http://hariansib.com/2007/06/05/arogansi-kekuasaan/
Arogansi Kekuasaan Juni 5th, 2007 Kekuasaan dimiliki seharusnya diabdikan untuk melayani kepentingan masyarakat banyak.Demikian yang disampaikan oleh para pemikir yang berbicara soal kekuasaan. Salah satu diantaranya adalah tersirat dari pemahaman Plato, Socrates, dan para pemikir kekuasaan jaman modern seperti Agustinus. Namun ternyata tidak seindah dari hasil pemikiran tersebutlah yang terjadi. Yang terjadi adalah pemelintiran kekuasaan sehingga hanya terbatas pada kekuasaan itu sendiri. Mereka yang memiliki kekuasaan justru menggunakan kekuasaannya untuk melembagakan kekuasaannya dan kemudian memperlebarnya meski dengan demikian berbagai kesewenangannya kemudian terjadi. Hal itu bisa kita lihat dari pelajaran bentrokan yang terjadi antara pasukan TNI-AL dengan masyarakat di Pasuruan. Mereka yang memiliki kekuasaan justru menggunakannya untuk melawan mereka yang tidak bersenjata. Malah mereka menggunakan kekuasaan itu untuk menakuti mereka yang sama sekali tidak punya kekuasaan. Perilaku yang sama ditunjukkan oleh aparat penegak hukum yang lain. Karena kekuasaan yang dimilikinya, objek perkara, kasus hukum atau masalah lain bisa diatur dan dikendalikan. Semuanya merupakan wujud nyata dari arogansi kekuasaan. Ada adagium yang menyatakan bahwa kekuasaan memang cenderung korup. Pernyataan yang benar sepanjang masa itu bisa menjelaskan mengapa di negeri ini mereka yang punya kekuasaan meski amat sedikit, sudah memiliki sikap dan perilaku yang arogan bahkan cenderung pongah. Kekuasaan menyediakan berbagai privillage. Di masa kolonialisme, kekuasaan yang dimiliki menjadi alat untuk menyenangkan diri dan penguasa yang lebih tinggi. Mereka yang bahkan dari struktur kekuasaan jaman itu memegang hanya jabatan yang paling kecil sekalipun, bahkan tampaknya lebih berkuasa dibandingkan mereka yang berada di sebelah atas. Daniel Dhakidae dalam bukunya mengenai Orde Baru pernah menyatakan bahwa sistem inilah yang kemudian dilestarikan oleh penguasa Orde Baru. Kekuasaan diberikan kepada beberapa orang dan didistribusikan kepada mereka sehingga satu sama lain tidak mengambil kekuasaan daaari yang lain. Korbannya, masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi objek dan lahan perebutan kekuasaan di antara elit yang mengabdikan diri kepada penguasa kala itu. Kini ketika jaman sudah berubah dan kekuasaan sudah berganti, era raja-raja dan otoritarianisme Orde Baru juga sudah berganti wajah, perilaku kekuasaan sudah kadung melekat amat arogan. Terbawa-bawa oleh perilaku masa lalu, mereka yang memiliki sedikit saja kekuasaan pun sudah menyangka bahwa mereka bisa mengendalikan kehidupan yang lebih luas termasuk mengharu-birukan kehidupan masyarakat biasa. Inilah yang bisa kita lihat kini. Perilaku birokrasi yang menggusur paksa rumah warga di kota besar adalah bagian dari hal itu. Aparat polisi yang mengawal kekuasaan pengadilan terhadap sebuah perkara yang salah alamat, juga kita saksikan di depan mata dan kepala kita. Bahkan karena kekuasaan itu pula maka mereka yang seharusnya bertanggung-jawab terhadap kejahatannya, justru bisa dengan seenak perutnya dibebaskan dari tahanan. Ada apa dengan negeri ini? Perlu perombakan kultural. Mengubah manusia Indonesia yang berperilaku arogan ini butuh perombakan struktural, politik, dan budaya pada saat yang bersamaan. Dan menurut kita, pintu masuk atas hal itu adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif bahwa kekuasaan adalah untuk melayani, bukan untuk dilayani (***) [Non-text portions of this message have been removed]