----- 原始郵件----- 
寄件者: JT 
收件者: tionghoa-...@yahoogroups.com 
傳送日期: 2010年6月8日 21:54
主旨: [t-net] Fwd: Etnis Tionghoa Indonesia (ETI) Berkonsolidasi


Dari harian Pelita Edisi Selasa, 08 Juni 2010

Etnis Tionghoa Indonesia (ETI) Berkonsolidasi
Oleh Drs Wijaya L, Msi

SIAPA PUN sulit menafikan bahwa sejak reformasi 1998 bergulir, kelompok etnis 
Tionghoa telah menikmati ruang bebas, baik dalam menjalankan hak-hak 
kehidupannya maupun dalam mengekspresikan kebudayaannya. Melalui media maupun 
komunikasi antarteman, saudara-saudara Tionghoa dan sejumlah pemerintah negara 
sahabat menilai, kehidupan warga ETI telah berjalan normal sebagaimana 
mestinya. Hak-hak dan kewajibannya di bidang politik, sosial dan ekonomi telah 
pulih, bahkan mengalami kemajuan signifikan. Ketika penulis berkesempatan 
bertemu Pejabat Senior Kantor Urusan China Perantauan di Bejing pertengahan 
April lalu, beliau dengan simpatik menyatakan terima kasihnya kepada Pemerintah 
Republik Indonesia atas perubahan dan perbaikan tersebut seraya mengapresiasi 
kemeriahan perayaan Imlek nasional dan menguapnya perlakuan bernuansa 
diskriminatif pascapemberlakuan UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan.

Ketua INTI Jakarta, Benny Setiono (pengarang buku Tionghoa Dalam Pusaran 
Politik) juga menggarisbawahi lenyapnya discrimination by state. Kalaupun ada 
masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti persoalan terkait perijinan, 
pengurusan dokumen identitas dan perjalanan, atau soal-soal keagamaan yang 
dialami ETI, itu juga dialami kelompok etnis lain di Indonesia. Dalam suasana 
baru saat ini, tantangan besar menyangkut identitas ETI yang perlu dipikirkan 
bersama adalah bagaimana memunculkan dan membangun ketionghoaan sesuai dengan 
kearifan sejarahnya yang khas Indonesia. Membangun ketionghoaan dengan cara 
menempelkan begitu saja atribut-atribut kebudayaan negeri leluhur, sudah 
terbukti, seringkali melahirkan hal-hal yang kontraproduktif.

Sebagai ilustrasi, Konghucu telah dianut sebagai agama oleh sebagian ETI, 
kendati di negeri asalnya sendiri, Konghucu bukanlah sebuah agama dalam artian 
mengabarkan kehidupan setelah kematian. John Lie adalah pahlawan etnis Tionghoa 
di Indonesia, bukan Zheng He (Cheng Ho) yang sebenarnya lebih berperan sebagai 
duta besar atau utusan Kerajaan China. Bukankah media cetak dan elektronik 
nasional menempatkan Anggodo Widjojo setara dengan Komjen Polisi Susno Duadji 
di hadapan hukum? 

Singkatnya, berdasarkan prinsip equal before the law (dalam bahasa Mandarin 
disebut Gongping) kaum minoritas dan mayoritas di Indonesia tidak lagi memiliki 
perbedaan dalam upaya merekontruksi tatanan kehidupan sosial, ekonomi, politik 
dan pertahanan. Profesor Liang Yingming (sejarawan Universitas Peking kelahiran 
Soli) dalam forum diskusi yang dihadiri 300 orang April 2010 di Yayasan Nabil 
menyatakan, budaya tradisional etnis Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu 
pondasi penting bagi berlangsungnya proses integrasi nasional dalam konteks 
terbentuknya keIndonesiaan yang modern.

Konsolidasi
Persepsi pada dasarnya terbangun dari pengalaman atau sejarah yang mewarnai 
perjalanan hidup seseorang atau sebuah komunitas. Disadari, terdapat sejumlah 
kebijakan pada era Orde Baru yang telah membentuk perilaku sosial, ekonomi dan 
politik saudara-saudara Tionghoa di masa lalu. Setidaknya ada tiga kebijakan 
penting yang langsung maupun tidak langsung ikut membangun persepsi masyarakat 
Tionghoa pada masa itu. Pertama, kebijakan yang melarang ekspresi budaya 
Tionghoa di ruang publik dan dibatasi hanya di lingkungan rumah tempat tinggal. 
Kedua, karena ruang-ruang politik dan birokrasi tertutup rapat, energi dan 
perhatian warga ETI lebih terkonsentrasi di bidang ekonomi. Ketiga, rezim 
Soeharto secara tidak langsung mengangkat tokoh konglomerat Liem Sioe Liong 
sebagai Tetua untuk menangani berbagai persoalan yang timbul di internal ETI. 
Akibatnya mudah ditebak, terbentuk sekelompok elite ekonomi dari kalangan ETI 
yang bergaya hidup mewah dan eksklusif, kesenjangan sosial menganga lebar, 
dan kecemburuan sosial berlatar etnis terakumulasi bak ilalang kering di musim 
kemarau. 

Lalu, ketika kekuasaan otoritarian melemah dan mulai menunjukkan tanda-tanda 
akan runtuh, onggokan ilalang kering kerontang yang menumpuk selama tiga dekade 
itu terbakar berkobar-kobar, tanpa seorang pun sanggup memadamkannya. Tidak 
ingin mengulangi pengalaman hitem-kelam itu, pemerintah reformasi kemudian 
menerbitkan berbagai peraturan perundangan guna mengoreksi kebijakan masa lalu 
itu. Larangan mengekspresikan budaya Tionghoa di ruang publik dicabut, Imlek 
dinyatakan sebagai hari libur nasional, dan sebagai puncaknya, UU 
kewarganegaraan yang lebih menjamin persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh 
warga negara Indonesia diberlakukan. Di alam reformasi, ETI tidak lagi memiliki 
tokoh yang dituakan atau figur sentral yang dapat berperan sebagai 
pemutus-kata. Dewasa ini, setiap individu ETI merasa telah lepas dari 
kungkungan sehingga bebas menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. 

Di Tengah suasana eforia itu, dalam waktu singkat, ratusan perkumpulan 
berlatarkan ikatan sedaerah atau sekampung di RRT, kemargaan, keagamaan China, 
kesenian barongsai, kepengusahaan, dan lain sebagainya, bermunculan di 
kota-kota besar di seluruh Indonesia. Data di lingkungan akademis mencatat, 
perkumpulan atau organisasi semacam itu ada sekitar empat ratusan. Sedangkan 
menurut Ketua PERMIT, Dr Tahir dalam sebuah pernyataannya menyebut, jumlah 
perkumpulan kalangan ETI saat ini sudah mencapai tujuh ratus organisasi. 
Sementara di Ditjen Kumdang, Kementerian Hukum dan HAM, resmi terdaftar sekitar 
300 perkumpulan. Menariknya, bagi saudara-saudara ETI, gerakan bernuansa 
konsolidasi tersebut pada umumnya dimaknai sebagai sekedar untuk 
kumpul-kumpul\". 

Namun, sorotan tajam dan prasangka terhadap fenomena itu semakin tidak mudah 
dibendung. Belakangan ini mulai muncul penilaian dari sebagian pengamat yang 
juga melek dan bisa membaca huruf kanji menyebutkan pengelompokan berbadan 
hukum tersebut bagaikan eksklusivitas baru yang dilindungi oleh undang-undang. 
Kenyataannya bagi sebagian ETI, fenomena yang terdorong suasana eforia ini 
terus berkembang tanpa hambatan karena masyarakat awam memandangnya sudah 
sesuai dengan hak azasi manusia dan sejalan dengan era hukum sebagai panglima 
yang digelorakan di Indonesia. Padahal, pengelompokan warga ETI dalam bentuk 
yayasan atau perkumpulan, di samping memiliki ketua dan pengurus yang jelas, 
juga bercirikan sistem keanggotaan yang tertutup bagi kelompok non-ETI.

Ironisnya, bagi sementara kalangan ETI, tujuan pengorganisasian yang baik itu 
dan lebih memudahkan mereka untuk melakukan berbagai aktifitas, seperti 
menolong korban bencana alam, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan bisnis, temu 
kangen alumni sekolah, teman sekampung atau anggota semarga hingga lomba 
karaoke Mandarin, pemilihan cici-koko dan lain sebagainya, disinyalir hanya 
berisi \"makan-makan\" tidak lebih. Namun berita dan foto-foto kegiatannya 
dipastikan akan memenuhi lembaran-lembaran SKH berbahasa Mandarin yang 
cenderung membangun opini \"mewah\" dan \"besar\". Tidak kalah menariknya, 
perkumpulan-perkumpulan tersebut juga terlihat lincah melakukan kontak dan 
menjalin hubungan, baik secara terbuka maupun terselubung, dengan pihak-pihak 
tertentu, terutama dengan jejaring penguasa China Daratan.

Untuk jangka pendek, perilaku warga dan perkumpulan ETI seperti itu, tentu saja 
dapat dipahami dan tampak sebagai hal yang wajar terjadi di alam globalisasi 
yang penuh keeforiaan. Namun, untuk jangka panjang, kontak-kontak terselubung 
dan orientasi berlebihan ke Beijing lambat-laun akan menghadirkan sederetan 
pertanyaan mengenai kadar nasionalisme warga ETI. Dalam kaitan ini, penting 
pula untuk dicatat bahwa polemik di seputar pemberlakuan ASEAN-China Free Trade 
Agreement yang belum jelas benar keuntungan yang didapat, mudah memancing 
bangkitnya nasionalisme sempit di kalangan etnis-etnis non-Tionghoa sebagaimana 
tercermin dalam aksi-aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional atau 
May day, pada 1 Mei lalu.

FENOMENA lain yang tidak mungkin terjadi di era sebelumnya adalah terus 
mengemukanya tuntutan jaminan perlindungan hukum terhadap etnis Tionghoa. Bagi 
sementara warga ETI, masalah perlindungan hukum ini diyakini dan dianggap 
sebagai persoalan mendesak di tengah trauma keamanan masa lalu, yang masih 
sering dikaitkan dengan Tragedi Mei 1998. Padahal, seandainya situasi semacam 
itu terjadi sekarang, perlindungan hukum terhadap ETI sebagai warga negara 
telah dijamin penuh oleh UU No.12/2006. Selain itu, jaminan perlindungan juga 
diberikan secara berlapis oleh berbagai hak hukum di tingkat organisasi atau 
kelompok yang memayungi para anggotanya. Indikasinya, pertikaian internal yang 
melanda PERPIT dan gesekan eksternal terkait kasus Anggodo Widjojo, dapat 
diselesaikan melalui proses hukum, tanpa terbayang adanya penyelesaian ala 
godfather, sebagaimana kebiasaan di masa lalu. 

Selain itu, berita-berita di koran berbahasa Mandarin, cerita-cerita sukses 
organisasi, dan hubungan mesra dengan kedutaan maupun lembaga resmi RRT, telah 
mengonstruksi opini publik bahwa saat ini tidak ada lagi diskriminasi atau 
pembatasan etika pergaulan internasional bagi semua WNI. Yang terjadi justru 
proses interplay antara Hua She atau kelompok Tionghoa Indonesia dengan 
pemerintah RRT serta warga sekampung yang hidup di China Daratan, semakin dekat 
dan intensif melalui organisasi-organisasi yang terbentuk seperti diuraiakan 
dimuka. Tidak bisa disangkal bahwa kecenderungan ini akan positif membawa 
implikasi positif bagi hubungan RI-RRT, yang pada masa lalu berkembang 
fluktuatif. Hanya saja, penulis kembali teringat ungkapan Prof. Liang Yingming, 
yang menengarai perkembangan tersebut telah memunculkan nasionalisme ETI yang 
agak lain. Sinyalemen Liang Yingming tersebut tampak cukup beralasan, karena 
dalam memberikan kontribusinya, kalangan ETI diharapkan bertumpu pada prinisp 
Luo 
Di Sheng Gen (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung).

Energi Kaki Tiga
Dinamika sosial budaya kelompok etnis Tionghoa Indonesia atau Hua She memang 
selalu menarik banyak pihak. Untuk mengenali pola hubungan orang-orang Tionghoa 
di Indonesia dan lebih jauh lagi untuk memahami adanya perbedaan atau 
pertentangan halus di dalamnya, dibutuhkan pendekatan tersendiri. Untuk 
kebutuhan analisis, pola pengelompokan berdasar sub etnis (di dalamnya termasuk 
kesamaan marga); Hakka, Fukien, Teochiu, Marga Tan, dan Marga Xu. Kedua, 
pengelompokan berdasarkan asal sekampung (daerah asal di RRT): Guangdong, 
Nan-An, Hainan, dan Fukien. Dan ketiga, pengelompokan berdasarkan profesi atau 
bisnis: PERPIT dan PERMIT. Ciri khas relasi sosial dalam pengelompokan ETI 
terletak pada status dan peran setiap anggotanya. Seorang anggota PERPIT 
(kelompok profesi) yang leluhurnya dari wilayah Guangdong (kelompok sekampung) 
dan termasuk sub etnis Khek atau Hakka secara otomatis memiliki hak dan status 
keanggotaan di ketiga kelompok tersebut. 

Ini juga berarti, orang yang bersangkutan memiliki kaki tiga. Dalam batas-batas 
tertentu, energi kaki tiga akan berfungsi sebagai kaca tempat bercermin 
sekaligus saluran komunikasi yang efektif untuk mengendurkan relasi-relasi 
sosial yang tegang akibat adanya perbedaan kepentingan. Pada bulan Oktober 
2009, media massa berbahasa Mandarin ramai memberitakan perselisihan di dalam 
kelompok ETI, seperti pertikaian di internal PERPIT, gesekan kepentingan di 
perkumpulan Hakka dan ganjang-ganjing di perkumpulan Guangdong Indonesia. 
Namun, berkat sinergi keanggotaan yang bertumpu pada kekuatan kaki tiga, 
konflik yang tidak terlihat dari luar itu dapat cepat terendam. Inilah yang 
saya yakini bahwa ETI tampak selalu solid di mata orang luar. Terlepas dari 
keampuhan energi kaki tiga, menjamurnya perkumpulan ETI belakangan ini juga 
dapat dipandang sebagai bentuk pengembangan organisasi federasi yang berfungsi 
menjadi kaki-kaki penopang yang terikat kuat oleh budaya sumpit di bawah 
perlindungan or
ganisasi-organisasi berbadan hukum. Jika asumsi itu benar, maka penilaian 
tersebut akan bermuara pada kesimpulan awal bahwa kebudayaan Tionghoa di 
Indonesia memang sedang tumbuh dan berkembang dalam cluster tersendiri.

Hua Qiao
Dalam peristilahan bahasa Mandarin, Hua Qiao berarti China Perantauan (warga 
negara RRT yang sedang merantau dan pasti kembali ke negeri asalnya). Hua 
berasal dari kata Tionghua (sebutan sebuah etnis) dan Qiao berarti tinggal 
diluar negeri atau merantau untuk sementara. Akan tetapi, dalam bahasa Mandarin 
terdapat sejumlah kata yang memiliki arti berbeda walaupun mempunyai bunyi yang 
sama dengan tulisan yang berbeda. Bunyi Hua Qiao jika diartikan satu persatu 
dapat juga memiliki makna Tionghoa dan Jembatan. Di Indonesia secara tidak 
langsung juga dapat diartikan mereka adalah jembatan. Dengan begitu, Hua Qiao 
di Indonesia akan diasosiasikan sebagai jembatan yang menghubungkan RI dan RRT. 
Apabila pemahaman ini dihubungkan dengan filosofi tidak ada kawan ataupun lawan 
yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan, maka posisi China Perantauan 
sebagai jembatan, pada dasarnya, sangat rapuh. Eksistensi Hua Qiao senantiasa 
bergantung kepada baik-buruknya hubungan bilateral RI-RRT.

Bersandar pada uraian tersebut, maka pemikiran paling logis dan aman untuk 
dipraktikkan warga ETI adalah Luo Di Sheng Gen, yang maknanya kurang lebih sama 
dengan pepatah bijak. Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Warga etnis 
Tionghoa memang sudah sepantasnya berbulat tekad dan tidak perlu ragu berbuat 
untuk kepentingan negara dimana mereka bersama anak cucu berada. Prinsipnya 
sederhana, jangan lupa sejarah, tapi jangan berbuat sesuatu yang cenderung 
mengulang kembali sejarah yang telah terjadi atas nama hak azasi, karena kita 
hidup tidak sendiri. 

(Penulis adalah Ketua Kajian Ketionghoaan dan Harmonisasi Suku Bangsa).

Kirim email ke