Bu Keshaandrea dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Menarik sekali cerita ttg bakcang Hok-kian vs Bakcang Kongfu ini. Lebih menarik 
lagi bahwa ema anda yang sudah berumur 95 tahun masih menawarkan anda untuk 
membuat bakcang.


Istilah 'bo liao' aka kurang padat berisi center fill-nya, memang benar. Kalau 
bakcang kurang-kurang isinya, itu menunjukkan si pembuatnya pelit atau memang 
bener-bbener 'profesional' - dalam arti mau pake jurus 'teken ongkos meraup 
cwan gede'. Tapi ya memang sih harga bakcang di Jakarta sering 'mencekik' leher 
saking mahalnya. Kalau bener isinya banyak sih masih oke-lah. Seringnya 'kan 
kita baru tahu isinya kalau sudah dibelah dan dibuka pembungkusnya, artinya 
kita mesti bayar dulu tuh harga bakcang toh?

Saya pernah makan bakcang di JB - Johore Bahru, Malaysia, lupa harganya berapa 
tapi kalau diterjemahkan ke rupiah sih masih dalam batas murah tuh. Isinya 
kumplit, dagingnya dikerat gede-gede. Kalau dibilang kumplit, artinya ada 
kuning telur bebek asinannya, ada hebinya, ada kacangnya, xiong-ku (jamur item 
wangi) dan kacang lakji-nya. Ukurannya tentu saja jadi gede. Lha, wong saya 
makan sendiri juga mesti 2 kali makan baru habis tuh, jeh!


Memang benar, baru di Jakarta saja (juga di Tangerang) saya mendapati bakcang 
yang dagingnya dicincang, dan ada yang dibuat dari bahannya beras biasa - bukan 
beras ketan. Waktu saya kecil dan tinggal di Cirebon, namanya bakcang ya 
mestilah dari beras ketan, dengan center fill berupa daging babi keratan (iris) 
besar-besar dimasak kecap - bisa berupa samcwan atau daging bagian paha/kaki. 
Kalau soal variasinya sih memang ada yang pake xiong-khu, kacang tanah, 
lakji(?) - water chestnut, dan kuning telur asin, hebi. 

Biasanya bakcang dimasak juga yang tanpa isi, ukurannya lebih kecil, hanya dari 
beras ketan, di Cirebon biasa disebutnya sebagai 'kwe-cang' - hasilnya agak 
kenyal dan padat, butiran berasnya menyatu satu sama lain, dan agak 
kenyal-kenyal begitu, katanya sih dicampuri bahan 'air kie' atau air abu (atau 
air bakaran merang?), belakangan ada yang bilang  itu pake borax(?). Makannya 
dicocol gula pasir, atau gula pasir dimasak bareng air - jadi cair, atau kalau 
di Jakarta sih pake kinca - gula merah aka gula Jawa yang dimasak pake air agak 
kental itu lho.


Benar sekali, bakcang sekarang diikatnya pake tali plastik rapi'ah, biasanya 
dibedakan warna (misal biru) untuk ketan dengan beras biasa. Jaman dulu, 
bakcang diikat pakai tali dari bahan pelepah (gedebog) pisang yang disayat agak 
tipis. Kalau daging isinya sih, tentu saja enak yang berdaging babi dong ya!


Di Tangerang, bisa beli di tukang sate babi Koh Encung, harganya terakhir saya 
beli sih Rp 8.500 per bongkah, ukuran mayan besar dengan isi mayan banyak - 
agak berlimpah mendesak si beras ketannya. Lokasi warungnya di sebelah Apotik 
Pintu Air, jl. Bouraq. Bukanya mulai sore jam 17:00 Tapi aliran bakcangnya yang 
isinya cuma pake daging giling (bukan cincang - lebih halus lagi), juga bisa 
pilih ketan atau beras biasa, dengan tanda dari warna tali plastik (rapiah). 
Mereka melulu juwal bakcang isi daging babi. Sebab, bakcang memang kudu 
berdaging babi sih, baru enak. Kalau isinya daging ayam atau sapi, itu mah 
sekedar bakcang-bakcangan ajah atuh, euy!

Yang di Bogor, juwalan bareng dengan penjaja Ngo-hiang Gg. Aut, yang warungnya 
di depan toko Fuji, gereja Kristen di Jl. Surya Kencana, itu masih pake daging 
keratan kalau gak salah, hanya saja dikeratnya agak kecil-kecil. Masih mending 
daripada dicincang sih. Talinya sih saya lupa, apakah pakai tali plastik atau 
masih tali gedebog pisang. Kayaknya sih pake tali rami (benag besar?). Yang 
saya ingat, mereka masih pakai bongsang (keranjang bambu anyam kasar dan 
besar-2) sebagai pembungkusnya. Juga juwal dengan pilihan beras ketan atau 
beras biasa. Harganya sudah lupa, sudah lama gak ke sana nyari jajanan sih, jeh!



Kalau soal daun bambu untuk pembungkus bakcang, saya dengar di Bogor (pasar?) 
banyak dijual daun bambu segar yang lebar. Tapi saya sendiri tidak pernah ke 
sana. Mungkin bisa minta bantuan Bung King Hian atau Adrian C untuk tanya-2 
soal ini.

Tapi, saya pernah 'nemu' daun bambu untuk bungkus bakcang ini dalam keadaan 
kering, impor dari RRT. Sebungkus isi 100 lembar dihargai Rp 25.000 di Pasmo 
BSD. Yang jual adalah satu encek eks Bangka yang juwalan aneka bahan dan bumbu 
masak untuk masakan Tionghua. Lokasinya sebarisan (bukan jejeran) dengan Oen 
Pao - resto dimsum versi no pork on the fork.

Kalau saja ema anda mau mendemokan cara bungkus bakcang, mungkin banyak yang 
mau ikut lihat demo-nya. Sebab bikin bakcang itu katanya yang sulit justru 
ketika membungkusnya itu. Kalau perlu, saya bisa bantu belikan daun bambu 
kering-nya itu.

Begitulah saja kira-kira ya.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng - KL





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "keshaandrea" <keshaand...@...> wrote:



Hi Joao,
 
Kebetulan nenek saya dari ayah adalah orang hokkian dan nenek dari ibu adalah 
orang kong hu.
 
Untuk bacangnya memang beda, yg dari hokkian bungkusnya model segitiga dan 
isinya banyak, yaitu samcan/babi kecap, ebi, sejenis kacang agak gede, telur 
asin, jamur, cara buatnya agak beda, ketannya dioseng2 dipenggorengan dulu 
sebelum di bungkus, konon ketannya jadi lebih enak.
 
Kalau yg dari nenek Kong Hu, bacangnya bentuknya panjang, isinya daging cincang 
dan konon yg ngetop dari bacang nenek Kong Hu ini menurut tante2 saya dari 
ayah, adalah bacang manisnya, yaitu bacang ketan pake gula pasir.

Cuma itu saja yg saya tau.
 
  
 
Tapi sepertinya bacang hokkian ini juga kalau mau kasih orang harus
diperhatikan isinya, agar tidak jadi bahan gunjingan gara2 "Bo Liau", dulu 
sering denger bokap kalo makan bacang sering komplen soal "Bo Liau" ini, 
mungkin karena itu jadi nenek kalo bikin bacang agar berlebihan isinya.
 
"Bo Liau" itu artinya isinya agak kurang, mngkin dagingnya dikit atau ada yang 
kurang dari biasanya gitu.
 


Minggu kemarin, kebetulan nenek saya (umur 95 thn) datang berkunjung ke jakarta 
2 hari, saya sempat mengajak makan bacang di Bandengan, Bacang Ny. Giok?
 
Beliau bilang ketannya enak sekali bikinnya, Cuma isinya itu… daging
cincang…, saya juga kecewa karena ternyata bacangnya pake daging cincang…
 
Dan ikatan talinya "tega banget" pake tali rafia… bukan pake benang…
 
Pulangan sempat beliau menawarkan untuk membuatkan saya bacang di rumah, tapi 
cari daun bambunya susah dan yg ukuran daun yg besar2 juga susah dapatnya.
 
Harga bacang di Ny. Giok Rp.20.000,-- yg pake telur asin.
 
Saya suggest coba ke Mangga Besar tsb untuk mencoba bacang yg isinya daging 
samcan lengkap itu, moga2 si encim masih jualan sampai sekarang.

  


Kirim email ke