HARIAN KOMENTAR 16 Juli 2007
Revolusi Sebutir Benih Oleh: MT Felix Sitorus Kita harus mencapai swasembada beras tahun 2008. Target itu dicanangkan Wapres, Jusuf Kalla di Sichuan, Tiongkok 9 Juni 2007 seusai menandatangani naskah kerjasama pembangunan pusat hibrida antara Indonesia dan Tiongkok. Target itu jelas tidak masuk akal! Revolusi Hijau Gelombang Perta-ma (Revolusi Hijau-I) saja memer-lukan waktu 15 tahun (1970-1985) untuk mencapai status itu. Swasembada dalam setahun pas-tilah mimpi seorang pengusaha. Yang agak masuk akal adalah, tar-get swasembada beras tahun 2010 atau tiga tahun ke depan. Itupun hanya mungkin dicapai melalui satu jalan yaitu Revolusi Hijau Gelombang Kedua (Revolusi Hijau-II). Seperti apakah itu? Basis benih Inti Revolusi Hijau-II adalah kembali ke jalur yang benar yaitu pengembangan pertanian padi berbasis benih. Ini mengoreksi Re-volusi Hijau-I yang melencengkan pengembangan pertanian padi ke jalur keliru yaitu berbasis pupuk. Pelencengan itu adalah buah doktrin "apapun benihnya yang penting pupuknya" dari kapitalis pupuk kimia. Fokus Revolusi Hi-jau-I berhasil digeser dari penggu-naan benih unggul produksi tinggi ke penggunaan pupuk kimia, dari revolusi benih ke revolusi pupuk. Pergeseran fokus itu menyebab-kan petani abai akan mutu benih. Sembarang benih yang tidak res-ponsif terhadap pupuk lalu di-gunakan. Terjadilah pemupukan berlebihan yang merusak tanah sawah. Produktivitas pun merosot hingga status swasembada beras rontok. Benih adalah inti pertanian maju dan tangguh. Dalam Kongres Padi Internasional II di New Delhi (Oktober 2006) dikemukakan, tahun 2025 dunia membutuhkan 800 juta ton beras. Karena itu produktivitas padi harus naik dari 5 menjadi 8 ton/ha. Kunci utama untuk itu adalah perbaikan kualitas benih. Tiongkok konsisten menerapkan strategi pengembangan per-tanian padi berbasis benih. Revolusi Hijau tidak pernah berhenti di sana. Riset intensif untuk menemukan benih padi varietas baru yang lebih unggul berlangsung terus. Melalui inovasi benih padi unggul produksi tinggi, terutama hibrida, Tiongkok telah mencapai kedaulatan pangannya. Di Indo-nesia, Revolusi Hijau berhenti tahun 1984, saat target swasemba-da beras tercapai. Sejak itu riset perbenihan padi mandeg. Tidak ada lagi terobosan inovasi benih padi unggul yang mampu menem-bus kebuntuan produktivitas 4-5 ton/ha. Karena itu Revolusi Hijau-II di Indonesia mempersyaratkan revitalisasi perbenihan padi. Riset benih padi unggul harus menjadi prioritas utama nasional dalam pendanaan, peningkatan sumber daya manusia, dan pengemba-ngan institusi. Secara bersamaan industri perbenihan padi juga harus menjadi prioritas pengembangan. Targetnya mewujudkan industri benih padi modern berbasis riset yang kuat. Riset dan industri benih padi yang kuat adalah kunci menuju kedaulatan pangan. Potensi plasma nuftah padi nusantara dapat didayagunakan. Benih padi ung-gul dapat disediakan sendiri, tidak perlu impor. Berarti negara bebas dari "kolonialisme pangan". Agribisnis Padi Judul artikel ini menegaskan benih itu "kecil" tetapi membawa perubahan "besar". Penggunaan be-nih padi unggul menuntut perubahan radikal pada organisasi/manajemen produksi. Semasa Revolusi Hijau-I organi-sasi/manajemen produksi padi berubah secara radikal dari pola subsistensi rumah tangga ke pola agribisnis besar. Agribisnis padi itu dikelola organisasi Bimas, suatu korporasi padi skala nasional yang menyatukan kekuatan-ke-kuatan politik dan ekonomi dari desa sampai pusat. Melalui program Bimas pemerintah mengelola pertanian padi gai agribisnis. Pemerintah mengambil keputusan produksi lalu memobilisir kelompok-kelompok tani untuk pelaksanaan di lapangan. Peran organisasi/manajemen Bimas itulah kunci pencapaian swasembada beras tahun 1984. Setelah Bimas bubar, usailah era pendekatan organisasi/manaje-men agribisnis padi. Usai pula sta-tus swasembada beras. Sebagai koreksi, Revolusi Hijau-II harus dijalankan secara kon-sisten sebagai revolusi benih dan organisasi/manajemen produksi. Pertanian padi harus kembali di-kelola sebagai agribisnis skala na-sional. Tetapi pengelolanya ja-ngan lagi pemerintah seperti dulu, melainkan suatu organisasi/ma-najemen agribisnis padi semacam inkorporasi beras. Inkorporasi beras ini merupakan sinergi sejumlah BUMN agribisnis (benih, pupuk, pestisida, alsintan, pengolahan, pemasaran, pembiayaan) dan organisasi korporasi petani. Jelas inkorporasi beras memper-syaratkan kehadiran organisasi korporasi petani yang kuat. Untuk itu dapat dibentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang sahamnya dimiliki petani. Setiap BUMP bisa mengelola suatu unit agribisnis padi seluas 1.000 ha. Agribis-nis padi berorientasi pada peningkatan produksi, peningkatan/pe-merataan pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. Untuk itu agribisnis padi harus mampu meningkatkan nilai ekonomi seluruh biomassa padi mulai dari beras (pangan), jerami (bahan bangunan), sekam (energi listrik), bekatul (minyak padi), sampai menir (tepung). Tujuan Revolusi Hijau-II tidak semata mencapai swasembada beras. Tujuan lebih mendasar adalah transformasi pertanian padi dari pola sistensi ubke pola agribisnis. Agribisnis padi adalah lahan investasi yang sangat menguntungkan di pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi seluruh biomassa padi pada skala nasional jelas memerlukan investasi besar. Investasi diperlukan untuk pembangunan instalasi pengeringan padi, pabrik pengolahan (beras, tepung, minyak beras), instalasi pembangkit listrik tenaga panas pembakaran sekam, pabrik bahan bangunan, dan lain-lain. Semua itu akan menghasilkan dampak multiplier ekonomi yang sangat luas dan besar. Jika Revolusi Hijau-II ditempuh mengikuti gagasan di atas, maka ia tidak hanya akan menggerakkan perekonomian desa. Lebih dari itu ia akan menggerakkan perekonomian nasional. Sedahsyat itulah dampak "revolusi sebutir benih". Penulis: Kepala Bagian SosiologiPedesaan dan Pengembangan Masyarakat IPB [Non-text portions of this message have been removed]