http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=298049

Selasa, 07 Agt 2007,

Pasar Loak Surabaya v Web Server Leiden
Oleh Nanang Purwono 

Kontroversi Lagu Indonesia Raya
Kontroversi lagu kebangsaan Indonesia Raya antara 1 stanza dan 3 stanza terus 
menggelinding. Setidaknya, hal itu mencuat setelah pakar telematika Roy Suryo 
mengklaim bahwa dirinya telah menemukan teks lagu Indonesia Raya dalam 3 stanza 
atau kouplet dari sebuah "server di Leiden". Berbagai pihak lantas 
mengomentarinya, apakah tetap menggunakan 1 stanza atau 3 stanza, mengapa 
selama ini kita hanya menyanyikan 1 stanza saja, hingga adanya rencana 
menghadap presiden mengenai keberadaan 3 stanza itu.

Meski sudah ada pihak-pihak yang berkomentar, hingga kemarin (6 Agustus 2007) 
belum ada pihak yang bisa memberikan jawaban dengan pas, tepat, dan benar 
berdasar data-data sejarah otentik. 

Kekurangpuasan terhadap komentar dan tanggapan itu terjadi ketika saya 
membandingkan dengan data yang saya temukan pada buku sejarah lagu kebangsaan 
Indonesia Raya terbitan P.D. Percetakan Grafika Karya, Surabaya, 1967. 

Buku sejarah itu berjudul Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. 
Soepratman Pentjiptanja karya Oerip Kasansengari (almarhum), yang tidak lain 
adalah kakak ipar W.R. Soepratman, yang tinggal di Surabaya. Buku setebal 178 
halaman itu masih menggunakan ejaan lama dan terdiri atas bab-bab penting. 
Yaitu, Lagu Indonesia Raja (bab II), Riwajat W.R. Soepratman (bab III), dan 
Karya-Karya W.R. Soepratman (bab IV).

Pada bab I, terdapat kata sambutan dari Gubernur Kepala Daerah Provinsi Djawa 
Timur Brigadir Djenderal TNI Mochamad Wijono; Panglima Daerah Militer 
VIII/Brawidjaja, Major Djenderal TNI Mochamad Jasin; Wali Kota Kepala Daerah 
Kotamadya Surabaja, Kolonel TNI, R. Soekotjo, dan kata pengantar Oerip 
Kasansengari selaku pengarang dan keluarga almarhum W.R. Soepratman. 

Melihat pihak-pihak yang mendukung dalam penerbitan buku sejarah tersebut, 
tentu tidak diragukan lagi kebenaran yang termuat di dalamnya, termasuk teks 
lagu Indonesia Raja dalam 3 stanza atau kouplet.

"Leiden" v Gembong

Teks lagu Indonesia Raya temuan Roy melalui "server di Leiden" (2007) mirip 
dengan teks lagu Indonesia Raya yang terdapat pada buku sejarah temuan di pasar 
loak Gembong, Surabaya (2003). Kedua temuan itu sama-sama memiliki 3 stanza 
dengan ejaan lama yang belum disempurnakan. Namun, ada perbedaan fundamental 
pada refreinnya.

Jika refrein temuan Roy berbunyi "Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka", refrein 
yang termuat pada buku loakan itu tertulis "Indoneis, Indoneis, Merdeka, 
Merdeka". Nah, tentu kita harus berhati hati dan tidak gegabah untuk mengatakan 
bahwa temuan itu adalah teks asli Indonesia Raya.

Jika kita teliti lebih cermat di mana teks itu berada, kita bisa menilai teks 
mana yang dianggap lebih otentik. Pada teks temuan Roy, yang merupakan 
superimpose klip lagu kebangsaan Indonesia Raya berdurasi 4 menit, diperkirakan 
dibuat pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Itu terlihat pada visualisasi 
klip video yang menampilkan serdadu Jepang sedang berbaris.

Menurut Oerip Kasangsengari dalam bukunya bahwa lagu Indonesia Raya untuk kali 
pertama dinyanyikan lagi dengan menggunakan refrein aslinya setelah 9 Maret 
1942, ketika Jepang menaklukkan tentara Belanda. Refrein asli itu berbunyi 
"Indoneis, Indoneis, Merdeka, Merdeka". 

Selama 14 tahun (setelah Kongres Pemuda II pada 1928 hingga jatuhnya Belanda di 
tangan Jepang pada 1942) rakyat Indonesia dilarang pemerintah Hindia Belanda 
menyanyikan refrein aslinya. W.R. Soepratman mengerti bahwa kata Merdeka, 
Merdeka itu seperti halilintar menyambar di telinga Belanda dan guntur yang 
terus mengiang-ngiang di selaput telinganya. Maka, Soepratman mengganti refrein 
itu menjadi "Indonesia Raya, Mulia, Mulia" agar semangat persatuan dan gelora 
perjuangan tidak berhenti.

Panitia Lagu Kebangsaan

Sejak Kongres Pemuda II (1928) hingga masa pendudukan Jepang (1944), lagu 
Indonesia Raya semakin populer di seluruh pelosok tanah air. Karena itu, pada 8 
September 1944 dibentuklah Panitia Lagu Kebangsaan yang diketuai Bung Karno. 
Anggotanya adalah Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Soedibyo, Darmawidjaja, 
Koesbini, KH M. Mansjur, Mr Mohamad Yamin, Mr Sastromoeljono, Sanoesi Pane, 
Simandjuntak, Mr Achmad Soebardjo, dan Mr Oetojo untuk mengatur tata cara 
menyanyikan lagu tersebut. 

Panitia Lagu Kebangsaan itu menetapkan 4 putusan. Salah satu di antaranya 
berbunyi: Apabila lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinjanjikan satu kouplet 
sadja, maka ulangannja dilagukan dua kali. Apabila dinjanjikan tiga kouplet, 
maka ulangannja dilagukan satu kali, tetapi pada kouplet jang ketiga ulangannja 
dilagukan dua kali. 

Menurut saya, mungkin sejak itu para pendahulu kita lebih memilih menyanyikan 
satu stanza/kouplet saja yang tidak terlalu panjang. Akibatnya, stanza kedua 
dan ketiga terabaikan. Ketika akhir-akhir ini muncul kembali, kontroversi pun 
terjadi. Padahal, yang kita nyanyikan selama ini adalah lagu kebangsaan asli 
ciptaan W.R Soepratman. Kita juga menyanyikannya sesuai dengan putusan Panitia 
Lagu Kebangsaan (1944).

Selain itu, Panitia Lagu Kebangsaan mengubah lagu Indonesia Raya sehingga sejak 
8 September 1944, lagu kebangsaan mempunyai teks baru. Refreinnya menjadi 
"Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka." (1944). Tidak lagi "Indoneis, Indoneis, 
Merdeka, Merdeka" (1928) maupun "Indonesia Raya, Mulia, Mulia" (1928 - 1942).

Selain pada refrein, perubahan terdapat pada teks stanza I, bait I, baris 4. 
Jika versi 1928 berbunyi "Mendjaga pandu ibuku", versi 1944 berbunyi "Djadi 
pandu ibuku". Juga, pada bait II, baris 2: (1928) "Kebangsaan tanah airku", 
(1944) "Bangsa dan tanah airku". Pada bait III, baris 3: (1928)"Bangsaku, 
djiwaku semuanja", (1944) "Bangsaku rakjatku sem'wanja" dan bait IV, baris 1 & 
2: (1928) "Bangunlah rakjatnja, bangunlah bangsanja" diubah menjadi "Bangunlah 
djiwanja, bangunlah badannja".

Perubahan juga terjadi pada stanza II, bait I, baris 3: "Disanalah aku hidup" 
yang diubah menjadi "Disanalah aku berada" dan bait II, baris 2 & 3: "Pusaka 
kita semuanja, Marilah kita berseru" yang diubah menjadi "Pusaka kita 
sem'wanja, marilah kita mendo'a". Perubahan terakhir pada stanza III, bait I, 
baris 3: "Mendjaga ibu sedjati" diubah menjadi "Njaga ibu sedjati".

Jika saya mengamati teks yang terdapat pada klip video temuan Roy Suryo, saya 
bisa menyimpulkan bahwa teks lagu Indonesia Raya temuan Roy di "server Leiden" 
itu adalah teks hasil perubahan 1944. Jadi, bukan teks asli seperti yang 
dinyanyikan pada Kongres Pemuda II pada 1928. Kini terserah mana yang dianggap 
asli, hasil perubahan (1944) atau yang dinyanyikan di Kongres Pemuda II (1928). 

Miskin tapi Kaya

Lepas dari persoalan kontroversi, saya bangga dengan munculnya persoalan itu. 
Sebab, kita semua semakin mengerti isi lengkap dari lagu kebangsaan kita. Kita 
semakin mengenal bagaimana komponis kita yang hidupnya sangat sederhana dan 
bahkan miskin, tapi sangat kaya akan jiwa kebangsaan, semangat perjuangan untuk 
tidak mau dijajah bangsa mana pun. Itu terbukti dari makna setiap stanza yang 
ada.

Stanza I berisi rasa syukur yang ditujukan kepada tanah air, Nusantara, yaitu 
rangkaian kepulauan yang merupakan Persatuan Indonesia Raya. Stanza II berisi 
pemanjatan doa untuk tanah air supaya Indonesia bahagia. Stanza III berisi 
sumpah sakti dan kebulatan tekad untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka.

Semoga kita semua bisa memetik kebesaran W.R. Soepratman lewat semua lirik 
lagunya di ketiga stanza tersebut agar lebih memaknai hari kemerdekaan yang 
diperingati setiap 17 Agustus itu. 


Nanang Purwono, eksekutif produser JTV (E-mail: [EMAIL PROTECTED]

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke