senada dengan pak Udin,...kalo boleh usul, saya rasa topik seperti ini
kurang pantas diperdebatkan di mailing list ini....

regards,
arief h

-----Original Message-----
From: Nashrudin Ismail [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: 28 September 2004 13:01
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: TO: Pak Admin --RE: [bumi-serpong] Perkawinan Lintas Agama--


Pak Admin,
Saya usul untuk email Mr X (jan bandalo) ini di banned dari milist kita,
selain belum memperkenalkan diri, Mr X ini tidak menjaga netiket. Boleh
comment asal sesuai topik/tema milist dan dengan bahasa sopan (netiket).
Menurut saya, comment dari Mr X ini untuk tulisan mbak lena terkesan
profokatif dan melanggar netiket.

Tks,
Udin

-----Original Message-----
From: jan bandalo [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, September 28, 2004 11:09 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [bumi-serpong] Perkawinan Lintas Agama

Perkawinan itu sebenarnya untuk siapa sich? Untuk
semua orang supaya di cap sudah kawin atau untuk 2
orang yang sehati dan mau hidup bersama? Menurut saya,
kalo memang mau hidup bersama dan susah untuk
mendapatkan pengesahan dari pemerintah, yach hidup
bersama saja. Yang penting khan hati kedua orang itu
sudah sama dan sejalan. Perkawainan itu bukan untuk
orang banyak. Susahnya di Indonesia, orang harus
mendapat pengesahan dulu dari penghulu atau gereja dan
juga kebanyakan harus merayakan perkawinan (yang ngga
ada duit ngga usah kawin), baru disebut sudah kawin.
Menurut saya, beda agama ngga apa2, ngga dapat
pengesahan dari pemerintah, ngga apa2. Yang penting
hati kita, mau ngga mengarungi bahtera rumah tangga
bersama2. Masa bodo pikiran orang yang lain. Memangnya
mereka membiayai hidup kita.

-----Original Message-----
From: laina la [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, September 28, 2004 5:20 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [bumi-serpong] Perkawinan Lintas Agama


Artikel menarik dari kompas online. Kasihan pasangan
yg beda agama dan tidak 
mampu utk melangsungkan perkawinan di luar Indonesia
(kalo masing2 tidak mau 
pindah agama) . Kapan kiranya UU semacam ini diubah
ya? Kan manusia bukan 
utk agama, tapi agama utk manusia. Any comment?

len's


Perkawinan Lintas Agama

Jakarta, Kompas


*) Menyoal Politisasi Identitas

PERJUANGAN pasangan Luki dan Liris untuk menikah
adalah perjuangan panjang. Sejak pertemuan pertama
mereka tujuh tahun lalu dan kemudian "jadian" dua
tahun sesudahnya, pasangan yang berbeda agama itu
sudah tahu risiko yang dihadapi bila mereka memutuskan
melanjutkan hubungan sampai ke jenjang pernikahan.

PADA Luki dan Liris, perbedaan itu bukan sesuatu yang
harus diributkan. Mereka tampaknya cukup matang dalam
memandang hubungan manusia dengan Tuhan. "Buat kami,
hubungan kami dengan Tuhan adalah sesuatu yang
bersifat sangat personal," ujar Liris. Itu pandangan
mereka. Bukan pandangan orangtua keduanya.

"Bapak dan Ibu mau kami menikah di gereja. Tetapi,
ayah-ibunya Luki maunya kami menikah di KUA (Kantor
Urusan Agama) saja," sambungnya.

Persoalan yang dihadapi pasangan Linda-Ade juga sama.
"Karena kesal, kami memutuskan menikah di Singapura
saja," ujar Ade.

Pasangan Nila- Agus memilih menikah di Australia,
sedangkan pasangan Rini dan Hardi memilih menikah di
AS. Semua nama pasangan ini bukan nama sebenarnya.

"Perkawinan kami baik-baik saja," demikian pengakuan
Angela Riyanti dalam dialog publik "Tafsir Ulang
Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan
Pluralisme" yang diselenggarakan Lingkaran Pendidikan
Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan), di
Jakarta, beberapa waktu lalu. Angela menahan
pertanyaan dan cemooh orang di sekitarnya dengan
mengatakan, "Kami berdua orang beriman."

Dalam film yang ditayangkan oleh Kapal Perempuan dalam
acara itu, pasangan-pasangan berbeda agama yang
diwawancarai menegaskan, perbedaan tersebut tidak
menjadi soal bagi mereka. Seperti pasangan aktivis
Hilmar Farid dan Agung Putri, juga pasangan Edriana
Nurdin dan Alex Irwan. Orangtua dan lingkungan
merekalah yang meributkan hal itu, apalagi kalau
perbedaan itu menyangkut hal-hal lain juga, seperti
beda suku dan beda etnis.

KISAH percintaan Taty Apriliyana dan Bimo Nugroho
terbilang unik. Mereka bertemu di Yogyakarta, waktu
keduanya masih kuliah di kota itu. Sejak pertemuan
pertama, Bimo yang lahir dari keluarga Katolik itu
sudah merasa jatuh hati kepada Taty, yang bersuara
emas dan berjilbab. Ketika pacaran, selalu saja ada
pertanyaan menjengkelkan. "Lho Ty, kamu kan Islam,
Bimo kan Katolik. Kok kalian bisa pacaran?"

Waktu itu Taty dan Bimo aktif di Partai Rakyat
Demokratik (PRD) yang dicap pemerintah (Orde Baru)
berhaluan komunis. Namun, bukan karena itu mereka
pacaran. "Pada dasarnya kami cocok dalam banyak hal,
khususnya kalau diskusi perihal lintas agama, politik
dan cinta he-he-he," papar Taty, seperti yang ia tulis
sebagai bagian testimoni dari buku Tafsir Ulang
Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan
Pluralisme (2004) yang diluncurkan pada acara itu.

Keduanya akhirnya menikah. Di gereja dan di depan
seorang kiai, tanpa harus pindah agama. Orangtua Taty
baru tahu perkawinan anaknya setelah Hayuning
Sumbadra, anak pertama pasangan itu, lahir. "Ibuku
menangis. Namun, hatinya luluh setelah melihat Sumba,
begitu kami memanggil si jabang bayi. Bagaimanapun
Sumba adalah cucu pertama ibuku. Dan sungguh, anakku
itu pandai mengambil hati. Ia tersenyum begitu pertama
kali digendong neneknya," tulis Taty (hlm 17).

Kehidupan perkawinan mereka baik-baik saja sampai saat
ini. Bimo menyerahkan pendidikan agama anak-anak
mereka kepada Taty. Namun, keduanya sepakat untuk
memberikan kebebasan anak-anak memilih saat mereka
sudah dewasa.

Memang tidak semua perkawinan lintas agama berjalan
baik, sebagaimana halnya perkawinan tanpa perbedaan
agama. Dalam buku itu, Yani menceritakan perkawinannya
yang penuh gelombang. Namun, akhirnya pasangan itu
menemukan jalan untuk kemudian saling menghargai dan
menuju kepada kesalingan yang menyatukan (hlm 19-27).

Perkawinan lintas agama sebenarnya terjadi pada banyak
pasangan, sejak "zaman dahulu kala", dan tidak ada
yang mempersoalkannya. Seperti dikemukakan seorang ibu
dari organisasi Wanita Katolik dalam dialog publik
itu.

"Ayah dan ibu saya menikah beda agama, tetapi mereka
hidup rukun sampai tua. Kalau puasa, Ayah menyiapkan
segala sesuatu untuk Ibu. Ayah juga membelikan hadiah
mukena dan sajadah untuk Ibu. Ibu sangat sibuk
menjelang Natal dan selalu mengingatkan Ayah untuk
berdoa dan rajin ke gereja. Anak-anak mempunyai
kebebasan memilih agamanya sendiri, sehingga di rumah
kami seperti ada warna pelangi untuk keyakinan yang
dianut. Itu membuat kami merasa sangat kaya," ujarnya.

Suatu hari, salah satu anaknya memilih masuk seminari,
pendidikan untuk calon biarawan di agama Katolik. "Ibu
saya menangis. Saya berpikir ibu berkeberatan dan saya
merasa. Lalu saya bertanya kepada Ibu. Ibu saya
menjawab, 'Nak, Ibu bukan sedih karena cucu ibu mau
masuk seminari. Ibu sedih karena harus berpisah dengan
dia. Kan dia harus masuk asrama. Sementara Ibu merasa
belum puas membelainya.' Saya terharu. Begitu
lapangnya hati ibu saya...."

DIALOG publik yang dipandu Sita Aripurnami dari
Women's Research Centre (WRI) itu menghadirkan Musdah
Mulia dan Abdul Moqsith (membedah perkawinan lintas
agama dari pandangan Islam), Ester Mariani Ga (dari
pandangan Kristen), dan Wayan Swira (dari pandangan
Hindu). Namun yang menarik, pada sesi tanya-jawab yang
terjadi justru kesaksian- kesaksian peserta.

Direktur Kapal Perempuan Yanti Muchtar mengatakan,
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural,
baik dari sisi agama, ras, suku, dan kelas. Interaksi
lintas golongan terbuka lebar yang dapat berlanjut
pada sebentuk perkawinan. "Dan memang nyatanya gejala
menikah lintas agama terus berlangsung di Indonesia,
meskipun UU Perkawinan melarangnya," ujar Yanti.

Banyak cara dipakai, seperti terekam dalam wawancara
di atas dengan pasangan-pasangan beda agama. "Tetapi,
intinya di sini: tetap ada 'sesuatu yang terpasung',
tetap ada 'kegelisahan yang menggumpal'. Sayangnya
arus bawah ini tidak pernah muncul ke permukaan secara
frontal karena sensitifnya isu ini," sambungnya.

Cinta, tegas Yanti, adalah anugerah Tuhan. "Apakah
penting untuk dipersatukan atau lebih baik
dirasionalisasikan karena larangan perkawinan lintas
agama? Apakah tidak ada alternatif untuk memaknai dan
menginterpretasi ajaran-ajaran tentang perkawinan?"
lanjut Yanti.

Buku yang diluncurkan Kapal Perempuan hari itu mencoba
mengupas hal itu lebih mendalam. Ternyata ada beberapa
penafsiran dari berbagai agama yang memandang masalah
perkawinan lintas agama ini dengan sudut pandang
berbeda. "Ternyata perkawinan lintas agama
diperkenankan jika perspektif pluralisme digunakan,"
kata Yanti.

Artinya, mungkin sudah saatnya meninjau secara kritis
dan secara mendalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Yanti melihat, sudah saatnya
membuka diri untuk memahami perspektif perempuan dalam
pluralisme dalam mengkaji perkawinan lintas agama.

"Perspektif pluralisme sungguh menarik, sebab akan
terbuka olehnya bukan hanya situasi perempuan tetapi
bagaimana kekuasaan agama-agama ditancapkan ke tubuh
putra-putrinya sendiri, khususnya saat mereka
menggeluti kebebasan dalam memilih bentuk
perkawinannya," tulis Maria Ulfah dan Martin Sinaga,
editor buku itu.

Dengan demikian, akan tampak dinamika dinamika jender
dalam perkawinan itu dan akan terbongkar pula perisai
agama yang dibuat untuk mengukuhkan ketidakadilan
jender tersebut.

Melalui anatomi perkawinan lintas agama akan muncul
dua hal. Yakni situasi buram perempuan dan kenyataan
bahwa agama-agama ternyata memberi andil dalam situasi
itu. Khususnya karena mereka tertutup dan membatasi
pergulatan putra-putrinya dalam pergulatan memilih dan
meraih kebahagiaannya. Kegembiraan untuk berbagi dan
memelihara saat orang memilih bentuk perkawinan harus
berhadapan dengan batas formal agama-agama dan
ruang-ruang perkawinan yang maskulin.

"Malah negara melalui hukum publiknya, dalam UU
Perkawinan, juga ikut memilih jalur pembatasan dan
pengekangan dalam ihwal perkawinan lintas agama,"
tulis Maria Ulfah dan Martin Sinaga. Situasi yang
muram, menurut keduanya, disebabkan antara lain karena
semangat pluralisme yang sungguh langka dalam
interpretasi terhadap ajaran agama-agama tersebut.

PERKAWINAN campur antaragama, antara hukum kolonial
dan kekinian dalam buku itu diulas oleh Sri Wiyanti
Eddyono. Menurut Sri Wiyanti, sebenarnya UU tersebut
sangat interpretatif, sehingga satu pihak dapat
mengartikan perkawinan lintas agama tidak diatur di
dalamnya, sementara pihak yang lain mengartikannya
pelarangan perkawinan antaragama.

Tokoh yang lain juga membicarakannya secara terbuka di
publik. Ketika berbicara dalam seminar nasional
memperingati 100 tahun wafat RA Kartini di Jepara
beberapa waktu lalu, aktivis Nursyahbani Katjasungkana
mengulas tradisi-tradisi lokal di Indonesia yang bias
patriarki. Menurut Nursyahbani, tidak hanya UU
Perkawinan yang harus dikritisi, tetapi juga
undang-undang lain yang terkait dengan itu.

Yanti Muchtar sependapat dengan apa yang dipaparkan
Ketua Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) Kamala Chandrakirana, yang menulis
pengantar buku itu.

"Pihak yang paling terganggu dengan perkawinan campur
itu adalah pihak yang mempunyai kepentingan tertentu
dengan institusi perkawinan," tulis Kamala.

Dari pembahasan dalam buku itu terungkap adanya dua
institusi yang secara aktif mengerahkan upaya
pengendalian tentang siapa yang diperbolehkan kawin
dengan siapa dan melalui ritual serta birokrasi
semacam apa perkawinan tersebut boleh dianggap "sah".
Dua institusi itu adalah institusi negara dan
institusi agama. "Masing-masing dengan alasan dan
caranya sendiri," ulasnya.

Yanti Muchtar dan Budhis Utami dari Kapal Perempuan
menegaskan kembali pemaparan Kamala mengenai
politisasi identitas. Pada era pasca-Orde Baru yang
penuh ketegangan dan konflik antarwarga, semakin jelas
munculnya sumber permasalahan besar, yakni politisasi
identitas.

Identitas keagamaan, kesukuan, dan rasial yang
merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari setiap
warga dengan sangat lihai dipermainkan pegiat politik
untuk memobilisasi dukungan melalui cara paling
sederhana dan mudah. Yaitu dengan menggugah rasa
kesetiaan yang ekstrem pada komunitas keagamaan,
kesukuan dan rasial masing-masing.

Sayangnya, metode itu mensyaratkan upaya yang sama
besarnya untuk membangun kecurigaan dan bahkan
ketakutan terhadap apa yang didefinisikan sebagai
"musuh bersama", yang umumnya adalah warga dari
komunitas keagamaan, kesukuan maupun ras berbeda.

Analisis sosial politik dibuat berdasarkan pemahaman
kritis, faktual, dan obyektif terhadap pengalaman
ketidakadilan menjadi korban dari semangat politisasi
identitas semacam ini. Yang satu akan menuntut fokus
pada sistem dan struktur yang berperan melanggengkan
ketidakadilan, sementara yang lain cukup berpegang
pada stereotip dan kecurigaan tentang "orang luar"
sebagai sumber penjelasan atas ketidakadilan yang
dialami.

Dalam konteks kondisi sosial politik semacam ini,
perkawinan campur menjadi persoalan besar bagi para
pegiat politik yang menggunakan siasat "politisasi
identitas".

Baik Kamala, Yanti, maupun Budhis menyatakan, kawin
campur berpotensi besar untuk mendobrak dan
mengecilkan dampak pagar-pagar pembatas yang sedang
aktif dibangun untuk memisahkan satu komunitas agama,
suku, ras dari komunitas yang lain, demi kepentingan
menggalang kekuatan politik.

"Dengan demikian, mempersoalkan upaya negara dan
lembaga keagamaan yang mempersulit atau bahkan
melarang perkawinan campur antaragama memang merupakan
suatu agenda penting untuk mendukung pluralisme,"
tulis Kamala. Itulah motivasi penulisan buku Tafsir
Ulang Perkawinan Lintas Agama tersebut.

Upaya membongkar semua ini tentu tidak mudah. Dialog
publik yang digelar Kapal Perempuan adalah upaya luar
biasa mengingat menguatnya formalitas agama-agama
sehingga mengabaikan semangat kemanusiaan dan
kebersamaan yang sebenarnya sangat kental dalam
ajaran-ajarannya.

Kita pun harus terus belajar untuk membuka diri dan
membuka hati.(mh)

_________________________________________________________________
STOP MORE SPAM with the new MSN 8 and get 2 months
FREE* 
http://join.msn.com/?page=features/junkmail




___________________________________________________
Kirim e-mail:   [EMAIL PROTECTED]
Setting: http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong 
Yahoo! Groups Links



 




---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system
(http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.742 / Virus Database: 495 - Release Date:
8/19/2004
 


___________________________________________________
Kirim e-mail:   [EMAIL PROTECTED]
Setting: http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong


Yahoo! Groups Sponsor  ADVERTISEMENT
 

---------------------------------
Yahoo! Groups Links

   To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong/
 
   To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
 
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo!
Terms of Service.




                
__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Address AutoComplete - You start. We finish.
http://promotions.yahoo.com/new_mail 



___________________________________________________
Kirim e-mail:   [EMAIL PROTECTED]
Setting: http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong 
Yahoo! Groups Links



 


---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.742 / Virus Database: 495 - Release Date: 8/19/2004
 



___________________________________________________
Kirim e-mail:   [EMAIL PROTECTED]
Setting: http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong 
Yahoo! Groups Links



 




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/vbOolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

___________________________________________________
Kirim e-mail:   [EMAIL PROTECTED]
Setting: http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/bumi-serpong/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke