http://www.suarapembaruan.com/News/2007/08/03/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Semangat Neoliberalisme dan RUU BHP
Oleh Komarudin 

Baru-baru ini ribuan guru berdemo menuntut dipenuhinya anggaran pendidikan 20 
persen dalam APBN, perbaikan tunjangan guru, dan pembatalan ujian nasional 
(UN). Problem dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti sampai di situ. 
Masalah lain pun siap menghadang pendidikan kita ke depan. Salah satunya 
hadirnya Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang memiliki 
semangat ke arah neoliberalisme. 

Arus globalisasi kian deras melanda seluruh dunia, tidak ketinggalan di 
Indonesia. Globalisasi itu mengangkut paham neoliberal. Kondisi seperti itu 
membuat orang mulai menghayati pentingnya persoalan waktu dan ruang, yang 
dikenal sebagai, meminjam istilah geografer David Harvey, time space 
compression. Konsep tersebut merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa 
kini terkait kemajuan material yang menjamah hampir segala segi kehidupan. 

Semakin orang menguasai waktu dan ruang, orang kian menunjukkan kekuatannya. 
Kenyataan itu kian diperkuat dengan cepat dan suburnya internasionalisasi 
perdagangan, sumber-sumber keuangan, multinational corporation (MNC). Pendek 
kata, time space compression telah mengomersialisasikan kehidupan manusia, tak 
terkecuali dalam dunia pendidikan. 

Bila mengikuti alur pemikiran sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu tentang 
neoliberalisme, bisa membuat kita sedih. Baginya, neoliberalisme tidak jauh 
berbeda dengan Marxisme pada masa lampau. Terutama, dalam hal membangkitkan 
kepercayaan yang luar biasa, utopia keyakinan perdagangan bebas (free trade 
faith). 

Tidak hanya pada mereka yang diuntungkan secara materi, seperti bankir, pemilik 
modal, bos perusahaan besar. Namun, mereka juga memperoleh pembenaran atas 
keberadaan paham itu, misalnya, para pejabat tinggi dan politikus yang 
memberhalakan kekuasaan pasar hanya demi alasan keefektifan ekonomi. 


Merasuk 

Dalam pandangan Bourdieu, mereka yang disebut terakhir itu cenderung akan 
menuntut dihapuskannya hambatan-hambatan administrasi atau politik yang dapat 
mengganggu kelancaran para pemilik modal dalam usaha mencari keuntungan 
individual yang sebesar-besarnya. Bahkan, mereka setuju dengan gagasan 
subordinasi negara bangsa (nation state) terhadap tuntutan-tuntutan kebebasan 
ekonomi bagi para pengendali pasar. Terutama penghapusan semua peraturan yang 
menghambat pasar. Mulai dari pasar kerja, pencegahan defisit dan inflasi, 
swastanisasi semua bentuk pelayanan publik, hingga pengurangan belanja umum dan 
sosial. 

Pandangan itu semakin diperkuat dengan pernyataan pakar pendidikan Henry A 
Giroux. Menurutnya, neoliberalisme telah merasuk dalam proses pendidikan 
prasekolah sampai perguruan tinggi (PT). Giroux melihat neoliberalisme sebagai 
ideologi yang sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat demokrasi. 
Neoliberalisme memberikan peranan yang sangat besar kepada fundamentalisme 
pasar. Artinya, segala sesuatu diserahkan kepada kemauan dan kekuatan pasar 
(Tilaar, 2005). Dalam neoliberalisme, kebebasan merupakan kebebasan dalam 
berbisnis. 

Kekhawatiran pendidikan kita berwajah neoliberalisme memang beralasan, terutama 
dengan kehadiran RUU BHP karena mengarah pada privatisasi atau swastanisasi. Di 
mana pelayanan publik sudah memasang target segmen khusus kepada masyarakat. 
Tujuannya, tidak lain demi mencari keuntungan. 

Kekhawatiran itulah yang membuat kehadiran RUU BHP yang tengah digodok di 
parlemen menuai kontroversi. RUU BHP lahir dari implementasi Undang-Undang 
Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Berdasarkan bunyi salah satu pasalnya, 
Pasal 53 ayat 1, yaitu penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang 
didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. RUU 
BHP berisi antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. 
Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dengan 
perguruan tinggi swasta (PTS). 

Dalam era BHP itu lebih mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek 
manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Bahkan, 
perguruan tinggi juga bebas untuk bekerja sama dengan institusi asing. Dalam 
neoliberalisme pendidikan peran negara dalam urusan pembiayaan pendidikan 
menjadi terlepas. Tentu saja, kita akan menolak bila pemerintah melepaskan 
tanggung jawabnya atas pembiayaan pendidikan. 


Tawaran 

Ada beberapa tawaran terhadap kehadiran RUU BHP itu, terutama untuk 
menghentikan kekhawatiran terhadap munculnya semangat neoliberalisme 
pendidikan. Pertama, selayaknya model pelayanan publik untuk hak-hak dasar 
warga negara lebih pantas dibenahi dengan modernisasi ketimbang privatisasi. 
Pasalnya, hak atas pendidikan merupakan hak pribadi yang berakar dalam 
kebutuhan pokok manusia. 

Manusia tidak bisa mempertahankan hidupnya tanpa suatu pendidikan. Kebutuhan 
akan pendidikan itu termasuk kebutuhan pokok yang tidak perlu direduksi dengan 
kebutuhan lain. Oleh karena itu, manusia mempunyai hak dan kewajiban sekaligus 
dalam pendidikan. 

Kedua, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang transparan dan akuntabel, 
diperlukan BHP yang berpola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat (public 
private partnership). Bukan privatisasi ataupun swastanisasi. Tampaknya, pola 
ini lebih sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU 
Sisdiknas). Artinya, pemerintah dituntut untuk menguraikan dan menuangkan apa 
yang telah diamanatkan pasal-pasal tersebut dalam RUU BHP. 

Usaha itu perlu dilakukan untuk menghindari pengelolaan pendidikan terperosok 
dalam jurang free fight liberalism. Dalam konteks itu, pemerintah harus 
membangun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan sosial. Artinya, 
pemerintah wajib memberikan beasiswa kepada mereka yang status ekonominya tidak 
mampu. 

Bukankan tugas negara itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Hal itu untuk 
menghindari hanya anak-anak dari kalangan keluarga kaya yang bisa menikmati 
pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan masyarakat miskin hanya gigit jari 
dengan memperoleh pendidikan ala kadarnya. 

Ketiga, hal lain yang juga perlu menjadi bahan pertimbangan adalah merangsek 
masuknya subsidi silang dalam Undang-Undang BHP. Itu merupakan bagian dari 
tanggung jawab sosial perguruan tinggi. Jadi, tidak hanya perusahaan atau 
lembaga ekonomi profit yang memikirkan dan menjalankan program sosial lewat 
corporate social responsibility (CSR). Lembaga pendidikan tinggi pun sudah 
seharusnya melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. 

Bila subsidi silang masuk dalam salah satu pasal UU BHP kelak, berarti akan 
mewajibkan seluruh perguruan tinggi di Tanah Air untuk melaksanakannya karena 
telah menjadi sebuah kebijakan nasional. Paling tidak, hal tersebut akan 
berimbas makin banyak warga negara yang mengenyam pendidikan tinggi dan semakin 
banyak pula potensi dari suatu bangsa untuk mencurahkan kemampuannya dalam 
peningkatan kualitas kehidupan bangsa. 

Keempat, menolak kehadiran BHP karena hanya akan menyengsarakan masyarakat 
kecil untuk memperoleh pendidikan yang layak. Benarlah apa yang diungkapkan 
Bourdieu bahwa pendidikan hanya mereproduksi perbedaan dalam masyarakat. 
Alangkah mengenaskannya kondisi pendidikan kita ke depan. Oleh karena itu, 
perdebatan panjang masih perlu diupayakan untuk mencari solusi terbaik. 


Penulis adalah alumnus Universitas Negeri Jakarta dan Ekstensi STF Driyarkara, 
wartawan di sebuah tabloid di Jakarta 


Last modified: 2/8/07 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to