KOMPAS
Sabtu, 25 Agustus 2007 

Khilafah" Bukan Sekadar Romantisme 

Muhammad Ismail Yusanto 

Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang diselenggarakan Hizbut Tahrir 
Indonesia pada 12 Agustus berjalan sangat sukses. 

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Konferensi Khilafah Internasional (KKI) akan 
menjadi ajang deklarasi pendirian khilafah tidak terbukti karena sejak awal KKI 
tidak dibuat untuk itu. KKI diselenggarakan hanya sebagai medium guna 
mengokohkan komitmen menegakkan syariah dan khilafah. 

Namun, penilaian Azyumardi Azra (Kompas, 18/8) bahwa Hizbut Tahrir Indonesia 
(HTI) seakan-akan meratapi berakhirnya kekuasaan ke-khilafah-an Turki Utsmani 
adalah tidak tepat. 

Sebagai Juru Bicara HTI, saya berulang kali menegaskan, perhelatan besar ini 
tidak dimaksudkan untuk mengenang atau memperpanjang kesedihan karena 
keruntuhan khilafah tidak layak untuk terus diratapi. Dan HTI sama sekali tidak 
pernah mengatakan bahwa khilafah yang harus ditegakkan adalah khilafah 
Ustmaniyah yang dulu berpusat di Turki, tetapi khilafah 'ala minhaji an nubuwah 
sebagaimana dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dan dipraktikkan para 
khulafaurrasyidin yang merupakan sahabat utama nabi. 

Satu hal penting dicatat, kewajiban menegakkan khilafah bukan didasarkan 
realitas historis atau kenyataan empiris, tetapi berdasarkan kewajiban yang 
diperintahkan Allah SWT dan dan Nabi Muhammad SAW sebagai jalan untuk 
menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah. 

Sejarah 

Namun, bukan berarti fakta sejarah tidak penting. Dari sejarah, kita bisa 
mengambil pelajaran, penyimpangan ke-khilafah-an dari tuntunan Al Quran dan as 
Sunnah pasti akan menimbulkan masalah. Karena itu, khilafah yang kita inginkan 
adalah khilafah yang menjalankan norma ideal Islam secara konsisten. 

Kita mengakui ada penyimpangan yang dilakukan para khalifah pada masa lalu, 
tetapi tidak berarti sistem khilafah itulah yang salah. Adalah tidak relevan 
menyalahkan sistem yang ideal hanya dengan melihat kesalahan para pelakunya. 

HTI juga tidak pernah menyatakan, seluruh sejarah khilafah adalah baik semua. 
Ada juga khilafah yang menyimpang dari norma ideal Islam. Namun, kekecewaan 
terhadap keburukan sebagian khalifah tidak boleh menutupi fakta historis 
tentang sejarah keemasan khilafah yang lain. Ini jelas bukan merupakan tindakan 
yang fair. 

Banyak sejarawan mencatat secara obyektif kegemilangan khilafah. Will Durant 
dalam The Story of Civilization, misalnya, menuliskan, para khalifah telah 
memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besar bagi 
kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah menyiapkan berbagai 
kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama 
berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena 
seperti itu setelah masa mereka. 

Dr Ali Muhammad al-Shalabi dalam kitab al-Daulah al-Utsmaniyah, 'Awamilu 
al-Nuhud wa Asbabu al-Suqut dengan jelas menggambarkan peran ke-khilafah-an 
Utsmani dalam melanjutkan kegemilangan peradaban Islam yang dibangun para 
khulafa sebelumnya. Maka tak berlebihan bila Paul Kennedy dalam The Rise and 
Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 
2000, menulis tentang ke-khilafah-an Utsmani dengan: Imperium Utsmani, lebih 
dari sekadar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu 
membentuk kesatuan iman, budaya, dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari 
yang dimiliki Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. 

Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam telah melampaui Eropa dalam 
bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya luas, terpelajar, perairannya amat 
bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas dan perpustakaan lengkap 
dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, 
pengobatan, dan aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu ada di 
depan. 

Islam di Indonesia 

Dalam sejarah pengembangan Islam Indonesia, peran khilafah Ustmaniyah juga amat 
menonjol. Banyak ulama, termasuk sebagian yang dikenal sebagai Wali Songo, 
dikirim oleh khalifah. Dia turut membantu kesultanan Aceh melawan penjajah 
Portugis saat itu. Dalam buku Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar Raniri 
disebutkan, Kesultanan Aceh menerima bantuan militer berupa senjata disertai 
instruktur dari khilafah Utsmaniyah. 

Adalah hak Azyumardi Azra untuk mengatakan, gagasan khilafah harus 
dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Namun, penggunaan 
tafsir dari Al Baqarah ayat 30 untuk menolak sistem khilafah perlu 
dipertanyakan. 

Ulama terkemuka mana yang menjadikan ayat ini sebagai dasar penolakan terhadap 
sistem khilafah? Imam al-Qurthubi dalam buku tafsirnya al-Jami li Ahkam 
al-Qur'an al-Azhim (Juz 1/264) justru menjelaskan sebaliknya tentang ayat ini. 
Dia menulis, "Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat 
khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang 
diriwayatkan dari al-a'sham (yang tuli) terhadap syariat". 

Menyatukan umat Islam memang berat, tetapi bukan utopis. Masalahnya terletak 
pada kesadaran. Bila muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan 
di bawah naungan khilafah, upaya penyatuan ini bukan mustahil. Penyatuan ini 
dimungkinkan karena karakter utama risalah Islam itu sendiri yang ditujukan 
untuk seluruh umat manusia (kâffat[an] li an-nâsh) dan untuk memberikan 
kebaikan bagi seluruh alam (rahmat[an] li al-'âlamîn). 

Dalam konteks Indonesia, ide khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke 
arah lebih baik. Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti memurukkan 
negeri ini. Ide khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap 
penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram negeri ini dalam 
berbagai aspek. 

Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan kapitalisme global bisa 
dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu, konferensi ini bisa dibaca sebagai 
bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan 
Indonesia dan upaya menjaga kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk 
penjajahan yang ada. 

Muhammad Ismail Yusanto Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia 

Kirim email ke