Refleksi: Teluk Bituni di Papua  mempunyai deposit gas alam yang sangat banyak. 
 Hal ini bisa dilihat dari perjanjian leveransi gas yang telah ditandatangani: 
2,6 milyun ton/tahun ke Fujian, Tiongkok untuk waktu 25 tahun. Ke Korea Selatan 
1,35 milyun ton/tahun untuk jangka waktu 20 tahun. Untuk Sempra Energy, Mexico 
dan California,  3,7 milyun ton/tahun untuk jangka waktu  20 tahun.  

Rupanya hingga kini daerah penghasal kekayaan alam mendapat sedikit sekali atau 
samakali tidak memperoleh apa-apa, dan sekarang ada tuntutan peninjauan dan 
pembagian hasil. 

Kalau  seandainya tinjauan ini dilakukan dan berhasil diberi bagi hasil kepada 
daerah penghasil MIGAS, berapa besar porsi untuk Papua? Orang Papua tentunya 
berhak memperoleh pembagian yang wajar. Tetapi, alangkah baik sekali bila 
keuntungan seluruhnya dimiliki oleh rakyat Papua. 
++++

Daerah Desak Transparansi Bagi Hasil Migas
Jum'at, 03 Agustus 2007 | 03:43 WIB 



TEMPO Interaktif, Denpasar:
Daerah-daerah penghasil minyak dan gas meminta pemerintah transparan dalam 
menghitung bagi hasil pertambangan minyak dan gas. Daerah menilai mekanisme 
penghitungan selama ini menimbulkan kecurigaan adanya ketidakadilan dalam 
pembagian itu.

Hal ini disampaikan Ketua Forum Daerah Penghasil Migas H Alex Noerdin setelah 
membuka rapat kerja di Kuta, Bali, kemarin.

"Kami meminta BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas 
Bumi) memberikan kopi data produksi investor pemegang kontrak dan Pertamina," 
kata dia. 

Dengan cara itu, daerah dapat menghitung sendiri besaran yang akan diterima 
tanpa rasa curiga.

Transparansi, kata Bupati Musi Banyuasin ini, juga mengenai perincian alokasi 
dana dalam proses produksi. Misalnya dana yang disebut-sebut sebagai cost 
recovery. "Selama ini kami tidak paham sebenarnya untuk apa saja dana itu," 
tuturnya.

Menurut dia, dana ini digunakan juga untuk pengobatan anggota staf asing hingga 
membiayai kegiatan bermain golf. 

Logikanya, kata Alex, cost recovery akan semakin kecil seiring dengan semakin 
lamanya sebuah perusahaan beroperasi. "Kami patut tahu karena makin besar dana 
itu akan makin kecil jatah yang diterima daerah," ujar dia.

Selain soal transparansi, Alex melanjutkan, daerah mengeluhkan soal 
keterlambatan pembayaran jatah bagi hasil itu. Tahun ini, misalnya, jatah yang 
mestinya dibayarkan pada 1 April baru dibayarkan pemerintah pusat pada 27 Juli. 
"Apalagi jumlahnya pun turun drastis," kata Alex. "Akibatnya, defisit anggaran 
daerah sangat besar."

Untuk mengatasi defisit itu, daerah juga mendesak pemerintah pusat memberikan 
izin agar bisa meminjam kepada bank dengan jaminan anggaran daerah tahun 
berikutnya.

Sementara itu, untuk mencegah keterlambatan itu, Forum Daerah mengusulkan agar 
pembayaran bagi hasil sebesar 6 persen langsung dilakukan oleh investor tanpa 
melalui pemerintah pusat. 

l Rofiqi Hasan 




[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to