KOMPAS
Rabu, 27 Juni 2007 

 
Survei
Toleransi Masyarakat Sudah "Lampu Kuning" 


Julius Pour

Sikap toleran dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini ternyata sudah 
berada di status "lampu kuning". Artinya, memerlukan perhatian sangat serius 
serta program-program lebih terarah untuk bisa segera menyelamatkan, sebelum 
nantinya jatuh ke dalam situasi yang semakin buruk. 

Ini tanggung jawab kita bersama dalam berbangsa. Sebab, kalau sampai muncul 
konflik antarmasyarakat, maka 36,3 persen kesalahan akan ditimpakan kepada 
tokoh agama, kemudian 35,6 persen kepada pemerintah, 7,4 persen kepada 
presiden, 6 persen kepada polisi, kata Mohamad Qodari, Direktur Lembaga 
Penelitian Indo Barometer, menunjuk hasil survei dengan tajuk "Islam, 
Terorisme, dan Toleransi". 

Survei yang dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2007 di 33 provinsi seluruh 
Indonesia tersebut diselenggarakan bersama The Wahid Institute. Untuk menjamin 
akurasi, hasil diperoleh lewat wawancara tatap muka secara langsung. 

"Hasil survei memang tidak menggembirakan, tetapi itulah persepsi masyarakat 
berikut kenyataan yang dewasa ini sedang terjadi dan justru harus berani kita 
hadapi," kata Yenny Wahid, Direktur The Wahid Institute. 

Dalam kesempatan memasyarakatkan temuan survei pada Kamis (21/6) sore, pemikir 
senior Muhammadiyah, Dr Moeslim Abdurahman, berpendapat, "Dengan survei ini 
kita semua sekarang sudah punya potret sebenarnya sikap masyarakat Indonesia. 
Karena ternyata potretnya memang buram, maka menjadi tanggung jawab kita 
bersama untuk memperbaikinya." 

Kerukunan antaragama 

Survei kali ini dilakukan khusus untuk mengetahui sikap warga masyarakat Muslim 
dalam menghadapi beragam persoalan yang sedang muncul di tengah masyarakat 
majemuk Indonesia masa kini. Hasil temuan berikut pandangan atas pemberlakuan 
peraturan daerah sesuai dengan agama mayoritas setempat, misalnya, ternyata 
menunjukkan 27,9 persen umat setuju. Sebagian terbesar, 63,3 persen, tetap 
tidak setuju. 

Akan tetapi, ketika ditanya apakah negara perlu mengatur kehidupan beragama, 
semisal mengenai pendirian tempat ibadah, perkawinan, dan pendidikan, lewat 
peraturan pemerintah atau undang-undang, 64,5 persen ternyata setuju, 24,3 
persen tidak setuju, dan 11,3 tidak menjawab. 

Qodari, peneliti sosial hasil pendidikan di Inggris, menjelaskan, "Kenyataan 
tersebut menunjukkan kerukunan antar-umat beragama sekarang ini sebenarnya 
dalam kondisi kritis. Meski temuan menunjukkan 51,1 persen masyarakat tidak 
setuju dengan anggapan tersebut, sebanyak 42,2 persen, dan jumlah ini 
sebenarnya cukup besar, menyatakan sependapat bahwa kerukunan beragama sedang 
menurun dan hanya 6,7 persen yang tidak bisa menjawab." 

Aksi teror, semisal bom Bali dan sejumlah bom lain, ternyata masih tetap 
dianggap mengancam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya oleh warga non-Muslim, 
tetapi juga oleh umat Islam. 

Temuan atas pertanyaan apakah terorisme punya kaitan dengan agama tertentu, 
70,8 persen menegaskan tidak setuju dan hanya 14,2 persen yang setuju. Ketika 
kemudian ditanyakan apakah aksi teror tersebut memang diperbolehkan dalam 
ajaran Islam, 90,7 persen menjawab tidak setuju dan hanya 3,3 persen bisa 
menyetujui. 

Demikian pula atas pertanyaan apakah kurikulum di pesantren mengarahkan kepada 
terbentuknya terorisme? Sebanyak 95,5 persen menjawab tidak dan 1,2 persen 
mengiyakan. Senada dengan hasil jawaban itu, sebanyak 93,9 persen tidak setuju 
dan 1,4 persen setuju ajaran Islam membolehkan aksi kekerasan. 

Hasil tersebut sama dengan temuan bahwa 93,4 persen masyarakat Muslim tidak 
setuju dengan anggapan bahwa ajaran Islam mengajarkan sikap keras kepada pihak 
non-Islam dan tidak lebih dari 1,8 persen menolak. Hasil tersebut senada dengan 
temuan bahwa 93,9 persen umat tidak setuju mengusir warga non-Islam dengan 
kekerasan dan hanya 1,7 persen yang mendukung sikap keras semacam itu. 

Seusai perang Afganistan 

"Secara pribadi, yang selalu saya risaukan, meski persentasenya sangat kecil 
karena hanya sekitar 1,4 persen, ternyata masih ada umat yang setuju dengan 
pertanyaan, apakah Islam membolehkan aksi kekerasan. Persentasenya memang 
kecil, tetapi jika dihitung dari jumlah penduduk Indonesia, angkanya akan 
menjadi cukup bermakna. Dan, kalau kita lalai, mereka itu bisa dijadikan 
sasaran untuk direkrut serta diubah jadi macem-macem oleh orang-orang yang 
memang enggak bener," komentar Qodari terus-terang. 

Moeslim Abdurrahman menjelaskan, mendunianya aksi teror bersumber dari kemelut 
perang di Afganistan. "Ketika ramai-ramai untuk berangkat berjihad di sana, 
mereka semua dielu-elukan. Namun, setelah perang usai dan harus kembali ke 
negaranya masing-masing, mereka malah terpinggirkan, menganggur, dan bercampur 
dengan segala macam perasaan kecewa. Maka, teror tetap dilanjutkan dengan 
domestifikasi persoalan. Ini terjadi di Sudan, Mesir, sampai juga di sejumlah 
daerah di Indonesia." 

Dilengkapi dengan pendidikan serta pengetahuan umum umat Islam yang pada 
kenyataannya masih minim, muncul dalam bayangan para eks pejuang jihad dari 
Afganistan tersebut, yang dalam kata-kata Moeslim, "Terjadinya konspirasi jahat 
AS, Yahudi, Kristenisasi dengan segala macam-macamnya. Mereka memang bukan 
mainstream masyarakat Islam kita, bahkan jelas di luar mainstream. Karena itu, 
kita tidak tahu, tiba-tiba saja muncul dan mereka sudah ada di dalam rumah 
kita...." 

Catatan Moeslim Abdurrahman menunjukkan, dari 220 teroris yang sudah berhasil 
diringkus pihak berwajib di Indonesia, meski tampak luar berpenampilan 
sederhana, mereka umumnya tidak gaptek (gagap teknologi), bahkan sanggup 
mengoperasikan beragam peralatan canggih. "Enggak sebanding dengan umumnya 
orang NU atau Muhammadiyah kita yang masih banyak yang gagap teknologi dan 
belum sanggup mengoperasikan sarana komunikasi baru...." 

Secara terbuka, Moeslim Abdurrahman menyerukan, dalam usaha memerangi aksi 
teror, kita bersama-sama harus melakukan langkah tegas dan sarana yang tidak 
kalah. "Lha, kalau kita masih tetap memakai gaya berikut peralatan lama, 
bagaimana kita bisa memenangkannya?" 

Julius Pour Wartawan, Tinggal di Jakarta 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke