* Kejagung: Tuntutan Pidana Soeharto Sudah Tertutup

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/06/19/index.html
 SUARA PEMBARUAN DAILY 
 
[JAKARTA] Tuntutan sebagian masyarakat Indonesia agar Kejaksaan Agung
(Kejagung) menuntut mantan Presiden Soeharto secara pidana, terkait 
masalah dugaan korupsi atas tujuh yayasan, tidak mungkin bisa 
dilakukan Kejagung. Pasalnya, Soeharto mengalami sakit permanen. 
"Atas dasar itulah Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) untuk Soeharto pada 
tahun 2006. Jadi, Soeharto dituntut secara pidana sudah tertutup," 
kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya 
Rahman kepada wartawan di Kejagung, Senin (18/6). 

Kemas mengatakan yang dilakukan Kejagung untuk Soeharto adalah 
menuntutnya secara perdata. Kemas tidak sependapat dengan pandangan 
sejumlah pihak bahwa Kejagung akan mengalami kesulitan menuntut 
Soeharto secara perdata terkait dugaan korupsi yang dilakukannya, 
karena Soeharto belum terbukti bersalah secara pidana. 
"Perdata dan pidana merupakan dua hal yang berbeda. Jadi tidak ada
hubungannya. Kita optimistis bisa membuktikannya nanti di 
pengadilan," kata Kemas yang saat itu didampingi oleh Kepala Pusat 
Penerangan Hukum Kejagung, Salman Maryadi. 

Sebagaimana diberitakan, Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta, 
Hermawanto, menyerukan, Jaksa Agung Hendarman Supandji harus 
mencabut SKP3 untuk Soeharto yang dikeluarkan Abdul Rahman Saleh 
(Jaksa Agung terdahulu) pada 2006. Sebab, kalau SKP3 itu tidak 
dicabut, maka akan menyulitkan Kejagung untuk menggugat Soeharto 
secara perdata. "Gugatan perdata kan intinya gugatan terhadap 
seseorang yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum.
Nah, bagaimana Kejagung membuktikan Soeharto melakukan perbuatan 
melawan hukum kalau tidak pernah dibuktikan secara pidana?" 
tanyanya. 

Senada dengannya anggota Komisi III DPR, Benny K Harman mengatakan 
Kejagung berencana menggugat mantan Presiden Soeharto secara perdata 
terkait dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto, hanya akal-akalan 
saja. Sebab, untuk memastikan apakah Soeharto melakukan korupsi 
harus dibuktikan secara pidana di pengadilan. "Saya pikir, Kejagung 
berencana menggugat Soeharto secara perdata hanya untuk mengelabui 
masyarakat saja, seolah-seolah Kejagung serius mengusut kasus 
korupsi yang dilakukan Soeharto," kata Benny (SP,18/6)
 
Siap 
Sementara itu, Salman Maryadi menambahkan, Kejagung siap mendaftarkan
gugatan perdata terhadap Soeharto ke pengadilan. "Jaksa Agung telah
memberikan batas waktu kepada kami agar mendaftarkan gugatan untuk 
Soeharto sebelum 22 Juli 2007," kata dia. 
Salman mengatakan, gugatan perdata terhadap Soeharto terkait 
pengelolaan yayasan miliknya, yakni Yayasan Supersemar, yang diduga 
penggunaan keuangannya banyak menyimpang. 

Pada tahun 2000, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muchtar Arifin SH mendakwa
Soeharto melakukan korupsi di tujuh yayasan dengan total kerugian 
negara Rp 1,7 triliun dan US$ 419 juta. Ketujuh yayasan yang pernah 
diketuai Soeharto tersebut adalah Supersemar, Dana Sejahtera 
Mandiri, Trikora, Dharmais, Dana Abadi Karya Bakti (Dakab), Amal 
Bhakti Muslim Pancasila, dan Gotong Royong Kemanusiaan. [E-8] 

Last modified: 19/6/07 
=======================================

SUARA PEMBARUAN DAILY, Last modified: 18/6/07

* Kejagung Diminta Cabut SKP3 untuk Soeharto

[JAKARTA] Jaksa Agung Hendarman Supandji diminta mencabut Surat 
Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) untuk mantan 
Presiden Soeharto yang dikeluarkan Abdul Rahman Saleh (Jaksa Agung 
terdahulu) pada 2006. Sebab, kalau SKP3 itu tidak dicabut, maka akan 
menyulitkan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menggugat Soeharto 
secara perdata.

"Gugatan perdata kan intinya gugatan terhadap seseorang diduga 
melakukan perbuatan melawan hukum. Nah, bagaimana Kejagung 
membuktikan Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum kalau tidak 
pernah dibuktikan secara pidana?" tanya Kepala Divisi Advokasi LBH 
Jakarta, Hermawanto ketika dihubungi SP Senin (18/6).

Hermawanto mengatakan seperti itu sehubungan dengan rencana Kejagung 
untuk menggugat Soeharto secara perdata terkait dugaan perbuatan 
melawan hukum yang dilakukan Soeharto dalam mengelola Yayasan 
Supersemar.

Hermawanto menduga Kejagung yang berencana menggugat Soeharto secara 
perdata tanpa dibarengi dengan gugatan pidana, merupakan tipuan 
Kejagung terhadap tuntutan masyarakat bahwa Soeharto harus diseret 
ke depan hukum terkait dugaan banyaknya uang negara yang 
disalahgunakan.

Senada dengannya, anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan 
Kejagung berencana menggugat mantan Presiden Soeharto secara perdata 
terkait dugaan korupsi yang dilakukannya, hanya akal-akalan saja. 
Sebab, untuk memastikan apakah Soeharto melakukan korupsi harus 
dibuktikan secara pidana di pengadilan. "Saya piker Kejagung 
berencana menggugat Soeharto secara perdata hanya untuk mengelabui 
masyarakat saja, seolah-seolah Kejagung serius 
mengusut kasus korupsi yang dilakukan Soeharto," kata Benny.

Menurutnya, kalau Kejagung serius mengusut dugaan korupsi Soeharto, 
yang bersangkutan harus diperiksa secara pidana. "Kalau Kejagung 
serius, mudah sekali membuktikan kasus korupsi yang dilakukan 
Soeharto. Tapi, saya pikir, Kejagung tidak mungkin berani melakukan 
ini. Kejagung akan terus membohongi masyarakat," kata Benny.

Kurang Progresif

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 
Patra M Zen mengatakan langkah Kejagung menggugat Soeharto secara 
perdata kurang progresif. Yang lebih progresif, kata Patra, adalah 
negara dalam hal ini, Kejagung, segera menyita semua harta Soeharto 
dan kemudian memberi kesempatan kepada Soeharto untuk membuktikan 
semua itu bukan milik negara. "Saya pikir negara sudah mempunyai 
bukti yang cukup bahwa harta yang dimiliki Soeharto hasil korupsi. 
Oleh karena itu segera disita saja," kata dia.

Terkait hal itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), 
Kejagung Salman Maryadi mengatakan kepada SP, Senin (18/6), Kejagung 
tengah siap mendaftarkan gugatan perdata terhadap Soeharto ke 
pengadilan. "Jaksa Agung telah memberikan batas waktu kepada kami 
agar mendaftarkan gugatan untuk Soeharto sebelum 22 Juli 2007," kata 
dia.

Salman mengatakan gugatan perdata terhadap Soeharto terkait 
pengelolaan yayasan miliknya, yakni Yayasan Supersemar yang diduga 
keuangannya banyak menyimpang.

Berdasarkan catatan SP, pada tahun 2000, Jaksa Penuntut Umum (JPU), 
Muchtar Arifin SH mendakwa Soeharto melakukan korupsi tujuh yayasan 
dengan total kerugian negara Rp 1,7 triliun dan US$ 419 juta. Tujuh 
yayasan yang pernah diketuai Soeharto tersebut adalah Supersemar, 
Dana Sejahtera Mandiri, Trikora, Dharmais, Dana Abadi Karya Bakti 
(Dakab), Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Gotong Royong Kemanusiaan.

Sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili Soeharto waktu itu 
terhenti karena Soeharto mengalami gangguan kesehatan (fisik). 
Selanjutnya Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat bahwa Soeharto 
mengalami sakit permanen, sehingga tidak bisa diperiksa terkait 
dugaan korupsi yang dilakukannya. Surat MA itulah yang menjadi salah 
satu alasan bagi Jaksa Agung Abdul Rahman 
Saleh mengeluarkan SKP3 untuk Soeharto. [E-8]
==================================================
Bukti Kasus  Soeharto Lengkap  & Kejagung Diminta Cabut SKP3 untuk 
Soeharto
---
http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=290644
Selasa, 19 Juni 2007,

* Prajogo Pangestu Juga Dititipi Dokumen Asli Kasus Soeharto

Gugatan Kasus Soeharto
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan dokumen-dokumen asli
yang akan dijadikan alat bukti kasus korupsi mantan Presiden Soeharto
masih tersimpan baik. Saat ini, sebagian dokumen itu disimpan pemilik
perusahaan peminjam uang dari yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto.

"Semuanya (dokumen) masih ada dan dititipkan agar tidak hilang," kata
Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya
Rahman di gedung Kejagung kemarin. Kemas didampingi Kapuspenkum
Kejagung Salman Maryadi.

Menurut Kemas, dokumen-dokumen asli dititipkan kepada masing-masing
pengelola yayasan milik Soeharto. Sebagian lagi diserahkan kepada
pihak-pihak yang diduga terkait kasus Soeharto. "Kami memfotokopi dan
melegalisasinya," kata Kemas. Proses penitipan dokumen-dokumen asli
itu disertai pembuatan berita acara penitipan yang ditandatangani
pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Kemas lantas mencontohkan bentuk surat berita acara penitipan ke
Yayasan Supersemar. Dalam berita acara tersebut, surat bukti asli
dititipkan atas nama Saborono Slamet.

Sedangkan Salman mencontohkan berita acara penitipan dokumen asli
bukti pinjaman bos Grup Barito Prajogo Pangestu ke Yayasan Dakab Rp 
40
miliar. Dokumen tersebut dititipkan kepada Prajogo di kantornya, 
Wisma
Barito Pacific, Slipi, Jakarta Barat. "Ini salah satu contoh," kata
Salman sambil memperlihatkan berita acara penitipan itu kepada
wartawan.

Baik Salman maupun Kemas menjamin, dokumen asli tersebut masih
tersimpan dengan baik. Sebab, jika ada indikasi kesengajaan
menghilangkan, yang dititipi dapat dimintai pertanggungjawaban.

"Secara hukum, itu dapat dijamin. Dan, misalnya, (dokumen asli) itu
hilang, maka kami dapat menuntut pihak yang kita titipi dengan 
tuduhan
menghilangkan alat bukti," beber Kemas.

Menurut dia, kejaksaan sengaja menitipkan dokumen-dokumen asli karena
dikhawatirkan hilang. "Kami tak mau mengambil risiko sehingga
dititipkan ke pihak-pihak tertentu. Apalagi, dokumen-dokumen tersebut
jumlahnya sangat banyak," kata mantan kepala Kejati Jambi itu. 
Langkah
kejaksaan menitipkan tersebut sesuai dengan prosedur penitipan
dokumen, mengingat hal itu diatur dalam perundang-undangan.

Kemas menegaskan, kejaksaan masih menyimpan dokumen-dokumen 
fotokopian
hasil legalisasi terkait kasus Soeharto. "Kapan pun siap diajukan ke
persidangan," jelas Kemas. Jumlah dokumen fotokopian cukup banyak. 
Dia
mengilustrasikan, jika disimpan di sebuah ruangan, dokumen tersebut
akan membutuhkan ruangan seluas sekitar 5 x10 meter persegi.

Ditanya kapan berkas didaftarkan ke PN Jakarta Selatan, Kemas
menjawab, akan dilaksanakan bulan depan. "Mudah-mudahan segera
didaftarkan," ujar jaksa senior yang pernah menjabat Kapuspenkum itu.

Sebelumnya, JAM Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Alex Sato Bya
mengaku terkejut begitu mendapati alat bukti kasus Soeharto yang
tersimpan pada sembilan filling cabinet merupakan dokumen fotokopian.
Dia tidak tahu apakah dokumen aslinya hilang atau sengaja 
dihilangkan.
Nah, kejaksaan kini berupaya mendapatkan dokumen-dokumen asli sebagai
materi gugatan kasus
Soeharto. (agm)
=======================================
SUARA MERDEKA, Selasa, 19 Juni 2007 NASIONAL

    * Bukti Kasus Yayasan Soeharto Lengkap

     JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan alat bukti surat
gugatan terhadap Yayasan Soeharto telah lengkap. Karenanya,
simpangsiur pemberitaan tentang ada tidaknya surat bukti, tidak 
benar.

     "Simpangsiur pemberitaan media selama ini mengenai keberadaan
surat bukti-bukti yayasan HMS (Haji Muhammad Soeharto-red), hari ini
saya luruskan. Surat bukti tersebut yang akan digunakan sebagai bukti
gugatan tidak hilang," kata Sekretaris Jaksa Muda Pidana Khusus
(Sesjampidsus) Kejagung, Kemas Yahya Rahman, Senin (18/6).

     Kejagung, tambahnya, menyimpan fotokopi surat bukti yayasan yang
telah dilegasisasi. Sekarang fotokopi tersebut disimpan di Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan.

     Sementara surat-surat aslinya dititipkan kepada yayasan-yayasan
yang bersangkutan. Sebagai bukti penitipan, Kejagung menerima bukti
berita acara penitipan.

     Surat bukti yang asli itu dapat diminta sewaktu-waktu oleh
Kejagung untuk keperluan hukum. Secara hukum, prosedur demikian
dibenarkan dan sudah lazim dilakukan.

     Jangan Khawatir

     Dia menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir, bila surat
tersebut hilang, karena yayasan itu bisa dikenai tuduhan penghilangan
barang bukti.

     "Surat bukti dititipkan karena jumlahnya yang terlalu banyak.
Kalau dikumpulkan bisa sampai memenuhi setengah gedung ini," ujarnya.

     Kemas menjelaskan, Jaksa Agung Hendarman Supandji memerintahkan
kepada jajarannya meneliti ulang semua dokumen barang bukti.

     Awal bulan Juli mendatang, diharapkan bukti-bukti tersebut sudah
dibawa ke pengadilan.

     Dia menunjukkan beberapa bukti berita acara penitipan barang
bukti. Salah satunya adalah bukti berita acara penitipan dari Yayasan
Supersemar. Bukti asli dititipkan kepada salah satu pengurus yayasan
tersebut, Sabarano Slamet.

     Bukti berita acara penitipan lainnya berasal dari Yayasan
Dhakab. Menariknya, dalam bukti berita tersebut, terdapat nama
pengusaha Prayogo Pangestu.

     PT Barito Pasific milik Prayogo, kata dia, meminjam uang kepada
Yayasan Dhakab sebesar Rp 40 miliar. Menurut Kemas, semua yang
tercantum di bukti berita akan diperiksa Kejagung.(J21-49)
=====================================================
http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=290507
Senin, 18 Juni 2007,
Nilai Gugatan Kasus Tommy Rp 3 Triliun


Korupsi Dana KLBI di BPPC
JAKARTA - Nilai gugatan terhadap Tommy Soeharto dalam kasus dugaan 
korupsi kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) mencapai Rp 3 
triliun. Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyiapkan draf gugatan 
penggunaan uang negara yang dimanfaatkan Tommy untuk membiayai Badan 
Penyangga dan Pemasaran Cengkih 
(BPPC) itu.

"Nilai gugatan tersebut merupakan nilai minimal," kata Direktur 
Perdata JAM Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejagung Yoseph 
Suardi Sabda kepada koran ini di Jakarta kemarin.

Dia menyatakan, nilai gugatan itu didasarkan pada taksiran kerugian 
negara dalam kasus BPPC. Selain dana KLBI Rp 175 miliar, Tommy 
selaku ketua umum BPPC diduga menyalahgunakan uang petani serta 
rekanan bernilai triliunan rupiah. Hal itu terkait dengan penyertaan 
modal (DPM) koperasi unit desa (KUD) dan ribuan petani cengkih yang 
ditengarai tidak jelas pertanggungjawabannya.

"Sesuai ketentuan, dana-dana tersebut harus dikembalikan ke petani. 
Tapi, sejauh ini, BPPC tidak pernah melaporkan pengembalian dana 
tersebut ke Depkeu," tegas jaksa senior itu.

Operasional BPPC diatur secara detail dalam Keputusan Presiden 
(Keppres) No 20/1992 jo Inpres No 1/1992.

Yoseph menegaskan, nilai gugatan bisa bertambah. Sebab, kejaksaan 
bakal memasukkan potensi kerugian negara dari bunga, denda, serta 
kewajiban BPPC lain terhadap pemerintah.

Menurut dia, kejaksaan sedang menyiapkan penyusunan draf gugatan 
tersebut. Tim jaksa pengacara negara (JPN) menargetkan penyusunan 
draf selesai sebelum pertengahan Agustus. "Sebab, kami di-deadline 
22 Agustus harus sudah mendaftarkan gugatan ke pengadilan," ujar 
jaksa berkacamata tebal itu.

Draf gugatan harus dilaporkan ke pengadilan Guernsey, Inggris, pada 
22 Oktober. Selanjutnya, 22 November, pengadilan Guernsey menilai 
apakah gugatan tersebut memenuhi syarat untuk memperpanjang 
pembekuan sementara (temporary freezing order) atas uang Tommy di 
BNP Paribas EUR 36 juta (Rp 424 miliar).

Yoseph menyatakan, saat menyusun draf gugatan, tim JPN banyak 
mengutip hasil penyidikan kasus BPPC dari jaksa penyidik di bagian 
pidana khusus (pidsus). Sebagian hasil penyidikan memang telah 
diserahkan ke JPN. "Kami (JPN) bakal melihat kerugian negara dari 
aspek perdata," jelas jaksa eselon II tersebut.

Di tempat terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, 
kejaksaan optimistis bisa mendaftarkan gugatan kasus Tommy sebelum 
deadline yang ditetapkan pengadilan Guernsey. "Saat ini masih 
dipersiapkan," katanya. Tim JPN diminta bekerja keras selama tiga 
bulan penyiapan draf gugatan.

Saat ditanya soal kasus Tommy di luar BPPC yang menjadi objek 
gugatan, Hendarman menyatakan belum mendapat laporan. "Itu (kasus 
BPPC) yang termasuk," ujar mantan JAM Pidana Khusus tersebut.

Dia menambahkan, kejaksaan akan mengumumkan kasus yang digugat, jika 
berkasnya benar-benar siap didaftarkan ke pengadilan. (agm)
================


Kirim email ke