http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=305722
Jumat, 28 Sept 2007, Antara Sydney dan New York Oleh Goei Tiong Ann Jr Paradoks Getir Hutan Indonesia "Merusak Hutan Menghancurkan Kehidupan"(Ahli Botani Manuel Fidalgo) -------- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan, Indonesia akan memperjuangkan kompensasi atas emisi karbon dari negara-negara maju yang diserap hutan-hutan tropis kita. Wapres menegaskan, Indonesia akan menunjukkan bukti aktivitas pihak-pihak internasional yang bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Dia menambahkan, bukan hanya tugas Indonesia untuk menjaga hutan kita, tapi tanggung jawab dunia (Jawa Pos, 27/9). Pernyataan Wapres perlu dikritisi. Sebab, pernyataan itu seolah mengesankan kesalahan hanya ada pada pihak lain. Negara-negara maju yang dituding Wapres sebenarnya mulai menyadari andilnya dalam merusak hutan tropis. Lihat, mereka berani merogoh kocek untuk menyelamatkan hutan tropis kita. Misalnya, dalam ajang KTT APEC di Sydney (8-9 September), Presiden SBY mendapatkan bantuan 30 juta dolar Australia dari pemerintah Australia untuk pengelolaan hutan Kalimantan. Jumlah itu bisa meningkat menjadi 100 juta dolar Australia dalam periode empat tahun. Bantuan juga didapat dari AS. Dalam pertemuan khusus dengan Presiden SBY di Sydney (9/9), Bush memberikan 20 juta USD yang berasal dari pajak warganya guna mengatasi penggundulan hutan di negeri kita. Bantuan-bantuan tersebut merupakan upaya menekan emisi CO (karbon) sehingga "global warming" bisa ditekan. *** Hutan dan kaitannya dengan pemanasan global memang kian menjadi isu sentral dan signifikan. Bahkan dalam Forum Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB di New York (25/9), Presiden SBY menyerukan kepada dunia internasional untuk turut terlibat dalam upaya penanggulangan dampak perubahan iklim, di antaranya lewat bantuan menyelamatkan hutan tropis. Presiden RI juga menggalang kemitraan dengan para pemimpin dari negara-negara pemilik hutan tropis. Memang kalau kita bicara pemanasan global, hutan tropis seperti di negeri kita bisa menjadi gantungan terakhir untuk menekan pemanasan itu. Hutan tropis punya kemampuan menetralisasi buangan karbon. Hutan tropis juga mampu menyerap secara alami kandungan karbon di udara dan mengendalikan kenaikan suhu ataupun meredam gas rumah kaca. Sayang, kerusakan hutan kita makin sulit dihentikan. Bahkan, saat Presiden RI berbicara di New York guna menyelamatkan hutan tropis, kebakaran dalam skala besar tengah menghabiskan 13 kawasan hutan lindung di Kalbar. Dua heli PMK jenis Kamov 32 A yang disewa Dephut sebesar Rp 26 miliar dari Korsel pun tak bisa mengatasi kebakaran tersebut (Jawa Pos, 25/9). Selain kebakaran, illegal logging turut memacu laju deforestasi. Untuk praktik seperti itu, tentunya kesalahan tidak bisa ditimpakan pada negara-negara maju. Kebijakan pemerintah, yang diawali rezim Orba, hanya setengah hati untuk melestarikan hutan kita. Bahkan, para aktivis lingkungan seperti Greenpeace atau Walhi menyebut kebijakan kehutanan Orba yang berlangsung hingga rezim sekarang amat eksploitatif dan destruktif. UU Pokok Kehutanan No 5/1967, UU Pokok Pertambangan No 11/1967, PP No 21/197 tentang Pemberian Konsesi untuk Hak Pengusahaan Hutan adalah regulasi yang memberikan legitimasi bagi kerusakan dan memacu laju deforestasi. Pada dasawarsa 1970-an, angka deforestasi seluas 300 ribu hektare per tahun. Pada 1980-an, meningkat menjadi 600 ribu hektare per tahun. Pada 1990-an menjadi 1 juta hektare per tahun. Jumlah total deforestasi nasional 1985-1997, belum termasuk Papua, tercatat seluas 1,6 juta hektare per tahun. Deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektare per tahun untuk lima pulau besar, termasuk Maluku dan Papua. Berdasar data terbaru, deforestasi 2001-2003 menjadi di bawah 1,5 juta hektare per tahun.Tidak heran seperti diungkapkan Greenpeace, kepunahan hutan kita mencapai 70 persen. *** Silakan pemerintah RI menuntut kompensasi pada negara-negara maju atas kerusakan hutan. Itu menjadi hak kita. Tapi, jangan lupa kita juga perlu memikirkan hutan kita punya environmental right yang harus dibela. Hak seperti itu perlu disuarakan karena hutan jelas tidak bisa membela dirinya. Untuk itu, sebenarnya yang dibutuhkan ialah penegakan hukum. Lihat para cukong dan pembalak liar atau perusak hutan lain yang hanya divonis ringan. Tak heran, birokrat dan aparat kita tak takut untuk ikut bermain dalam praktik tersebut. Silakan saja kita menyalahkan negara maju yang juga gemar menyalahkan negeri tropis seperti RI. Namun, pemerintah RI juga harus berani menunjuk hidung sendiri. Tidak etis terus menyalahkan negara-negara maju sambil menuntut kompensasi dari mereka, tetapi di dalam negeri, kita justru tak bisa menghentikan laju kerusakan dan deforestasi. Kita belum mencapai level bangsa yang dewasa, jika hanya bisa menyalahkan kerusakan hutan ini ada pada pihak lain. Jadi, antara KTT APEC di Sydney dan High Level Meeting on Climate Change di New York, ada paradoks getir terkait hutan kita. Padahal, hutan adalah harapan kita untuk terhindar dari pemanasan global. Hutan juga paru-paru dunia sehingga kita tetap bisa menghirup oksigen kehidupan. Kerusakan hutan tidak hanya mengancam kehidupan segenap flora dan fauna, tapi juga kehidupan dan masa depan umat manusia. Mari selamatkan sisa hutan kita dari tangan-tangan serakah dan tamak yang tak bermartabat. Goei Tiong Ann Jr, rohaniwan dan aktivis Lingkungan, tinggal di Roma, Italia