http://www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=29997

Jumat, 6 Juli 2007


Anak-Anak Telantar di Keluarga Miskin
Oleh Freddy Simamora 


Anak telantar sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori anak rawan 
atau anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (childer in need of special 
protection). Karena suatu sebab mereka tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya 
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. 
Seorang anak dikatakan telantar, bukan sekadar karena ia sudah tidak lagi 
memiliki salah satu orang tua atau kedua orangtuanya. Tetapi, telantar disini 
juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh-kembang secara wajar, 
hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk memperoleh 
pelayanan kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, 
ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan atau karena kesenjangan. 

Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki, misalnya : mereka umumnya 
sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah (child abuse). 
Pada tingkat yang ekstrem, perilaku penelantarkan anak bisa berupa tindakan 
orangtua membuang anaknya, entah itu di hutan, di selokan, di tempat sampah, 
dan sebagai berikut baik karena ingin menutupi aib atau karena ketidaksiapan 
orang tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara wajar. 

Di wilayah manapun, banyak bukti memperlihatkan bahwa anak-anak selalu 
merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai proses perubahan sosial 
politik dan ekonomi yang tengah berlangsung. Di berbagai komunitas, anak-anak 
seringkali menjadi korban pertama dan menderita, serta terpaksa terhambat 
proses tumbuh-kembang mereka secara wajar karena ketidakmampuan orang tua, 
masyarakat dan pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial yang terbaik bagi 
anak-anak. 

Akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung usai, pemerintah mau tidak mau 
memang harus menyisihkan anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki kinerja 
perekonomian jauh lebih banyak daripada anggaran yang disediakan untuk 
fasilitas kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial anak-anak. Mungkinkan 
kita berharap anak-anak dapat memperoleh pelayanan yang terbaik, jika hingga 
kini pemerintah masih direcoki dengan persoalan utang luar negeri dan proses 
perbaikan perekonomian yang menuntut energi terlampau besar ? 

Di Indonesia, diperkirakan jumlah anak telantar sekitar 3,5 juta jiwa. Ini pun 
terbatas pada kelompok anak-anak yang yatim piatu dimana dari jumlah itu hanya 
sedikit di antara mereka yang terjangkau pelayanan sosial (Irwanto dkk, 1998). 
Di tahun 2007 ini, bisa dipastikan jumlah anak telantar yang ada akan jauh 
lebih banyak lagi, karena sejak situasi krisis mulai merambah ke berbagai 
wilayah, maka sejak itu pula kesempatan anak-anak untuk tumbuh-kembang secara 
wajar seringkali menjadi terganggu. 


Bentuk Penelantaran 

Yang namanya anak-anak, mereka sebetulnya bukan hanya membutuhkan perlindungan, 
tetapi juga kepedulian dari orangtuanya untuk dapat tumbuh kembang secara 
wajar. Di berbagai komunitas, apa yang menjadi kebutuhan sosial anak-anak 
telantar, dengan demikian bukan hanya limpahan kasih sayang dan pola 
sosialisasi yang personal, tetapi juga akses yang lebih baik terhadap pelayanan 
publik dasar terutama kesehatan dan pendidikan serta modal sosial dan 
peluang-peluang untuk menyongsong kehidupan dan masa depan yang lebih baik. 
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika anak-anak dalam usia dini sudah 
ditentukan, dan bahkan tidak dipenuhi apa yang menjadi hak mereka. 

Dengan dalih bahwa orangtua sibuk mencari nafkah atau karena tekanan kemiskinan 
dan faktor-faktor lain yang sifatnya struktural, sudah lazim terjadi jika nasib 
anak-anak keluarga miskin seringkali terabaikan. Janganlah berbicara soal 
tanggung jawab dan kepedulian, sering terjadi nasib anak-anak dari keluarga 
miskin terperosok ke dalam perangkap kesengsaraan dan penderitaan serta masa 
depan yang suram karena ketidakmengetian, ketidakmampuan dan kurangnya 
kepedulian orangtua mereka terhadap hak-hak dasar anaknya. 

Dalam hal kelangsungan pendidikan anak, misalnya, akibat krisis kepercayaan 
pada arti penting sekolah, di lingkungan komunitas masyarakat miskin acap 
terjadi kelangsungan pendidikan anak cenderung ditelantarkan. Bagi keluarga 
miskin, anak umumnya memiliki fungsi ekonomis, sebagai salah satu sumber 
pendapatan atau penghasilan yang cukup signifikan, sehingga anak sudah terbiasa 
sejak usia dini dilatih atau dipersiapkan untuk bekerja di sektor publik. 

Seorang keluarga tukang becak atau pengemis yang tinggal di permukiman kumuh, 
niscaya mereka akan meminta secara langsung maupun tidak langsung kepada 
anak-anaknya untuk ikut membantu orangtua bekerja dan mencari nafkah. Bagi 
keluarga miskin yang setiap hari selalu hidup serba pas-pasan, maka sudah lazim 
jika kemudian berharap dan bahkan tergantung kepada bantuan dari anak-anaknya. 

Bagi keluarga miskin, selain melatih anak-anaknya untuk dapat survive di usia 
dini, yang terpenting adalah bagaimana mempersiapkan anak untuk segera bisa 
beradaptasi dengan lingkungan dan masa depannya. Tidak sedikit orang tua dari 
anak-anak keluarga miskin bersikap acuh tak acuh terhadap kelangsungan dan 
upaya pemenuhan hak-hak anak mereka. Jangankan berbicara mengenai kelangsungan 
pendidikan anak-anak terlantar. Dalam kenyataan sering terjadi dalam situasi 
yang kritis pun misalnya si anak sedang sakit parah - orang tua mereka juga 
tidak banyak peduli. 


Upaya Penanganan 

Kalau melihat situasi problematik, tekanan kemiskinan, dan berbagai penderitaan 
yang dialami anak-anak telantar, barangkali benar bahwa untuk jangka pendek 
program-program intervensi yang dibutuhkan adalah upaya-upaya penyantunan yang 
sedikit- banyak bersifat karitatif. Tetapi, perlu disadari bahwa sekadar 
mengandalkan pada upaya-upaya yang sifatnya karitatif, dalam jangka panjang 
tidak mustahil justru hanya akan ada ketergantungan baru yang makin 
menghilangkan kemampuan anak-anak telantar itu untuk menolong dirinya sendiri 
(self help mechanism). 

Ke depan, untuk memperbaiki kinerja pelayanan sosial bagi anak telantar, selain 
dibutuhkan komitmen yang tulus, yang tak kalah penting adalah bagaimana 
membongkar berbagai pola atau paradigma pendekatan di masa lalu yang cenderung 
hanya bersifat parsial dan karitatif, dan kemudian melakukan revitalisasi 
program pelayanan yang baru yang lebih menyelesaikan akar persoalan. 

Upaya revitalisasi program penanganan anak telantar yang semestinya 
dikembangkan tahun-tahun mendatang pada dasarnya bertumpu pada empat program 
pokok, yaitu : 

Pertama, program penanganan anak telantar berbasis masyarakat, artinya, program 
penanganan terhadap nasib anak telantar yang dikembangkan akan lebih 
berorientasi pada pengembangan dukungan dan potensi-potensi yang ada di tingkat 
komunitas (community support system) termasuk dukungan kalangan pengusaha. 
Disadari bahwa keberadaan dan peran berbagai lembaga lokal dan kalangan 
pengusaha perlu diberdayakan sebagai mitra pemerintah. 

Kedua, program perlindungan sosial bagi anak terlantar. Untuk mencegah agar 
anak terlantar tidak menjadi korban tindakan represif, eksploitasi dan 
intervensi berbagai pihak yang ingin memanfaatkan keberadaan mereka, maka ke 
depan yang dibutuhkan adalah program perlindungan sosial yang benar-benar 
efektif. Sebagai kelompok masyarakat rentan, anak-anak telantar memang 
seringkali lebih mudah menjadi objek tindak kekerasan dan eksploitasi dai kelas 
sosial di atasnya atau pihak-pihak lain yang memiliki kekuasaan, karena tidak 
memiliki kekuasaan, karena mereka tidak memiliki pengetahuan hukum yang cukup 
dan akses pada lembaga perlindungan hukum yang layak. 

Ketiga, program pemberdayaan anak telantar. Untuk mengeliminasi kemungkinan 
terjadi ketergantungan dan hilangnya mekanisme self- help dari anak-anak 
telantar, maka idealnya yang dikembangkan ke depan adalah program yang lebih 
berorientasi pada pemberdayaan, baik kepada keluarga miskin, orangtua dari 
anak-anak terlantar, dan anak-anak terlantar itu sendiri. Pemberdayaan pada 
dasarnya lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic 
needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut 
(safety net). Hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi 
individu yang semula objek menjadi subjek (yang baru), sehingga relasi sosial 
yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antarsubjek dengan subjek 
yang lain. Substansi pemberdayaan yang dilakukan disini adalah memampukan dan 
memandirikan anak terlantar dengan cara memfasilitasi pengembangan potensi atau 
kemampuan dari anak terlantar itu sendiri. Pemberdayaan bukan hanya meliputi 
penguatan individu anak terlantar, tetapi juga pranata-pranata sosial di 
sekitarnya. 

Keempat, program pengembangan asuransi sosial bagi anak terlantar. Artinya, ke 
depan sejauh mungkin harus dikurangi program-program bantuan yang hanya 
bersifat karitatif, dan sebagai ganti seyogyianya diupayakan lebih menekan pada 
bentuk bantuan yang dapat berfungsi sebagai asuransi sosial bagi anak-anak 
terlantar dan keluarganya. Yang dimaksud asuransi sosial disini adalah program 
batuan yang bisa bermanfaat sebagai penyangga kebutuhan anak telantar dalam 
jangka yang lebih panjang, dan bukan sekadar program darurat yang bersifat 
kariratif dan habis seketika untuk memenuhi kebutuhan sesaat. 


*) Penulis adalah Presiden Mahasiswa BEM UNPAR 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke