http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/26/0902.htm

     
      Mengkritisi Amendemen UUD 1945
      Oleh T. SUBARSYAH, S.H., S.Sos., C.N. 

      UPAYA keras menggolkan perubahan (amendemen) kelima UUD 1945 yang 
digalang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR, sepertinya masih harus menahan 
napas, setelah komponen anggota MPR dari unsur DPR beramai-ramai menarik 
dukungannya. 

      Amendemen UUD 1945 itu bertujuan tidak lain untuk memperkuat DPD guna 
menjawab persoalan rakyat di daerah. Penguatan DPD sekaligus mengutuhkan Negara 
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena memberikan kesempatan setiap daerah 
untuk tumbuh dan berkembang secara dinamis melalaui perwakilannya di DPD.

      Memahami adanya kehendak kuat dari rakyat terhadap amendemen UU 1945, 
dibuktikan antara lain dengan munculnya dukungan gubernur, karena upaya 
tersebut dirasa sangat penting dan merupakan masalah fundamental yang memiliki 
implikasi luas, mengingat aspeknya bisa menjadi diskursus dalam kehidupan 
politik di Indonesia. Oleh karena itu, seyogyanya prinsip bahwa amendemen ini 
benar-benar harus mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat serta semuanya 
perlu dijaga bersama. Dengan demikian, sedianya agar lebih memiliki daya harus 
ada peninjauan lebih komprehenship, di samping harus sudah ditelaah dengan 
melibatkan lembaga kajian dan pihak lain, sehingga arah amendemen yang 
dikehendaki rakyat berjalan dengan benar dan tepat sasaran.

      Oleh karenanya, boleh jadi proses untuk melakukan amendemen UUD 1945 
seperti yang diusulkan DPD, masih membutuhkan waktu panjang karena masih ada 
aturan teknis yang perlu dipenuhi. Untuk itu, pengusul amendemen selayaknya 
berkonsentrasi juga untuk lebih memerhatikan situasi dan kondisi yang 
berkembang di masyarakat. Masalahnya, mengenai perlu tidaknya UUD 45 
diamendemen tetap harus dikembalikan dan mengacu pada empat parameter sebagai 
penuntun perubahan, yakni pertama, semakin melindungi seluruh warga negara 
Indonesia, kedua, menyejahterakan rakyat di semua aspek, ketiga, mencerdaskan 
kehidupan bangsa, dan keempat, Indonesia tetap menjadi bahagian perdamaian 
dunia.

      Jika demikian keadaannya, betapa pentingnya amendemen UUD 1945 dan khusus 
untuk DPD bila juga mampu berpegang pada empat paremater tadi, maka sangat 
mungkin eksistensi DPD pastinya sangat dibutuhkan terutama untuk mampu menjaga 
keutuhan negara dengan cara memberikan kesempatan kepada setiap daerah tanpa 
disertai potensi keinginan untuk berbeda arah, ekstremnya memberontak justru 
karena DPD refresentatif mewakili daerah, maka DPD pantas di posisi terdepan 
untuk melakukan pendidikan politik secara terus menerus dan aktual kepada 
rakyat di daerah. Terutama untuk memajukan daerah-daerah agar lebih memiliki 
posisi tawar yang sebanding. Itulah sebabnya inisiatif yang dinamis dan 
berkembang saat ini di dalam pemikiran anggaran DPD atau berbagai tindakannya 
yang aktual-substatif adalah bukti berfungsinya DPD yang patut diapresiasi 
secara penuh harapan oleh segenap daerah.

      Pada sisi lain ada yang secara holistic harus diwaspadai memang, yakni 
ketika mengemas wacana amendemen kelima UUD 1945 yaitu bahwa amendemen harus 
mampu masuk pada orbit politis-yuridis yang lebih luas dan mendasar. Artinya 
bahwa amendemen tidak terbatas untuk sekadar manambah kewenangan DPD, tetapi 
lebih dari itu harus pula merupakan artikulasi kebutuhan berbangsa dan 
bernegara untuk perbaikan fungsi legislasi. 

      Dengan mengusung ide yang lebih luas dan mendasar itu, maka secara 
otomatis dan menjadi kemestian bahwa kewenangan DPD tentunya harus diformat 
ulang, termasuk dalam hal hubungannya dengan DPR. Harus diakui secara obyektif 
bahwa beberapa bagian dalam UUD 1945 memang harus disempurnakan. Contohnya, 
dalam fungi legislasi menyangkut, check and balances tentunya tidak akan pernah 
jalan optimal bila mana hubungan DPD dan DPR tidak seimbang apalagi secara 
sengaja diabsorpsi kepentingan di luar konstitusi. 

      MPR sendiri, sebenarnya telah berusaha maksimal menuntaskan amendemen 
yang dilandasi dengan lima kesepakatan fraksi-fraksi, Pertama pembukaan 
dipertahankan, kedua mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketiga 
mempertahankan sistem presidensial, keempat amendemen sebagai adendum, dan 
kelima norma dalam penyelarasan dimasukkan dalam pasal. 

      Bertolak dari lima dasar kesepakatan itu, mudah dipahami bahwa yang 
diinginkan arahnya sudah sangat jelas yakni bukan untuk terjadinya konstitusi 
baru, di samping juga tentu tak diharapkan sejarah kembali berulang bahwa 
amendemen UUD 1945 mengalami kegagalan seperti yang pernah terjadi tahun 1955 
yang lalu. Dari situlah, kemudian disetujui Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk 
sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI/I/ 2002 yang berfungsi sebagai 
panglima pengawalnya.

      Namun begitu, patut diwaspadai bersama tentang pernyataan politisi senior 
Partai Golongan Karya (Golkar), Pinantun Hutasoit, yang menyatakan bahwa 
amendemen UUD 45 yang dilakukan secara terus-menerus bukan tidak mungkin 
sasarannya untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

      Konkretnya, soal hasil amendemen sejak dari dari amendemen pertama hingga 
amendemen keempat, sesungguhnya digulirkan dan bergulir atas dasar tuntutan 
reformasi yang berkaitan pemberesan sistem ketatanegaraan yang belum sempurna, 
nyatanya itu pun masih bisa mengundang ragam interpretasi di dalam 
pelaksanaannya. Contohnya, pelaksanaan hasil amendemen berkaitan dengan 
perbaikan sistem ketatanegaraan untuk melakukan pemisahan kekuatan/kekuasaan 
(eksekutif, yudikatif, legislatif), dengan adanya perimbangan kekuasaan (check 
and balances system), tentunya menuntut diikuti dengan perbaikan dan pembuatan 
undang-undang di tataran operasional hasil amendemen UUD 1945 (antara lain UU 
parpol, pemilu, otonomi daerah, dan Mahkamah Agung, kepresidenan di mana 
presiden akan dipilih secara langsung).

      Demikian juga menyangkut prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia, 
ditengarai tidak bisa secara apriori mengambil oper teori pemisahan kekuasaan 
secara murni, Indonesia menganut sistem pendelegasian kekuasaan. Ia 
menggambarkan, kedaulatan rakyat itu didelegasikan ke berbagai lembaga negara, 
dalam hal ini MPR dengan sistem dua kamar (Bikameral), yakni DPR dan DPD, 
Mahkamah Agung (MA), termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), lalu BPK, dan presiden. 
Jadi, seperti itulah sistem pendelegasian secara konstitusi setelah amendemen 
UUD 1945.

      Demikian halnya apakah dengan banyaknya amademen begitu yakin tidak 
membawa serta "goncangan" yang bisa saja bakal merugikan, ditambah lagi 
munculnya bencana yang silih berganti. Salah satu contoh yakni mengenenai 
ekonomi negara yaitu pasal 33 dari UUD 1945 Asli yang berbunyi :(1) 
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) 
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup 
orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang 
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk 
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

      Hasil revisi amendemen menyangkut pasal 33 tersebut sesuai ketetapan 10 
Agustus 2002, adalah perekonomian nasional diselengagarakan berdasarkan 
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, 
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandiran, serta dengan menjaga 
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Faktanya, regulasi 
tentang sistem ekonomi dimaksud sejauh ini tetap belum mampu membawa keluar 
dari berbagai persoalan yang begitu berat menimpa bangsa kita. 

      Fakta lainnya kemudian sebelum perubahan, UUD 1945 terdiri dari 
pembukaan, 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, dua pasal peralihan, dua aturan tambahan, 
dan penjelasan. Setelah diamendemen, UUD 1945 terdiri atas pembukaan, 21 bab, 
73 pasal, 170 ayat, tiga pasal aturan peralihan, dua pasal aturan tambahan, dan 
penjelasan. Namun, ternyata empat kali amendemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan 
MPR 1999, 2000, 2001, dan 2002, masih tetap dianggap belum cukup mampu 
mengakomodasi dinamika bangsa dan negara sekaligus sudah dicoba diurai 
kembangkan hingga 4 (empat) kali amendemen. Oleh karena itu, wajar jika 
kemudian muncul pandangan lain tentang perlunya kembali ke UUD 1945. 

      Bila memerhatikan dan mencermati perkembangan pembahasan amendemen UUD 
1945 yang terjadi dalam proses di MPR, kita akan mendapatkan suguhan sajian 
yang bertendensi kontroversi dan fokus sebagai bagian dari enam visi reformasi. 
Padahal, proses amendemen merupakan hal yang sangat urgen dan mendasar, sebab 
konstitusi merupakan norma fundamental negara (staats fundamental norm) yang 
merupakan rujukan bagi semua aturan hukum dibawahnya dan sebagai perwujudan 
kedaulatan rakyat yang di dalamnya mengandung keseluruhan sistem ketatanegaraan 
dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang mengatur, membentuk dan 
memerintah dalam pemerintahan negara (Slamet Efendi Yusuf dan Umar Basalim, 
2000).

      Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., mengibaratkan 
konstitusi sebagai "syariat" atau "kepala negara simbolik" atau "kitab suci 
simbolik" dalam civil religion yang di dalamnya menjadi dasar bagi tegaknya 
negara hukum Indonesia, yang mengandung fungsi sebagai simbol pemersatu (symbol 
of unity), ungkapan dan keagungan kebangsaan (identity of nation), dan pusat 
upacara keagamaan (centre of ceremony) (Jimly Asshsiddiqie, 2002).

      Bertolak dari pemahaman itu, secara umum bila dikaji lebih kritis dan 
mengacu pada maenstream amendemen konstitusi yang lazim di dunia sepertinya 
terdapat kekeliruan, bahkan mungkin bisa jadi kesesatan berpikir (fallacies) 
MPR. Sebab, amendemen yang dilakukan sejak awal menggunakan "pola berpikir 
terbalik", silakan cermati secara seksama tentang segenap prosesnya, misalnya 
terbukti bahwa amendemen yang bergulir tak mendasar orientasinya pada kepastian 
konsep negara dan pemerintahan apa yang akan diletakkan sebagai dasar bagi 
Indonesia Baru pascareformasi. Namun anehnya, tetap mencoba untuk membuat 
rambu-rambu tentang hal-hal apa saja yang boleh diamendemen, serta hal-hal apa 
saja yang tak boleh diutak-atik. 

      Akibatnya, memang belum terlihat ketika amendemen I dan II dilakukan, 
namun segera disadari pada ketika amendemen III dan kemudian IV akan 
diselesaikan. Muncul kesenjangan dan kerancuan antarpasal dan bab, di mana bila 
kerancuan itu tak segera dilakukan "sinkronisasi", bukan mustahil malah justru 
akan menghasilkan konsep pemerintahan yang rancu dan problematic permanen 
sifatnya hingga pada gilirannya sangat mungkin bakal menimbulkan peluang besar 
untuk terjadinya bentrokan atau konflik antarlembaga negara secara 
berkepanjangaan.

      UUD hasil amendemen terakhir saja sedikitnya memerlukan lebih dari 30-an 
UU organik yang untuk bisa berjalannya. Hal ini tentu tak mudah diwujudkan 
dalam praktiknya. Maka akibatnya mudah diduga yakni memunculkan kekuatiran akan 
terjadi porakporandanya (destruction) tatanan ketatanegaraan Indonesia di masa 
mendatang, tentang ini bisa saja terbukti, sebab sinyalemen awal sepertinya 
telah tampak di depan mata. Dengan demikian, potensi untuk terjadinya krisis 
konstitusi dan problem ketatanegaraan ke depan, sangat serius menuntut untuk 
segera di atasi untuk mendaptkan solusinya. Boleh jadi malah akan menghancurkan 
tatanan bernegara secara sistemis yang berproses terus. Pada akhirnya, 
reformasi yang diharapkan dan dibanggakan oleh segenap harapan kehidupan yang 
lebih baik selama ini, nantinya malah hanya akan menghasilkan "deformasi" dan 
krisis ketatanegaraan yang lebih meluas, yang tertinggal pada akhirnya hanyalah 
catatan sejarah telah terbukti melangkah namun tak sempat berubah.*** 

      Penulis, dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Mahasiswa Program 
Doktor Unisba, dan Ketua Umum "SIJALAK", tinggal di Bandung. 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke