REPUBLIKA
Kamis, 06 September 2007

Identitas Kampus Islam 
Oleh : H Fuad Nashori 


H Fuad Nashori 
Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, 
Yogyakarta, Ketua Asosiasi Psikologi Islam (API) Indonesia

Konferensi Perguruan Tinggi Islam (PTIS) se-Indonesia akan berlangsung 8-9 
September 2007. Dalam acara yang rencananya dibuka oleh Wakil Presiden M Jusuf 
Kalla ini para pimpinan perguruan tinggi Islam se-Indonesia bertemu dan 
membincangkan berbagai masalah yang dihadapi perguruan tinggi Islam.

Dalam kesempatan ini saya ingin membuka kembali wacana tentang universitas 
Islam. Persoalan ini penting untuk kita bahas karena seringkali identitas 
keislaman perguruan tinggi Islam hanya terletak pada visi, misi, tujuan 
perguruan tinggi, namun belum dapat diturunkan dalam kurikulum maupun dalam 
berbagai macam hal operasional lainnya. Kalau dalam perguruan tinggi Islam 
dapat masuk sejumlah mata kuliah keislaman yang jumlahnya mencapai belasan 
hingga puluhan SKS, namun ia belum memiliki paradigma ilmu yang sesuai dengan 
pandangan dunia Islam (Islamic world view). Tulisan ini juga akan melihat 
pentingnya universitas Islam melihat aspek moralitas saat menyeleksi mahasiswa 
baru.

Kriteria Universitas Islam 
Saya ingin mengutip salah satu pandangan tentang Universitas Islam. Dalam buku 
The Concept of Islamic University yang ditulis oleh Hamid Hasan Bilgrami dan 
Sayid Ali Asyraf diungkapkan bahwa ciri Universitas Islam adalah memiliki 
konsep pendidikan yang bersandar pada tauhid. Selain itu, konsep ilmu yang 
diajarkan di universitas ini juga bersandar pada Alquran dan Alhadis, staf 
pengajarnya menjunjung tinggi nilai Islam, dan sebagainya. Adakah sains yang 
Islami? Dalam kurun lebih kurang 30 tahun ini, ilmuwan Islam mengembangkan 
wacana yang namanya islamisasi pengetahuan (Islamization of knowledge). 
Tokoh-tokoh utamanya di antaranya adalah Ismail Raji Al Faruqi, Syed Muhammad 
Naquib Al Attas, Osman Bakar, dan sebagainya.

Gagasan islamisasi ilmu ini dilatarbelakangi oleh konsep ilmu pengetahuan yang 
diterima dan dikembangkan umat Islam masih menggunakan paradigma sains Barat. 
Sains Barat, sebagaimana kita ketahui bersama, dikembangkan dengan menafikan 
kebenaran yang bersumber dari kitab suci. Kebenaran menurut mereka disandarkan 
pada akal dan realitas. Ciri-ciri sains Barat sebagaimana diungkapkan 
Kuntowijoyo adalah sekuler dengan menggunakan etika humanisme. Hal ini berbeda 
dengan paradigma ilmu Islam yang bersifat integralistik dengan menggunakan 
etika humanisme-teosentris.

Dalam buku The Islamization of Knowledge, Ismail Al Faruqi mengusulkan agar 
mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan 
khazanah ilmu pengetahuan modern. Proyek ini dilestarikan oleh sejumlah 
perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, Universitas Islam Antar Bangsa 
(International Islamic University) Malaysia mewajibkan setiap mahasiswa strata 
satu (program sarjana), strata dua (program master), hingga strata tiga 
(program doktor) untuk mengambil mata kuliah yang namanya The Islamization of 
Knowledge.

Gagasan yang sarat nilai Islam ini mendapat tanggapan yang luas dari ilmuwan 
Islam. Hal ini terbukti dengan makin maraknya wacana ekonomi Islam, psikologi 
Islam, hukum Islam, Ilmu Politik Islam, dan sebagainya. Namun, sebagian ilmuwan 
Islam tidak menyetujui konsep Islamisasi pengetauan yang ditawarkan Al Faruqi 
dan kawan-kawannya itu. Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Sains mengungkapkan 
pendapat yang menunjukkan dirinya adalah salah seorang yang tidak menyetujui 
gerakan Islamisasi pengetahuan model Al Faruqi. Salah satu kritik Kuntowijoyo 
adalah masih menggunakan paradigma Barat. Gerakan Islamisasi ilmu masih 
terjebak dalam kerangka keilmuan Barat.

Apapun wacana yang dikembangkan, islamisasi pengetahuan atau ilmu sebagai 
sains, yang penting gagasan ini dapat diturunkan dalam wujud yang operasional. 
Ia seharusnya dapat masuk ke setiap kurikulum program studi yang ada di 
perguruan tinggi Islam. Ia seharusnya masuk dan memberi warna ke dalam setiap 
mata kuliah yang ada pada setiap program studi universitas/perguruan tinggi 
Islam. Karenanya, menurut penulis, tidaklah cukup bila suatu perguruan tinggi 
Islam hanya menawarkan mata kuliah keislaman seperti tauhid, ibadah, akhlak, 
Alquran, Alhadis, pemikiran dan peradaban Islam, serta kepemimpinan Islam. 
Sebagai contoh kongkret, program studi psikologi universitas Islam mestinya 
berisi: psikologi umum Islami, psikologi kepribadian Islami, psikologi 
pendidikan Islami, psikologi perkembangan Islami, psikologi sosial Islami, 
psikologi klinis Islami, psikologi industri dan organisasi Islami, statistik 
psikologi Islami, psikodiagnostika Islami, dan sebagainya.

Bagi penulis, salah satu tugas yang perlu dilakukan secara bersama-sama oleh 
perguruan tinggi Islam di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya adalah 
menghidupkan gagasan untuk pengembangan ilmu yang beraparadigma Islam. 
Agenda-agenda Konferensi Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia juga semestinya 
menyentuh masalah ini.

Seleksi mahasiswa 
Tidak mudah mendapatkan mahasiswa. Universitas Islam khususnya dan perguruan 
tinggi Islam umumnya mendapatkan mahasiswa yang tidak berhasil menembus 
perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, identitas Islam kadang membuat 
seorang calon mahasiswa rela untuk meninggalkan peluang kuliah di perguruan 
tinggi negeri. Saya menemukan sejumlah mahasiswa di Universitas Islam Indonesia 
yang memilih UII dan rela meninggalkan panggilan dari Rektor PTN terbesar di 
Indonesia. Alasannya adalah kuliah di universitas Islam menjadikan mahasiswa 
memahami ilmu dan Islam sekaligus.

Sedikit dan banyaknya pendaftar ternyata mempengaruhi seleksi. Seleksi akan 
memilah mahasiswa yang diinginkan dan mahasiswa yang tidak memenuhi syarat. 
Yang jadi persoalan adalah kriteria yang digunakan untuk seleksi tersebut. 
Sebagian besar perguruan tinggi Islam menggunakan pengetahuan agama Islam 
sebagai dasar untuk melakukan seleksi terhadap mahasiswa yang akan mereka 
terima, di samping kriteria yang lain. Menarik untuk mengangkat pandangan dari 
Bilgrami dan Ashraf sebagaimana mereka tulis dalam buku The Concept of Islamic 
University. Dua orang tersebut menawarkan aspek moralitas sebagai komponen 
penting dalam seleksi mahasiswa baru.

Moralitas adalah masalah kebaikan dan keburukan. Seleksi berdasarkan moralitas 
adalah seleksi dengan meletakkan kebaikan dan keburukan sebagai dasar untuk 
penerimaan mahasiswa baru. Mahasiswa yang tersleksi secara akademik tentu harus 
memiliki syarat minimal. Namun, kekuatannya di aspek moralitas diharapkan dapat 
menjadi kekuatan bagi yang bersangkutan untuk bertindak secara benar.

Dengan seleksi moralitas ini akan dapat disaring mana mahasiswa yang baik 
(berpotensi baik) dan mahasiswa yang buruk (berpotensi buruk). Dengan cara 
seleksi yang baik ditambah dengan ketersediaan orang untuk diseleksi akan 
dimungkinkan mahasiswa yang dimiliki universitas/perguruan tinggi Islam akan 
berbeda dengan generasi sebelumnya.

Sekalipun demikian, universitas/perguruan tinggi Islam yang memposisikan 
dirinya sebagai bengkel (tempat memperbaiki sumber daya manusia) bagi mahasiswa 
baru dapat saja tetap menerima mahasiswa yang moralitasnya tidak memadai. Kalau 
ini dilakukan, maka proses pendidikan selama menempuh pendidikan tinggi harus 
dibuat sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan dapat mengalami transformasi 
moral.

Pendampingan atau pembinaan kepada mahasiswa harus dilakukan dengan menekankan 
pengembangan moral. Staf pengajar dan pegawai administratif juga harus 
meletakkan moralitas sebagai dasar seluruh pemikiran, sikap, dan perilaku, 
karena mereka akan menjadi lingkungan yang menumbuhkembangkan moralitas 
mahasiswa. Begitu juga dengan proses belajar mengajarnya harus dijalankan 
dengan berparadigma moral. Ia memiliki kekuatan untuk memproses sedikit demi 
sedikit mahasiswa untuk menjadi pribadi yang bertransformasi.

Bila lulusan universitas Islam sudah menyelesaikan studinya dan mereka mencari 
atau menciptakan sendiri pekerjaan, maka mereka akan menjadi kekuatan baru bagi 
bangsa bahkan umat manusia. Orang muda yang profesional ini akan mengubah peta 
moral dunia.Bagaimana menurut Anda?

Ikhtisar
- Banyak perguruan tinggi Islam yang menjalankan kegiatan pendidikannya dengan 
paradigma Barat.
- Kini sedang berkembang program islamisasi ilmu pengetahuan untuk menjadikan 
kampus-kampus Islam bisa memiliki paradigma keilmuan yang berbeda dari Barat.
- Selain soal paradigma, semestinya perguruan tinggi Islam juga menjadikan 
moral sebagai komponen penting dalam menyeleksi mahasiswa barunya.
- Pegawai, pimpinan, dan staf pengajar di kampus Islam juga harus menciptakan 
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan moral mahasiswanya

Kirim email ke