http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=140109

Selasa, 10 Juli 2007



Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara RI
Oleh Turiman Fachturahman Nur SH, M.Hum



SEPANJANG orang Indonesia, siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang 
merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, 
siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang 
terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan 
Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 
1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu 
asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang 
kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda. 

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, 
Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, 
kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan 
pada kesatuan tentara Hindia Belanda. 

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia 
tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat 
kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, 
pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya 
dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II 
memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat 
(DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam 
perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia 
dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in 
Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat 
tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama 
yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, 
beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, 
Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan "over commando" 
kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. 
Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, 
sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan 
TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat 
yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu 
Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak 
buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat 
dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama 
jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang 
dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan 
Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses 
perancangan lambang negara, disebutkan "ide perisai Pancasila" muncul saat 
Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. 

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara 
mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila 
dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. 
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana 
Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II 
dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A 
Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini 
bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan 
kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung Hatta 
Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono 
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu 
karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima 
pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak 
karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. 
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), 
Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk 
keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, 
mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih 
menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 
Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, 
Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang 
negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, 
karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu 
manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. 

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah 
disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk 
Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno 
kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta 
sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya "Sekitar Pancasila" 
terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara 
karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet 
RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" 
dan "tidak berjambul" seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan 
anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh 
seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. 

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara 
itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. 
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung 
Rajawali Garuda Pancasila yang "gundul" menjadi "berjambul" dilakukan. Bentuk 
cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi 
menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 
Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat 
disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, 
Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan 
Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat 
ini. 

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk 
final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna 
gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, 
Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi 
lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 
Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan 
foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal 
Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid 
II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga 
Kesultanan Pontianak di Batulayang. 

Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang 
mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar 
Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya 
tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang 
negara. "Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 
1998-1999," akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan 
Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana 
Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya 
untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum 
Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang 
Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M 
Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya 
itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. "Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai 
dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan 
Hamid II," katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia 
kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi 
pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar 
dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi 
Kal-Bar.** 



*) Penulis adalah Pengurus Yayasan Sultan Hamid II Jakarta 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke