http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/05/0901.htm


     
      "Naur" Karbon Dioksida
      Oleh OTTO SOEMARWOTO 

      NAUR adalah istilah bahasa Sunda untuk membayar utang. Naur CO2 saya 
gunakan sebagai padanan istilah bahasa Inggris CO2 offset dalam isu pemanasan 
global dan perubahan iklim (PGPI) yang tahun ini menjadi tema Hari Lingkungan 
Hidup Sedunia. Pemanasan global terjadi karena efek rumah kaca (ERK) gas rumah 
kaca (GRK). Salah satu GRK utama ialah CO2. 

      Contoh ERK yang sering kita alami ialah pada mobil yang diparkir di 
tempat yang panas. Suhu badan mobil yang terkena sinar matahari naik dan 
merembet ke dalam mobil. Sinar matahari menembus kaca jendela mobil. Interior 
mobil pun suhunya naik. Energi sinar matahari berubah menjadi energi bahang 
(heat) dan dipancarkan dalam bentuk sinar inframerah dari benda yang panas. 
Sinar ini tidak dapat menembus kaca jendela mobil. Energi bahang terperangkap 
di dalam mobil. Suhunya naik. Jika kita masuk, kita kepanasan. Itulah ERK. 
Jendela kita buka untuk mengeluarkan bahang dan AC kita nyalakan.

      Hal serupa kita dapatkan pada bumi. Sinar matahari menyinari permukaan 
bumi dan menjadi panas. Energi bahang dipancarkan oleh permukaan bumi kembali 
ke atmosfer. Sinar ini terperangkap oleh GRK yang ada di dalam atmosfer. 
Terjadilah ERK dan pemanasan global. GRK bekerja seperti kaca jendela mobil. 
Makin tinggi kadar GRK, antara lain CO2, makin tinggi intensitas ERK dan makin 
tinggi suhu pemanasan global. Pemanasan global adalah baik. Tanpa pemanasan 
global suhu rata-rata permukaan bumi hanyalah -18 derajat Celsius, terlalu 
dingin bagi kita. Namun, jika terlalu banyak, membahayakan. 

      Es abadi di Arktika, Antartika, Pegunungan Alp, Andes, Kilimanjaro, 
Himalaya, dan Papua meleleh. Es abadi di Papua tinggal di Puncak Jaya dan terus 
menyusut. Penyusutan itu bukan karena kegiatan PT Freeport Indonesia, melainkan 
oleh pemanasan global. Karena melelehnya es abadi, berubahlah arus laut. 
Kenaikan suhu, melelehnya es abadi, dan perubahan arus laut mengubah pola 
iklim. Ada bagian bumi yang curah hujannya berkurang, ada pula yang bertambah. 

      Sebuah skenario menyebutkan Indonesia akan mengalami kenaikan curah 
hujan. Karena negara kita telah mengalami deforestasi yang parah dan 
pembangunan yang tidak ramah lingkungan hidup, kenaikan curah hujan akan 
meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir, makin banyak tanah longsor dan 
makin tinggi erosi. 

      Kenaikan suhu atmosfer dan air laut berarti naiknya kandungan energi 
dalam atmosfer dan air laut. Kandungan uap air dalam atmosfer naik pula. Maka 
naiklah intensitas dan frekuensi badai. New Orleans diporakporandakan badai 
Katrina. Cina dan India digenangi banjir dahsyat. Bangladesh dihantam badai 
taufan. Jakarta dalam waktu lima tahun mengalami dua kali banjir besar. 

      Dengan naiknya suhu, air laut memuai. Volumenya naik. Melelehnya es abadi 
juga menambah volume air laut. Maka naiklah permukaan laut. Jika kenaikan suhu 
lebih tinggi lagi, es abadi Antartika Barat yang volumenya sangat besar dapat 
runtuh dan masuk ke laut. Jika ini terjadi, permukaan laut naik 7 m. Indonesia 
dengan 81.000 km panjang pantai akan sangat menderita. Ratusan ribu hektare 
tambak akan rusak dan hilang. 

      Ribuan pulau kecil terdepan kita akan tenggelam sehingga wilayah 
kedaulatan kita dan zona ekonomi eksklusif kita akan menyusut. Infrastruktur di 
pantai, seperti dermaga, jalan dan hotel, akan rusak. Ancaman banjir untuk 
Jakarta dan kota-kota pantai lainnya yang sebagian wilayahnya terletak di bawah 
permukaan laut terus meningkat. Apalagi karena bersama kenaikan permukaan laut 
terjadi pula keamblesan tanah.

      Kenaikan suhu memacu pertumbuhan organisme pembawa penyakit sehingga 
kejadian luar biasa demam berdarah dengue (KLB DBD), chikungunya dan muntah 
berak akan makin sering terjadi. Hal yang serupa terjadi pada hama dan penyakit 
tanaman dan ternak. Kerugiannya meningkat, sementara biaya untuk 
menanggulanginya naik. Petani kita yang sebagian besar miskin, makin menderita.

      Karena dampak begitu luas dan dahsyat kita harus bersama-sama berusaha 
menanggulanginya. Membiarkannya akan membuat PGPI makin lama makin parah. Kita 
telah ikut berutang kepada alam dengan membebani atmosfer bumi dengan CO2 tanpa 
membayar. Utang itu harus kita bayar. Kita naur CO2 dengan mengurangi CO2 dalam 
atmosfer dan mengurangi emisi CO2 kita. Kita mulai naur CO2 dengan cara yang 
mudah dan murah yang bahkan menguntungkan kita. 

      Tumbuhan hijau melakukan fotosintesis yang menyerap CO2 dan menyimpannya 
sebagai biomassa tubuhnya. Agar efeknya berjangka panjang, kita tanam tanaman 
tahunan (perennial). Jika halaman kita sempit, kita tanam dalam pot, misalnya 
ros dan azalea. Jika agak lebar, kita tanam semak, misalnya nangka belanda dan 
nusa indah. Untuk pagar kita tidak gunakan tembok, melainkan kita tanam 
teh-tehan. Jika halaman lebar, kita tanam pohon besar, misalnya nangka dan 
durian. 

      Jika rata-rata per halaman dapat mengikat 1 kg karbon, per sejuta halaman 
dapat mengikat sejuta kg atau 1000 ton karbon. Tampaklah pentingnya usaha 
bersama agar terjadi efek sedikit-sedikit menjadi bukit. Penghijauan dan 
reboisasi yang dilakukan pemerintah penting, tetapi tidak dapat diandalkan. 
Jutaan pohon telah ditanam, tetapi lahan kritis di dalam dan di luar hutan 
terus bertambah.

      Naur CO2 dengan mengurangi emisi CO2 sebenarnya bukanlah membayar utang, 
melainkan sekadar mengurangi bertambahnya utang kita. Namun cara ini pun 
penting. Yang termudah ialah mengubah kebiasaan hidup kita dalam penggunaan 
listrik. Sebagian besar listrik kita dibangkitkan dengan pembangkit listrik 
tenaga uap (PLTU) dengan membakar bahan bakar minyak (BBM). Pembakaran 
menghasilkan CO2. Makin banyak kita menggunakan listrik, makin banyak CO2 yang 
dihasilkan. 

      Dengan menghemat penggunaan listrik kita dapat mengurangi emisi CO2. 
Banyak caranya. Teknologi modern membuat kita malas. Kita mematikan dan 
menyalakan TV dengan (remote) sambil duduk. Waktu dimatikan, TV dalam keadaan 
standby yang menggunakan listrik 5 watt atau lebih. Jika TV dinyalakan 10 jam 
sehari, berarti listrik mubazir 14 jam x 5 watt = 70 watthour/hari. Sebulan 
yang mubazir 2,1 kilowatthour (kwh)/bulan. Per sejuta TV yang mubazir adalah 
2,1 juta kwh/bulan. Nah, kalau kita mau berjalan ke TV untuk mematikan dan 
menyalakan listrik, sebanyak itu listrik dapat dihemat. Emisi CO2 pun turun. 

      Kita pun beruntung karena anggaran rumah tangga untuk listrik dapat 
dihemat. Banyak cara lain untuk menghemat listrik. Misalnya, tidur dalam gelap, 
menggunakan lampu hemat energi, mengatur suhu AC pada 26 derajat Celsius 
bukannya 23:C dan menggunakan kipas angin, bukannya AC.

      Transpor memberi kesempatan kepada kita untuk mengurangi emisi CO2. Mari 
kita berjalan kaki untuk bepergian sampai 1 km dan naik sepeda untuk 5-10 km. 
Di Bandung pun kita dapat melaksanakannya untuk bepergian timur-barat dan 
selatan-utara sampai Jl. Siliwangi. Pemerintah harus mau membuat trotoar, jalur 
khusus untuk sepeda dan tempat penyeberangan yang aman dan nyaman. Udara 
menjadi lebih bersih, kita lebih sehat, produktivitas kita naik dan anggaran 
rumah tangga untuk BBM dan dokter berkurang. 

      Jika kita mau, banyak cara yang mudah dan murah yang dapat kita lakukan 
untuk naur CO2. Dengan melakukannya bersama-sama terjadilah efek 
sedikit-sedikit menjadi bukit. Ayo, holopis kuntul baris, seru Bung Karno.*** 

      Penulis, guru besar emeritus, pakar ekologi tinggal di Bandung
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke