SOLO POS
Rabu, 06 Juni 2007


Penanganan insiden Pasuruan
Jadikan pelajaran & kawal prosesnya! 


Insiden Pasuruan berupa bentrokan antara warga dengan personel Marinir TNI-AL 
menimbulkan keprihatinan semua pihak. Insiden ini menambah daftar kasus 
bentrokan antara warga sipil dengan aparat militer di negeri ini, khususnya 
yang sampai menimbulkan korban jiwa. 

Beberapa kasus yang menonjol di antaranya insiden Tanjung Priok, insiden 
Talangsari dan insiden Pemakaman Santa Cruz, Dili. Berkait dengan insiden 
Pasuruan, banyak referensi yang bisa diambil dari kasus-kasus yang pernah 
terjadi sebelumnya, khususnya dalam hal pelaksanaan penyidikan dan penyelesaian 
kasusnya.

Kasus ini memang sensitif, apalagi di masa sekarang ketika berbagai hal yang 
keliru atau tidak pada tempatnya bisa begitu gampang dijadikan sorotan. Seperti 
terlihat pada beberapa hari terakhir, perhatian berbagai pihak dalam kasus ini 
sangat besar. Kalangan politisi dan anggota parlemen tampak bergerak cepat 
turun ke lapangan dan mengeluarkan berbagai pernyataan. Para tokoh dari 
berbagai latar belakang juga beramai-ramai mengeluarkan komentar bernada 
kecaman.

Secara positif, perhatian besar itu bisa menjadi pemacu bagi aparat penyidik, 
dalam hal ini Polisi Militer TNI-AL, untuk melakukan tugas secara profesional 
dan penuh kecermatan. Namun ada pula sisi negatif yang harus dicermati yakni 
kemungkinan dijadikannya insiden ini sebagai "bahan bakar" politik untuk 
menggoyang pemerintah. Indikasi-indikasi seperti itu selama ini sudah bisa 
dilihat dalam berbagai masalah. 

Bukan berarti kita harus menutup mata terhadap berbagai masalah yang ada. 
Kritisisme terhadap berbagai permasalahan itu memang harus terus dibangun 
sebagai wujud peran serta dan kepedulian masyarakat yang demokratis. Hanya, 
jangan sampai dalih demokratisme itu menimbulkan "kemabukan" di mana atas nama 
demokrasi segalanya lantas ditarik ke dalam ranah politik di mana para politisi 
beramai-ramai mengatasnamakan diri mereka sebagai pembawa suara rakyat.

Kembali ke masalah insiden Pasuruan, permasalahan ini tidak bisa selesai hanya 
dengan panasnya tuntutan agar para perwira tinggi militer seperti KSAL, 
Komandan Korps Marinir atau bahkan Panglima TNI mundur. Apalagi ketika kasus 
ini dikaitkan dengan pemerintahan yang sekarang secara keseluruhan. Insiden ini 
seolah memberikan momen yang tepat bagi sementara pihak untuk kembali mengoyak 
luka yang sudah diderita pemerintah selama ini akibat berbagai permasalahan 
yang muncul dan belum terselesaikan.

Harus cermat

Dalam menangani insiden ini pihak berwenang harus mencermati berbagai segi di 
dalamnya. Tentu harus dilihat bagaimana rules of engagement atau prosedur di 
lapangan ketika terjadi kondisi tertentu yang memerlukan tindakan militer. 
Apakah benar personel Marinir yang terlibat dalam kejadian ini mengalami 
kondisi yang sangat menekan dan mengancam jiwa sehingga mereka harus melepaskan 
tembakan? Apakah benar tembakan yang dilepaskan itu sengaja diarahkan ke tubuh 
warga atau seperti yang sementara ini disampaikan pihak TNI-AL, merupakan 
tembakan ke arah bawah yang kemudian memantul? 

Pihak berwenang harus bisa dengan cepat memeriksa kondisi yang sebenarnya untuk 
menjamin bahwa bukti-bukti yang ada di lapangan benar-benar "segar" dan belum 
tercemarkan. Dengan demikian obyektivitas dalam penanganan dan penyelesaian 
kasus ini bisa dijamin. Yang patut dikhawatirkan adalah jika opini yang terus 
berkembang di kalangan umum, khususnya yang disebarkan para tokoh yang merasa 
mengerti dan bersimpati pada kasus ini justru mengaburkan situasi sebenarnya. 

Memang benar ada warga sipil yang menjadi korban dalam insiden ini. Namun bukan 
berarti warga tersebut jadi sepenuhnya benar dan pihak militer dalam hal ini 
TNI-AL dan Marinir sepenuhnya salah atau juga sebaliknya. Sikap menilai secara 
hitam putih di mana ada pihak yang harus bersalah dan pihak lain yang sangat 
benar dan suci dalam suatu kasus seperti biasa terjadi selama ini harus 
ditinggalkan. Harus dirunut secara teliti situasi yang melingkupi kejadian yang 
ada. 

Faktor psikologis di antaranya harus menjadi salah satu fokus perhatian 
penyelidikan. Masalahnya, faktor ini sering luput dari perhatian karena memang 
tidak terlihat secara fisik. Jika memang benar masyarakat setempat yang 
terlebih dahulu memancing terjadi bentrokan, apa yang membuat mereka melakukan 
itu? Apakah itu inisiatif mereka sendiri atau apakah ada aktor intelektualnya 
dan apakah ada kejadian-kejadian di masa lalu yang menimbulkan dendam? 

Sebaliknya, jika benar klaim bahwa para oknum personel Marinir itu yang 
melakukan penyerangan dan penembakan terhadap warga, apa yang memicu mereka 
melakukannya? Apakah karena ada komando dari tingkat atas yang memerintahkan 
hal itu?

Yang tidak kalah pentingnya adalah pengamanan terhadap para oknum Marinir yang 
menjadi tersangka dan kalangan saksi terutama dari warga setempat. Pengamanan 
ini diperlukan agar kedua unsur penting ini benar-benar bisa memberikan 
keterangan obyektif saat berlangsung pengusutan dan proses peradilan nantinya. 
Mereka harus dijaga agar tidak terpengaruh oleh pihak-pihak tertentu yang 
mungkin mencoba mengambil keuntungan dari perkara ini atau kemungkinan 
intimidasi dalam rangka pengarahan proses peradilan ke dalam skenario tertentu. 

Reposisi & reformasi

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari insiden ini. Bagi pihak TNI dan 
jajarannya, insiden ini harus bisa menjadi pemicu bagi mereka untuk bekerja 
lebih keras dalam mewujudkan citra TNI yang profesional. Jajaran TNI harus bisa 
membuktikan bahwa kerja keras melakukan reposisi dan reformasi yang sudah 
diprogramkan selama ini bukan omong kosong. Isu pelanggaran HAM sudah sejak 
lama merugikan TNI sendiri karena memunculkan citra negatif dan berbagai 
halangan dalam hubungan dengan luar negeri seperti dengan adanya embargo 
persenjataan dan suku cadang untuk alat utama sistem senjata (Alutsista) 
mereka. 

Di sisi lain, konflik yang terjadi akibat sengketa tanah kembali mengingatkan 
besarnya pekerjaan rumah bidang hukum, khususnya hukum agraria. Surat tanah 
atau sertifikat ternyata belum menjadi jaminan sahnya kepemilikan atas tanah. 
Selain upaya pembenahan administrasi di tingkat kelembagaan, sosialisasi 
peraturan pertanahan juga harus makin ditingkatkan di masyarakat, disertai 
penegakan hukum pertanahan. 
Masalahnya, sejak bermulanya era reformasi pascapergantian rezim dari Orde 
Baru, makin terasa kesan bahwa sebagian masyarakat menganggap bahwa aturan 
hukum sama dengan produk Orde Baru yang harus disingkirkan dan tak perlu 
dipatuhi lagi. Maraklah penjarahan hutan dan penguasaan lahan secara sepihak. 
Ketika hal ini dicoba dibenahi, ada saja oknum masyarakat yang menolak dengan 
dalih keterdesakan ekonomi. Para oknum masyarakat seperti ini bahkan seolah 
melakukan fait accompli agar status quo yang terjadi diakui dan akhirnya mereka 
mendapatkan pengganti kerugian meski semua berakar dari kesalahan dan 
pelanggaran hukum yang mereka lakukan (dan sayangnya juga tidak ditindak sedari 
awal oleh pemerintah dan jajaran aparaturnya yang berwenang). 

Ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi tidak bisa diterapkan secara membabi buta 
apabila dikaitkan dengan pelanggaran hukum. Karenanya, sebelum Insiden Pasuruan 
ini tidak terulang lagi di tempat lain atau menjadi bom waktu di lokasi yang 
sama di masa mendatang, semua pihak harus mengawal proses penanganan yang 
dilakukan secara resmi saat ini, baik oleh pihak TNI-AL maupun Komnas HAM. 
Pihak TNI tentu juga harus memastikan bahwa jaminan keterbukaan dalam 
penanganan kasus ini benar-benar terjaga untuk menunjukkan bahwa upaya untuk 
berubah itu benar-benar menjadi komitmen semua jajarannya. Di sisi lain, 
pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi atau pun kabupaten tidak bisa lepas 
tangan dari kasus ini karena hal ini menyangkut warga mereka juga. - R Bambang 
Aris Sasangka, Wartawan SOLOPOS

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to