http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=139267

Senin, 25 Juni 2007


Sisi Susah Dua Perusahaan yang Sangat Sukses di TiongkokWahaha Berhenti Hahaha 
karena Partner Raksasa
Catatan: Dahlan Iskan

 
Tiongkok,-  Wahaha dalam bahasa Mandarin tidak ada artinya. Itu adalah suara 
anak-anak yang sedang tertawa terbahak-bahak. Kata itulah yang dipakai Zong 
Qinghou untuk merek minuman anak-anak, ketika pada 1980-an Zong mulai merintis 
usaha kecil-kecilan. 



ZONG tidak sampai tamat SMA, bekerja keras dan akhirnya berhasil. Rintisan 
usaha yang dia mulai di Hangzhou, 3 jam perjalanan mobil dari Shanghai itu, 
maju pesat. Bahkan amat pesat. Dari minuman rasa buah, usahanya berkembang ke 
air mineral, cola, makanan ringan, dan pakaian anak-anak. 

Zong memang bisa tertawa terbahak-bahak melihat semua itu. Apalagi ketika dia 
berhasil memproduksi cola yang akan dipersaingkan secara langsung dengan Coca 
Cola maupun Pepsi Cola. Zong menamakan colanya itu dengan Feichang Cola. 

Feichang, dalam bahasa Mandarin, berarti istimewa atau amat-sangat. Mungkin 
kalau dalam bahasa anak muda sekarang, Feichang Cola bisa kita terjemahkan 
menjadi ''cola banget''. Hurufnya dibuat sangat mirip Coca Cola. Warna merahnya 
juga serupa. Rasanya, kata penggemar, di antara Coca Cola dan Pepsi Cola. 
Pelan-pelan, terutama dimulai dari kota-kota kecil, Feichang Cola menggerogoti 
cola yang sebenarnya. 

Zong masih belum puas. Beberapa tahun kemudian, dia membikin kejutan dengan 
mengekspor Feichang Cola-nya ke New York! Ingin mengalahkan Coca Cola di 
kandangnya? ''Tidaklah. Saya tidak akan bisa mengalahkan Coca Cola. Tapi, saya 
akan coba membuktikan bahwa telur bisa memecahkan batu,'' katanya seperti mau 
bermain shaolin. 

Dia menyatakan itu di berbagai forum karena dia memang laris jadi pembicara 
seminar di mana-mana. Meski bukan sarjana, Zong kelihatannya memang cerdas. Dia 
bisa belajar cepat. Kemauannya pun lebih cepat langkahnya. Lihatlah hobinya: 
baca buku. Mulai jurnal bisnis, novel, sampai buku-buku klasik. 

Ide Zong memang terlalu banyak. Juga energinya. Dia tidak pernah tinggal lama 
di kantor. Terus jalan ke agen-agen. Dari satu kota ke kota lain. Tiongkok yang 
begitu luas, dia jelajahi. Dia kerja 16 jam sehari. Omzetnya, terakhir, bisa 
mencapai Rp 20 triliun. 

Keriangan Zong itu juga akan ditularkan ke Indonesia. Bulan depan, ada 
peresmian pabriknya di Indonesia. 

Zong pun masuk daftar orang terkaya di Tiongkok. Sejak ideologi ''komunisme 
tiga kaki'' diberlakukan, pengusaha seperti Zong diangkat menjadi anggota 
politbiro partai. Usahanya sukses. Langkah politiknya moncer. Wahaha 
benar-benar bukan lagi hanya suara anak-anak yang lagi tertawa-tawa, tapi juga 
suara hati Zong yang sedang riang gembira. 

Tertawa memang harus ada akhirnya. Paling tidak, harus ada berhentinya. Dan, 
Zong, tidak terkecuali, juga harus mengalaminya. Suasana riang-gembira seperti 
itu tiba-tiba tidak terdengar lagi sejak dua bulan lalu. Wahaha lagi prihatin 
berat. Zong lagi digugat oleh partnernya. Bukan sembarang partner. Ia adalah 
raksasa minuman dan makanan dari Prancis, Danone. (Di Indonesia, Danone 
mengambil alih Aqua). 

Ceritanya begini: delapan tahun lalu, ambisi dia untuk menguasai pasar makanan 
dan minuman tidak bisa distop. Padahal, ada kalanya, pertumbuhan perusahaan itu 
seperti pertumbuhan bayi. Lahir, bayi, kanak-kanak, remaja, lalu dewasa. Di 
setiap tahap itu biasanya mengalami sakit yang disebut ''growing pain''. Sakit 
untuk menuju besar. 

Di perusahaan pun demikian. Ketika perusahaan tumbuh cepat, ada masanya kena 
''sakit'': kadang modalnya tidak cukup, kadang tenaga manajernya kurang, dan 
kadang bagian pengawasan belum ada. Padahal, order kian banyak, kepercayaan 
konsumen kian tinggi. Kalau tidak dilayani, pesainglah yang akan memanfaatkan 
pasar itu. 

Untuk mengatasi ''sakit pertumbuhan'' seperti itu, kadang diperlukan suntikan 
modal baru. Tapi, kadang cukuplah kalau pemilik perusahaan memutuskan untuk 
berhenti melangkah dulu sesaat. Tarik napas dan susun kekuatan. Jangan lari 
terus. Napas bisa putus. 

Ketika Wahaha menderita growing pain seperti itu, Zong tidak mau memilih 
menghentikan ekspansinya sejenak. Dia memilih cari modal tambahan. Kalau harus 
berhenti sesaat, bisa-bisa ambisinya tidak akan cepat tercapai. Dia merasa 
ketika memulai usaha, umurnya sudah beranjak tua, 45 tahun. 

Maka, Zong lantas mengajak Danone berpartner. Raksasa dari Prancis tersebut 
setuju memompakan modal sekitar Rp 600 miliar dengan mendapatkan saham 51 
persen. Danone juga menempatkan dua direktur, meski menyerahkan jabatan 
chairman dan CEO-nya kepada Zong. 

Danone mengakui kehebatan Zong yang telah melahirkan dan membawa Wahaha ke 
tingkat yang begitu sukses serta mampu menguasai pasar Tiongkok. Danone 
memerlukan luasnya jaringan itu, yang kalau dia sendiri yang membuat mulai nol 
bisa-bisa tidak berhasil. Danone juga mengakui energi dan ide-ide Zong akan 
bisa terus membawa Wahaha ke langit. Dan, itu terbukti bahwa pada tahun-tahun 
berikutnya Wahaha masih terus meningkat lebih dari 30 persen setiap tahun. 

Tapi, akhir tahun lalu, Danone mulai menemukan ketidakberesan dalam pengelolaan 
keuangan. Danone berhasil melihat ada ''pipa misterius'' yang menghubungkan 
brankas di bagian keuangan Wahaha dengan brankas di perusahaan yang dia bangun 
lewat keluarganya secara terpisah. 

''Pipa'' melengkung itulah, menurut Danone, yang menyedot sebagian uang Wahaha 
untuk membesarkan perusahaan keluarga Zong. Danone belum mau menyebutkan jumlah 
tepatnya. Tapi, media Barat menyebutnya mencapai ratusan juta dolar. Begitu 
tingginya tingkat kerahasiaan pipa-pipa itu, sehingga secara akuntansi mungkin 
juga tidak akan bisa dibuktikan. 

Karena itu, rencana Danone menggugat Zong belum sampai ke tingkat penyelewengan 
keuangan tersebut. Yang dipersoalkan baru tuduhan pelanggaran atas perjanjian 
joint venture. Yakni, mengapa Zong dan keluarganya membangun usaha sendiri yang 
menggunakan jaringan pemasaran Wahaha. Sejak saat itu, mulailah suasana tidak 
nyaman. Terjadilah saling incar kelemahan sekaligus saling pasang kuda-kuda. 
Permainan kungfu Zong akan berhadapan dengan mirage Prancis. Dua bulan lalu, 
mirage itu mulai menembakkan roketnya dari Amerika ke arah Zong: Zong digugat 
di pengadilan California. 

Sebelum itu, Zong memainkan kungfunya. Dia justru menambah usaha-usaha sejenis 
dan dia juga memakai jalur distribusi serta keagenan yang memang punya hubungan 
emosional dengan Zong. Lalu, Zong juga memainkan kipas kertasnya: dia sebarkan 
surat panjang ke berbagai situs internet mengenai ketidakpuasannya terhadap 
perilaku Danone dan orang-orangnya di Wahaha. Dia mengungkapkan bahwa Danone 
telah mau enaknya saja menguasai Wahaha dengan sangat murah. 

Bahkan, ketika pekan lalu Danone akan mengadakan konferensi pers di Shanghai, 
sebuah demo buruh berlangsung di depan gedung yang mulai dipenuhi wartawan. 
Buruh pun, yang juga punya hubungan emosional dengan Zong, mendukung bosnya 
tersebut. Itu, antara lain, karena Zong memang sangat akrab dengan buruh. Dia 
sering mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinannya itu mengikuti gaya Mao Zedong. 
Mungkin benar. Mungkin juga itu hanya gaya Zong menyenangkan banyak orang. 

Sejauh ini, pemerintah tidak memperlihatkan memihak siapa. Tapi, semua orang 
memang berharap persoalan tersebut bisa diselesaikan sambil minum Wahaha dan 
sambil tertawa-tawa. Tidak perlu kungfu dan mirage. Mungkin lembaga arbitrase 
di Hangzhou akan bisa menyelesaikannya. Pers Barat tentu condong ke Danone. 
Pers lokal agak condong ke Zong. Pers Barat menyebut Zong sebagai bos yang 
mbeling. Pers lokal menyebut dia orang yang humble. 

Zong kini berumur 61 tahun. Orangnya memang supel luar biasa. Anaknya hanya 
satu (tentu!), wanita. Anaknya itulah yang banyak dia pakai untuk mendirikan 
usaha-usaha keluarga di luar yang dikongsikan dengan Danone.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke