http://www.indomedia.com/poskup/2007/06/25/edisi25/opini.htm

Jangan berpikir bodoh

(Awasan untuk Charles Beraf)

Oleh Fidel Hardjo *TULISAN Charles Beraf dengan judul "Jangan Bertindak Bodoh" 
yang dimuat di Harian Pos Kupang (18/6/2007) memang sangat menukik. Menarik 
untuk dicermati lebih serius. Letak keseriusannya, hemat saya, bukan karena 
judulnya yang yang vulgar atau terlalu sensasi tetapi apakah isi tulisan itu 
mengontribusi nilai pencerahan kepada publik atau tidak. Inilah persoalannya.

Kita boleh sepakat bahwa problematik industri ekstraktif di Lembata merupakan 
pelajaran berharga untuk mendesain demokrasi kita secara arif dan proposional. 
Beraf dalam tulisannya menguraikan hal itu secara sistematis. Menurutnya, 
prinsip diskursus demokrasi: semakin kuat antitese, semakin kuat pula diskursus 
demokrasi yang terbangun di tengah masyarakat. Itu benar. Dan itulah faktum 
yang sedang berbicara di Lembata sebenarnya.

Dengan kata lain, semakin derasnya protes dan gelombang demonstrasi 
(baca:antitese) dari rakyat atas proyek pertambangan ini (baca:tese), maka 
semakin terkukuhnya pendirian demokrasi (baca:sintese). Lalu, mengapa Beraf 
berteriak "jangan bertindak bodoh" kalau memang antitese-antitese itu adalah 
logika substansial demokrasi. Ataukah Anda yang mengsinterpretasi secara keliru 
(error interpretation) atas upaya demokratis rakyat kecil seperti ini. 
Kecemerlangan ide Anda mengalami peruntuhan mutlak di sini ketika tese, 
antitese dan sintese yang Anda bangun terkontradiktif an sich.

Biarlah rakyat menentukan sendiri wajah demokrasi mereka. Sudah lama zona 
demokrasi mereka dipasung dan dipenjara. Sejauh, mereka tidak mengusung 
"antitese" dalam bentuk kekerasan fisik. Demokrasi butuh proses. Apa pun alasan 
dasar di balik pro-kontra proyek industri ekstraktif Lembata, yang pasti 
demokrasi terus berproses menjadi (in the making) menuju kematangan.

Alex Inkeles (Introduction: On Measuring Democracy, 1990), demokrasi ibarat 
pengembara di padang pasir, yang dalam perjalanannya mencapai tanjakan-tanjakan 
kecil, terkadang lintasan terjal berliku, hingga akhirnya mencapai ketinggian 
tertentu. Kita boleh katakan, demokratisasi di Lembata baru ada pada level 
"terjal". Itu berarti perjalanan demokrasi dan tantangannya semakin luas dan 
kompleks.

Saya "angkat jempol" kepada penulis warga Takaplager ini, karena ia juga 
mengusung UU No. 23 /1997 tentang pengelolaan lingkungan, sebagai kerangka 
acuan proyek pertambangan Lembata. Setidaknya, menurut Charles, ada tiga tahap 
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan 
RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan). Saya berpikir, ini hal yang penting. 
Eksplorasi kekayaan alam harus dimbangi dengan pemeliharaan (duty of care) atas 
alam itu sendiri.

Hanya rakyat kecil (kontra) tidak tega menunggu proses itu. Kasus Freeport dan 
Lapindo adalah "guru" paling berharga bagi mereka. Kalau Charles melihat kasus 
Lapindo dan Freeport berakar pada soal "ketidakcermatan" survai, maka saya 
menepis pendapat Anda dalam ranah ini. PT Lapindo atau Freeport merupakan 
industri ekstraktif yang terbesar dan lebihterprofesional di negeri ini.

Tentunya, para ahli dengan segala keahlihan dan kecermatan sudah melakukan 
survai. Bahkan, mereka mengikuti kerangka acuan AMDAL, RKL, dan RPL seperti apa 
yang juga "dimutlakkan" oleh Charles atas proyek pertambangan Lembata. Atas 
hasil survai para ahli ini pun maka "palu" pun diketuk tanda proyek segera 
dimulai. Sayangnya, hasil survai para ahli profesional (baik ahli asing maupun 
pribumi) kedua PT besar ini berujung pada situasi yang mencekam. Bukan hanya 
habitus envioromental yang rusak tapi manusia itu sendiri terancam: 
kesengsaraan, pengungsian, kesakitan bahkan kematian. Lagi-lagi siapa yang 
bertindak bodoh?

Saya kira rakyat tidak terlalu bodoh untuk "menunggu" pertambangan Lembata 
berakhir dengan drama "ratap tangis' seperti apa yang dialami oleh 
saudara-saudarinya di Papua atau di Jawa. Kalaupun kita menunggu, taruhannya 
sangat mahal. Antara mati atau hidup! Saya merasa heran dengan pemimpin kita, 
seakan-akan tanpa pertambangan ini kita tidak akan bisa hidup lagi. Rakyat 
sudah lama hidup tanpa industri tambang seperti ini, toh mereka masih bisa 
hidup. Jangan-jangan ada udang di balik batu.

Kearifan rakyat kecil yang kerap "dicap" bodoh perlu dicontohi oleh para 
pemimpin atau siapa saja, termasuk penulis Takaplager yang menulis opini 
"Jangan Bertindak Bodoh". Kalau saja Hobbes bisa diajak bicara sekarang, maka 
teorinya tentang "Leviathan" di mana rakyat dengan natural liar berperilaku 
biadab perlu ditertibkan akan ditentang habis-habisan. Yang perlu ditertibkan 
sekarang adalah tabiat pemimpin yang tidak "beres". Pemimpin yang tidak 
mendengarkan orang lain, yang semestinya didengari yaiturakyatnya sendiri. 
Kebiadaban tahbiat ini meluas dengan praktik kecolongan "mulut kotor" termasuk 
mencap orang lain yang berseberangan pendapat: bodoh, sampah, binatang dan 
boleh anda tambah sendiri yang lain.

Logika pembangunan daerah itu baik. Promosi dan cari investor 
sebanyak-banyaknya untuk menanam investasi di daerah kita juga tidak keliru. 
Hanya, kadang tujuannya baik tapi caranya "kurang elok". Rakyat tidak diberi 
"common space" untuk berbicara. Saya pikir ini dasar substansial pemotresan 
masyarakat. Artinya, baik pihak pro maupun kontra berpijak pada argumentasi 
masing-masing. Tapi apalah artinya kalau hanya mutlak-mutlakan 
antitese-antitese sendiri yang tidak solusif. Itu hanya mengerucutkan nalar 
sosial kita kepada titil nol.

Banyak persoalan yang terpresepsi dalam masyarakat oleh motif rasionalisasi 
"tujuan baik cara buruk". Unsur tujuan dijagokan sementara aspek cara yang 
bersifat pencerahan diabaikan. Misalkan saja, tujuan Charles dengan tulisannya: 
Jangan Bertindak Bodoh! Tujuannya baik, hanya cara mengapresiasinya, hemat 
saya, tidak mencerahkan publik. Itu juga dosa demokrasi. Karena dalam ranah 
demokrasi silang pendapat itu biasa tapi mencaci maki orang lain, apalagi 
mencap orang lain bodoh adalah kutukan berat atas pertumbuhan demokrasi itu 
sendiri.

Oleh karena itu, adalah keliru besar kalau kita menangani konflik pertambangan 
Lembata dengan jurus maki-makian, mutlak-mutlakan, dan apalagi mencap orang 
lain "bodoh". Semua perilaku biadab ini tidak pada tempatnya. Perilaku seperti 
ini hanya menampilkan kebanalitasan kita. Lihat, sekarang kita "berkelahi" 
antara rakyat (pro) dengan rakyat(kontra) bahkan rakyat dengan DPR atau Bupati 
tapi PT. Merukh Enterprise tinggal duduk manis dan senyum "diam-diam".

Kalau saja rakyat bisa diajak intervensi, maka mereka juga akan berteriak hal 
yang sama "jangan berpikir bodoh". Karena bagaimanapun, don't step on the 
underdogs (istilah Sutan Syahrir). Jangan pernah menginjak orang yang sekarat!

* Penulis, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke