apa atau etnis apa yang menang. Orang setelah melihat film begituan munagkin juga tidak akan berkesan bau rasialis, kecuali memang ceritanya hanya menjelekkan, melecehkan bangsa, suku dan etnis tertentu. Itulah memang cerita bajingan-bajingan, ... Pada saat membuat film menceritakan satu Gang penyelundupan atau narkotik dengan tokohnya TIonghoa pun tidak masalah, memang itulah ceritanya. Tapi film "Anne Van Jogya" yang saat menampilkan adegan usaha batik Anne sedang maju, lalu ada pengusaha TIonghoa Batik merasa dapatkan saingan, gunakan cara-kotor dengan menonjolkan ke-Tionghoa- annya, menurut saya tidak etis dan sangat tidak bijaksana. Bahwa bisa saja ada pengusaha Tionghoa yang main kotor, juga tidak perlu terangkat ke-Tionghoa- annya. Untuk apa harus begitu? Salam, ChanCT ----- 原始郵件----- 寄件者: Nasir Tan 收件者: budaya_tionghua@ yahoogroups. com 傳送日期: 2010年6月6日 18:59 主旨: Re: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya Wah...jadi walau nonton gratis diakhiri penyesalan yah..? Mmm...gak hanya di Indonesia kalo bikin film begitu..film Amrik juga begitu, setiap ada adegan kekerasa ( entah Kungfu atau semacamnya ) pasti menggunakan ethinc Chinese atau yang mirip Chinese, entah itu Vietnam, Korea atau Jepang sebagai pemain figuran. Bahkan tidak jarang juga film yang menggambarkan narkotika, penyelundupan dan ketidakterbukaan identik dengan Chinese. regard Nasir Tan --- On Sat, 6/5/10, ChanCT <sa...@netvigator. com> wrote: From: ChanCT <sa...@netvigator. com> Subject: [budaya_tionghua] Anne Van Jogya To: "GELORA_In" <gelor...@yahoogroup s.com> Date: Saturday, June 5, 2010, 11:24 AM Anne Van Jogya Hari Selasa , tgl. 1 Juni yl., saya dapatkan telpon dari bu Nunung, KJRI-HK (Konsulat Jenderal Republik Indodnesia untuk Hong Kong) Public Affairs and Socio-Cultural, disamping memberi tahu KJRI sedang menyelenggarakan Pekan Film Indonesia, juga menawarkan saya kalau mau nonton. Bahkan saya diperkenankan untuk mengajak beberapa kawan. Haaha, sungguh dapatkan rejeki. Segera saya terima tawaran yang baik hati dari bu Nunung ini. Selama 34 tahun hidup di HK, untuk pertama kali saya dapatkan undangan nonton film Indonesia. Jadi, bagi saya meninggalkan Indonesia 45 tahun yang lalu, tidak lagi pernah lihat film Indonesia lagi. Terimakasih saya ucapkan pada bu Nunung, dan, ... tentunya rejeki ini akan saya timpakan juga pada beberapa kawan di HK yang tentunya juga seperti saya, puluhan tahun tidak pernah melihat film Indonesia lagi. Saya diberi 2 pilihan film, yang pertama tgl. 3 Juni "Anne Van Jogya" dan kedua, tgl. 4 Juni "Heartbreak. Com". Dalam pemikiran saya setelah melihat keterangan singkat isi cerita, ternyata kedua film yang ditawarkan adalah masalah cinta muda-mudi. Bedanya, "Anne Van Jogya" kelebihan masalah ras. Inilah yang mendorong saya ambil putusan untuk pilih "Anne Van Jogya" saja! Saya ingin tahu bagaimana Indonesia yang sudah puluhan tahun saya tinggalkan ini memecahkan problem RASIAL yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Entah bagaimana kesan kawan-kawan yang pernah nonton film "Anne Van Jogya" ini, tapi bagi yang belum pernah nonton, sebelum saya ajukan komentar atau pendapat, baik juga kalau saya lebih dahulu ceritakan secara ringkas jalan cerita film ini: Kisah Anne Yuwantoro yang katanya terjadi sekitar tahun 1960, anak dari seorang bapak turunan ningrat Keraton Jogya dengan ibu seorang Belanda. Kakek Anne tentu saja berkeras menentang perkawinan putranya dengan gadis Belanda. Tapi yang namanya cinta muda-mudi, tentu saja tidak bisa dilarang. Perkawinan orang tua Anne dilangsungkan tanpa restu Kakek-Nenek nya. Dengan demikian Anne sekalipun lahir dan dibesarkan di Jogya juga, tapi sampai dewasa tidak mengetahui apalagi dapatkan kasih sayang dari kakek-nenek. Satu saat, ayahnya yang bekerja di perkebunan dalam perjalanan pulang, hujan lebat dengan geledek menyambar, terjadi kecelakaan dan meninggal dunia. Di upacara pemakaman ayahnya itulah, Anne untuk pertama kali menemui dan berkenalan dengan kakek-neneknya. Setelah ayahnya meninggal, membuat kehidupan keluarga Anne terjadi perubahan drastis. Ibunya yang seorang Belanda disingkirkan dalam usaha perkebunan ayahnya, yang ternyata adalah warisan keluarga ningrat mereka. Keluarga masih sulit menerima seorang Belanda. Bahkan akhirnya Anne dan ibunya harus keluar dari rumah dimana mereka tinggal. Terpaksa, Anne bersama ibu dan mbok yang setia pindah ke Solo. Kehidupan dengan sendirinya makin sulit, dan tidak lama ibu-nya jatuh sakit dan meninggal dunia. Anne ternyata mewarisi budaya Jawa secara baik, khususnya dalam pembatikan. Untuk meneruskan hidup, Anne bersama mbok yang setia, membuka usaha batik. Usaha batik Anne kemudian bisa dapatkan kemajuan baik, karena ada pemesan pak Suryo dari Jogya, yang ternyata dibalik itu adalah mas Satrio, pacar Anne dimasa sekolah di Jogya. Singkat kata, itu mas Satrio yang juga turunan ningrat, akan menikah dengan gadis yang ditentukan orang-tuanya, tapi cintanya pada Anne belum juga pupus. Terakhir, Satrio secara diam-diam memesan batik kerjaan tangan Anne untuk upacara pernikahannya. Sedang Anne yang juga masih mencintai Satrio, setelah mengetahui pesanan batik untuk pernikahan itu adalah pesanan Satrio, sekalipun mengidap penyakit, Anne tetap memaksakan diri membatik untuk menyelesaikan pesanan istimewa itu. Begitulah, setelah menyelesaikan tugas membatik pesanan mas Satrio dan pernikahan dilangsungkan, film diakhiri dengan Anne menggeletak jatuh kelantai, meninggal karena sakitnya. Film diakhiri dengan kesedihan, tanpa apa pemecahan jalan keluar yang baik masalah ras yang dihadpi masyarakat saat itu. Akhirnya orang akan berkesan, itulah nasib kehidupan MALANG bagi orang yang melanggar ketentuan Keraton. Sepertinya, Film ini masih membenarkan pemikiran feodal, keluarga ningrat Jogya ingin pertahankan Ke-"KERATON' an yang superior, menganggap tidak seharusnya melangsungkan perkawinan dengan orang diluar turunan keraton yang lebih rendah. Padahal, dijaman modern didunia dimana pikiran manusia telah maju selangkah lebih BERADAB, seperti kerjaan Jepang, dimana rajanya dianggap sebagai dewa-Matahari, sampai pada Akihito ditahun 60-an juga sudah bisa menikah dengan gadis dari rakyat biasa, ... Bahkan saat meninjau Keraton Jogya, lupa Hamengkubuwono ke-berapa, diantara istri-istri entah yang keberapa itu juga ada orang Belanda. Ini pendapat pertama. Kedua, bagi saya film ini juga tercium bau rasialis. Disaat memunculkan adegan usaha batik Anne sedang menanjak maju, ada pengusaha batik Tionghoa yang merasa dapatkan saingan, menyuruh 2 orang tukang kepruk untuk merampas Batik Anne yang sedang diantar untuk pemesan. Pengangkatan adegan dengan menonjolkan pengusaha Tionghoa disini, tentu sangat tidak etis dan sangat tidak bijaksana. Persaingan didunia usaha sudah pasti akan berlangsung dan terjadi dimana saja, bahwa mungkin saja ada pengusaha yang melakukan cara-cara kotor untuk mengalahkan saingannya juga tidak perlu disangkal. Tapi, harus diakui dalam kenyataan mayoritas pengusaha, termasuk pengusaha Tionghoa yang melakukan usaha bisnis adalah persaingan yang sehat. Berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bisnis yang berlaku. Dan itulah yang mendorong maju roda ekonomi didunia ini. Pengusaha asal suku atau etnis manapun bisa saja ada yang main curang, main kotor dalam persaingan yang terjadi, ... itu kenyataan yang tidak perlu ditutupi. Yang menjadi pertanyaan, kenapa pilihan dijatuhkan pada pengusaha Tionghoa dengan menekankan ke-Tionghoa- annya? Apakah sutradara film ini menganggap pengusaha Tionghoa umumnya gunakan cara-cara kotor dalam jalankan usaha? Sungguh sangat disesalkan, dimana RI yang baru saja berhasil mensahkan UU Anti-diskriminasi rasial, tapi masih juga menampilkan film yang berbau rasialis macam ini. Seolah-olah film ini hendak menyatakan, pengusaha Tionghoa selalu main kotor dalam usaha, ... Salam, ChanCT