SUARA KARYA

            Dosen FISIP Universitas Airlangga Dr Daniel Sparingga:
            Penyederhanaan Partai, Agenda Reformasi 



            Sabtu, 14 Juli 2007
            Indonesia memerlukan suatu sistem demokrasi yang kuat dan kokoh. 
Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah melakukan penyederhanaan 
partai-partai agar bisa lebih artikulatif dalam menjalankan fungsi-fungsi 
demokrasinya. Saat ini, partai-partai besar yang ada saja terus menuai kritik 
menyangkut tidak artikulatifnya mereka terhadap aspirasi konstituen. 

            Sejak reformasi, politik Indonesia relatif tak stabil. Bahkan 
pemerintahan SBY-JK pun tak mampu menjalankan amanat dengan tenang. Walau tak 
dijatuhkan seperti BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, toh ia tak mudah 
memerintah. Ini karena suara mereka di parlemen (gabungan kursi Golkar dan 
Demokrat) tak mencukupi. 

            Hal serupa pernah menimpa Megawati-Hamzah (PDIP-PPP). Mereka harus 
mengakomodasi partai-partai lain. Gambaran serupa juga dihadapi para gubernur, 
bupati, dan wali kota. Ini semua karena distribusi suara relatif tersebar. 

            Karena itu, penyederhanaan partai merupakan salah satu agenda 
reformasi untuk membangun sistem politik yang kokoh. Jika polarisasi distribusi 
suara yang menyebar ini tak kunjung mendapat jalan untuk disederhanakan, maka 
demokrasi di Indonesia menjadi jalan di tempat. 

            Bagi sebagian pihak yang tak sabar dan tak mampu berpikir rumit, 
maka jalan paling mudah adalah melakukan pembatasan yang pada batas tertentu 
bisa menjadi pengekangan. Padahal, salah satu nikmat demokrasi adalah 
kebebasan. Sehingga, sejumlah syarat dalam demokrasi tak ditujukan untuk 
menghalangi kebebasan, tapi lebih diarahkan pada membangun ketertiban. 

            Patut dipahami bahwa UU Pemilu yang menetapkan persayaratan 3 
persen selain sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi dan rasionalisme, juga 
didasarkan pada aspirasi yang hidup di dalam masyarakat. Karena itu, proses 
penyederhanaan tersebut dapat dikategorikan sebagai seleksi alamiah. 

            "Namun sangat disayangkan, struktur berpikir sejumlah elite bangsa 
ini masih cenderung politics oriented ketimbang membangun ekonomi. Struktur 
berpikir seperti ini tidak akan dapat membawa bangsa ke dalam pemulihan 
ekonomi," ujar Daniel Sparingga kepada Suara Karya, Kamis (12/7), di Jakarta. 

            Berikut petikan wawancara wartawan Suara Karya Muhamad Kardeni dan 
fotografer Hedi Suryono dengan dosen FISIP Universitas Airlangga Dr Daniel 
Sparingga: 

            Bagaimana Anda melihat perkembangan partai politik di Indonesia 
saat ini? 

            Begini, waktu kita mendorong agar terjadinya perubahan di negeri 
ini pada tahun 1998, pikiran atau gagasan yang memenuhi pikiran kita adalah 
terwujudnya pemilihan umum (pemilu) yang demokratis. Pikiran itu sekaligus 
menunjukkan bahwa yang kita asumsikan sebagai yang terpenting dalam transisi 
demokrasi adalah hadirnya pemilu yang jujur, adil, dan bebas. Orang mengira 
pemilu yang jujur, adil, dan bebas itu dengan sendirinya akan membuka jalan 
bagi transisi demokrasi yang stabil. 

            Namun, yang tidak terlampau banyak dikembangkan sebagai gagasan 
pada saat itu adalah bahwa transisi demokrasi tidak hanya membutuhkan pemilu 
yang bebas, tapi juga partai-partai politik yang ditandai dengan adanya 
partai-partai politik yang mengakar dan memiliki basis massa yang kuat, dan itu 
yang sampai saat ini kita tidak punya. 

            Selain pemilu yang demokratis dan parpol yang mengakar, apalagi 
yang dibutuhkan dalam transisi demokrasi? 

            Selain itu, yang dibutuhkan dalam transisi demokrasi adalah 
parlemen yang efektif. Jadi, partai politik yang fungsional dan parlemen yang 
efektif. Dua-duanya saat ini itu tidak terjadi. Bahkan dalam urusan parlemen, 
yang menarik justru ketika ada pemilu yang jujur dan adil malah terjadi 
representasi (keterwakilan-Red) yang menurun. 

            Maksudnya? 

            Ada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat secara bebas, tapi 
rakyat pada saat itu tidak terwakili aspirasinya. Yang mau saya katakan adalah, 
memang kita berhasil membangun suatu tradisi baru yang hebat, yakni pemilu yang 
jujur, adil, dan terbuka. Tetapi kita tidak terlalu siap menghadapi situasi 
baru itu. 

            Bagaimana tanggapan Anda dengan banyaknya partai politik saat ini? 

            Kita masih melihat begitu banyak orang berkehendak untuk mendirikan 
partai politik baru, supaya bisa ikut ke pemilu. Yang kita pikirkan sekarang, 
di satu pihak ada ruang untuk munculnya partai-partai politik alternatif, tapi 
di sisi lain kita juga harus menciptakan mekanisme yang sehat, yang 
memungkinkan parpol-parpol yang ikut pemilu sungguh memiliki akar yang kuat di 
masyarakat. 

            Artinya, undang-undang partai politik yang saat ini sedang dibahas 
di DPR sebaiknya memberikan keleluasaan yang cukup untuk setiap warga negara 
untuk mendirikan partai politik. Namun, partai politik untuk bisa pemilu 
mekanismenya harus lebih ketat. 

            Apakah transisi demokrasi identik dengan jumlah partai politik yang 
banyak? 

            Tak ada hubungan antara fungsionalitas demokrasi dengan jumlah 
partai, dan tidak selalu terkait dengan apakah itu menjadi sistem presidensial 
atau sistem parlementer. Yang saya mau katakan adalah bahwa sistem multipartai 
memang merupakan fenomena di Indonesia, karena merepsentasikan gambaran 
sosiologis dan antropologis di negeri ini. Namun saya kira, kita harus berhenti 
membayangkan memiliki sistem dua atau tiga partai. Saya kira itu tidak masuk 
akal. Tapi sebaliknya, menginginkan adanya 20 atau 30 partai di pemilu, itu 
juga sama sekali tidak mencerminkan keinginan masyarakat. 

            Jadi jumlah idealnya berapa? 

            Di sini kita terpecah bagaimana cara melihat perkara ini, termasuk 
cara mengelola perubahan sosial ini. Mereka yang sangat liberal percaya aturan 
itu sebaiknya tidak ada regulasi yang membatasi jumlah partai politik. Artinya, 
kalau kita merujuk hasil pemikiran yang sangat liberal tersebut, memiliki 60 
partai menurut mereka realitas. Tapi di ujung yang lain, orang percaya sejarah 
politik di banyak negara mengatakan kemajemukan pun perlu dikelola, tapi tidak 
untuk dibatasi. Hendaknya kita membedakan antara membatasi kemajemukan dan 
mengelola kemajemukan. 

            Sejumlah partai politik besar seperti Partai Golkar dan PDIP 
menginginkan adanya penyederhanaan partai. Misalnya ada tiga atau empat parpol 
saja. Apakah ini bentuk kekhawatiran mereka terhadap partai politik baru? 

            Mungkin jumlah partai politik ideal yang diinginkan Partai Golkar 
dan PDIP bisa sangat supervisial. Artinya, sekadar angka rekaan daripada angka 
yang dipikirkan secara matang. Tetapi pesan terpentingnya yang saya tangkap 
dari jumlah ideal partai politik yang diinginkan Partai Golkar dan PDIP adalah 
jumlah partai politik yang manageable (bisa dikelola-Red). Pesan pentingnya: 
pemilu yang diikuti 20-an partai tidak masuk akal. 

            Jadi formula idealnya bagaimana? 

            Kita perlu berdebat sangat tajam untuk menemukan satu formula yang 
di satu pihak mampu menghasilkan sistem politik yang fungsional, efektif, 
efisien sekaligus produktif. Tapi di pihak lain sistem itu tetap mampu 
menanggapi kebutuhan kemajemukan dan memberikan ruang bagi hadirnya perubahan 
serta gagasan-gagasan alternatif. Di situlah yang saya kira orang sebaiknya 
sepakat tentang ajaran yang kelihatannya mengandung paradoks, di satu pihak 
kita mendorong dinamika, tapi juga menciptakan stabilitas. 

            Artinya, penyederhanaan partai politik dengan proses alamiah saja? 

            Saya tidak sepenuhnya percaya bahwa sistem sosial itu yang di 
dalamnya juga menyangkut gagasan sistem politik dan sistem ekonomi bisa 
diserahkan kepada hukum alam. Dalam sejarah umat manusia selalu ada campur 
tangan manusia untuk mempengaruhi perubahan sosial, apalagi menyangkut design 
negara. Yang kita tahu, demokrasi itu, walaupun memiliki ajaran-ajaran yang 
umum, sejarahnya juga mengajarkan satu hal, yakni demokrasi hanya bisa tumbuh 
berkembang dengan sehat kalau ada kontekstualisasi. Konteks di mana kita hidup 
itu menjadi kerangka yang sebaiknya kita perhatikan. Itu yang menyebabkan 
mengapa perbincangan tentang jumlah partai politik menjadi sangat penting untuk 
diangkat. 

            Kalau diberikan ruang untuk munculnya partai politik baru, lalu di 
sisi lain kita juga perlu stabilitas yang parameternya adalah sedikitnya jumlah 
partai politik, apakah ini bukan sesuatu yang sifatnya paradoks? 

            Menurut saya, dua hal yang saling kontradiksi ini membawa kita pada 
satu kebutuhan untuk memeras pikiran-pikiran yang terbaik untuk menghasilkan 
formula yang baik bagi sistem politik kita. Menurut saya, aturan atau regulasi 
menjadi penting untuk mebuat proses-proses yang lebih masuk akal itu terjadi. 

            Saya selalu mengajurkan, kalau orang mau bikin partai, beri 
kelonggaran. Tapi, yang bisa ikut pemilu mestinya diperketat. Saya percaya 
jumlah partai politik yang pertama jumlahnya 48 lalu turun menjadi 24, dan 
nantinya mungkin turun ke 16, adalah proses yang kata orang proses alamiah. 
Tapi menurut saya itu hasil engineering yang kejadian atau prosesnya terjadi 
secara gradual atau bertahap. Yang terpenting, makin ke depan demokrasi di 
Indonesia yang direpresentasikan dalam pemilu sebaiknya diikuti partai politik 
yang sungguh-sungguh memiliki akar yang kuat di masyarakat. 

            demikian, maka bisa jadi hanya partai politik besar saja yang 
diuntungkan? 

            Sama sekali tidak. Demokrasi itu menyangkut pluralitas ide untuk 
bisa dilembagakan melalui kanalisasi oleh partai politik untuk diperjuangkan di 
parlemen. Partai politik baru sering dibutuhkan ketika lembaga-lembaga politik 
dominan (parpol lama-Red) tidak sensitif lagi pada perubahan. Sehingga ada 
kemacetan, sehingga orang berpikir perlu parpol baru. Ini logika munculnya 
parpol baru dalam pemilu. 

            Kita tidak sedang dalam konstruksi sosiologis seperti itu, karena 
partai politik yang sedang kita bicarakan saat ini pada dasarnya adalah partai 
politik baru yang sedang bertumbuh dan berkembang. 

            Apakah sistem sentralistik di masa lalu menguntungkan bagi 
partai-partai baru? 

            Tujuh partai politik (PG, PDIP, PPP, PD, PAN, PKS, PKB) yang 
menguasai parlemen semuanya adalah partai baru. Orang bisa menyebut Partai 
Golkar sebagai partai lama, tapi di dalam konteks sosiologi politik yang saya 
pahami Partai Golkar pun adalah partai politik baru. Partai Golkar pun 
membutuhkan redefinisi dan reposisi yang tidak bisa bersandar lagi dengan 
tradisi politik yang lama. 

            Jadi, tujuh parpol itu sebenarnya partai politik baru. Bahkan belum 
bisa disebut partai politik yang sudah menemukan bentuknya. Malah, saya percaya 
tujuh parpol ini sedang mengalami metamorfosa yang menakjubkan. Itu yang 
menyebabkan mengapa banyak orang di tingkat grass root tidak terlampau besar 
hasratnya untuk mendengar ada parpol baru, karena partai yang dianggap lama 
saja sedang mengalami metamorfosa.***  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to