http://www.metrobalikpapan.co.id/berita/index.asp?IDKategori=82&id=80059

      Rabu, 27 Juni 2007



      Sesaji Pengusir Roh Jahat 
     

      Tradisi Sesaji masih dilakukan sementara kalangan di Jawa. Tapi dalam 
masyarakat modern, ada yang menganggap sesaji sebagai klenik, mistik dan 
irasional. Kurang dilihat sebagai bentuk lain dari doa. Sesaji dinilai wujud 
kultur religi masyarakat Jawa. 
      ADA beberapa macam jenis sesaji dalam masyarakat Jawa, di antaranya 
sesaji dalam perkawinan, sesaji kematian dan sesaji kelahiran yang dikenal 
dalam istilah siklus hidup manusia Jawa, yaitu Metu-Manten-Mati 
(lahir-perkawinan-kematian). Dalam upacara perkawinan, ada empat jenis sesaji. 
Yakni sesaji pasang tarub, sesaji siraman, sesaji midodareni, sesaji 
panggih/temu. 

      Rumah Budaya Tembi pernah menyelenggarakan diskusi terbatas tentang 
sesaji ini yang difokuskan pada sesaji pasang tarub. 

      Sesaji pasang tarub adalah sesaji utama dalam perkawinan. Dalam sesaji 
ini terdiri dari 27 jenis, yang keseluruhannya mencitrakan kehidupan manusia 
yang disimbolkan dalam bentuk sesaji. Sesaji berjumlah 27 tersebut terdiri dari 
: sesaji buntalan, tumpeng megana, brokohan, sanggan, tumpeng robyong, tumpeng 
gundul, jerohan sapi, ketan mancawarna, pala kependhem, pala kesampar, pala 
gemantung, empon-empon, empluk-empluk, ganten komplit, mentahan, pisang ayu, 
pisang raja pulut, kolak kencana, sega punar, sega kebuli, sega golong, unjukan 
dan jajan pasar, aran kembang, sega liwet, asrep-asrepan, ketan kolak dan 
kendhi. 

      Media Komunikasi Kebudayaan Tembi menyebutkan sajen ini diwujudkan dalam 
a) 5 macam tumpeng kecil (terbuat dari beras ketan), berwarna hitam, biru, 
hijau, merah dan kuning kunir (oranye); b) seiris buah srikaya, apel, jeruk 
buah, sebuah anggur, dua butir manggis; c)dua lempengan uang recehan; d) 
sebatang rokok cerutu; e) sekerat daging. Sebuah sajen yang harus dibuang di 
sebuah tempat (sudut rumah, perempatan jalan, atau tempat keramat). Semuanya 
ditempatkan dalam sebuah ancak-ancak (terbuat dari pelepah daun pisang segi 
empat kemudian diberi belahan bambu yang dianyam kemudian ditancapkan pada 
masing-masing sisi dalam segi empat pelepah pisang baru selanjutnya diberi alas 
daun pisang). 

      Makna sajen buncalan adalah wujud sesaji yang dipersembahkan kepada roh 
jahat yang menurut kepercayaan nenek moyang sering mengganggu ketenteraman 
kita. Dengan demikian sajen ini sebagai upeti yang dipersembahkan kepada roh 
jahat yang berada di sekeliling kita. Setelah diberi sesaji, roh jahat diyakini 
sudah tidak akan mengganggu kepada orang yang mempunyai hajat sehingga upacara 
manten selamat sampai selesai. 

      Sajen ini dapat dibuang di tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya 
sudut pekarangan, dekat sumur, perempatan jalan, bawah pohon, makam, sendang 
dan lain-lain. Sajen ini harus sudah dibuang tiga atau dua hari sebelum 
pelaksanaan pasang tarub dan upacara manten. 

      Sajen tumpeng megana diwujudkan dalam tumpeng (nasi putih yang dibuat 
bentuk kerucut) dililit kacang panjang yang sudah masak melingkar sampai puncak 
tumpeng, di atas tumpeng diberi bawang merah dan paling atas lombok merah, di 
kanan kiri tumpeng terdapat sayur-sayuran dan lauk-pauk yang sudah masak. Media 
Komunikasi Kebudayaan Tembi merinci sayuran yang dipakai antara lain: kacang 
panjang, wortel, kubis, daun so, kecambah, daun bayam dan daun singkong. Sedang 
lauknya terdiri dari: tempe goreng, ayam goreng, ikan asin dan telur ayam yang 
sudah dimasak. Tumpeng dan perlengkapannya itu ditaruh di atas tampah yang 
sudah dialasi dengan daun pisang. Makna dari sajen tumpeng megana, adalah bahwa 
manusia awalnya secara fisik tidak ada di dunia. Namun, roh sucinya sudah ada 
dan berada di sisi Sang Pencipta di atas sana. Munculnya manusia ke dunia, 
sebagai tanda ada kehidupan yang nyata. Wujud tumpeng megana didasarkan pada 
latar belakang mitologisnya yang terdapat pada salah satu cerita Mahabharata 
yaitu pada bagian pengadukan laut (samodra manthana). 

      Pada cerita itu digambarkan Dewa Siwa yang sedang memutar Gunung Meru 
untuk mencari air amerta. Tumpeng megana dan ubarampenya tersebut sebagai 
perumpamaan Gunung Meru yang sedang diputar oleh Dewa Siwa. Kacang panjang yang 
melilit tumpeng diibaratkan naga Hyang Antaboga yang dipakai Dewa Siwa untuk 
mengaduk Gunung Meru. Bawang merah dan lombok merah di atas tumpeng diibaratkan 
api yang menjilat-jilat ke angkasa sebagai akibat dari Gunung Meru yang diputar 
oleh Dewa Siwa. Kemudian oleh orang Jawa dimanifestasikan dalam wujud tumpeng. 

      Bentuk sesaji brokohan berupa kelapa tidak utuh, gula tidak utuh, dawet 
dalam periuk kecil, dan telur bebek mentah. Semuanya ditempatkan dalam wadah 
tampah yang diberi alas daun pisang. Disamping itu juga sesaji yang berupa 
sepasang ayam dewasa dalam kurungan kranji. 

      Makna sajen brokohan oleh Media Komunikasi Kebudayaan Tembi disebutkan 
sebagai manifestasi dari siklus manusia ketika masih di dalam rahim Sang 
Pencipta. Sebelum embrio terbentuk, embrio tersebut berasal dari pertemuan 
benih laki-laki yang berupa sel telur sperma (dalam bahasa Jawa Kuno disebut 
sukra dengan benih perempuan yang berupa sel telur (dalam bahasa Jawa Kuno) 
disebut swanita). Kelapa tidak utuh merupakan simbol sel sperma yang dihasilkan 
oleh laki-laki, sedang gula Jawa tidak utuh sebagai simbol dari sel telur yang 
dihasilkan perempuan. 

      Ketika kedua sel bertemu muncullah kehidupan atau embrio. Dalam hal ini 
disimbolkan dengan cendhol dalam periuk kecil. Menurut orang Jawa dahulu, 
embrio-embrio ini (rohnya) masih berada dalam awang-uwung atau di langit biru. 
Maka disimbolkan dengan telur bebek yang kulitnya berwarna biru langit. Siklus 
manusia yang masih berada dalam rahim Sang Pencipta, belum bebas adanya, maka 
sepasang ayam dewasa dalam kurungan sebagai simbol dari itu.(ris/mol) 
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke