KOMPAS Rabu, 03 Oktober 2007 Data Korupsi Soeharto?
Harry Seldadyo September adalah bulan perlawanan korupsi. Di antara rentetan kasus korupsi yang mengemuka di bulan ini, kasus Soeharto tetap yang paling menonjol. Ini karena ada kado Rp 1 triliun yang diberikan kepada sang "Jenderal Besar", selain penolakan MA atas data Time Asia yang dipublikasikan 24 Mei 1999. Sebaliknya, StAR Initiative Bank Dunia-PBB menggebrak publik dengan menempatkan sang penerima penghargaan FAO 1984 itu di posisi pertama liga korupsi dunia. Dalam laporannya StAR Initiative juga menyodorkan data (hal 11). Asal data Pertanyaannya, bisakah kita bergantung pada data itu? Ada beberapa hal yang bisa didiskusikan di sini. Pertama, soal sumber data. Patut dicatat, StAR Initiative tidak melakukan investigasi baru, ia hanya mendaur ulang data Transparansi Internasional (TI) yang pernah dituang dalam Global Corruption Report 2004 (hal 13). Data ini juga pernah muncul dalam The Guardian (24/3/2004) di laporan khusus soal Indonesia dan Timor Timur. Menariknya, tentang Soeharto, TI menyebut Time Asia sebagai sumber data. Padahal, data Time Asia ini ditolak mentah-mentah oleh MA. Kedua, data korupsi Soeharto dalam StAR Initiative, TI, The Guardian, dan Time Asia adalah produk investigasi jurnalistik. Dalam laporan TI ataupun StAR Initiative, beberapa kali diberikan catatan atas akurasinya. TI menulis ".the estimates.are extremely approximate." Hal senada juga dinyatakan StAR Initiative. Pertanyaan bagi kita, apakah ada kandungan yuridis dalam data ini? Hampir terang, jawabannya "tidak". Artinya, kalau data ini dipakai, penuntut Soeharto harus siap ditembak lagi oleh MA di titik yang persis sama. Ketiga, hal serupa juga muncul jika data ini dipersoalkan secara ilmiah. Korupsi adalah sebuah ruang gelap. Banyak eksperimen metodologis yang mencoba menyingkap tabirnya. Untuk masuk pada isu magnitudo korupsi, benturan pertama yang harus dihadapi adalah presisi data. Sejauh ini tidak ada teknik estimasi yang bisa mengklaim punya presisi tinggi dalam menggambarkan magnitudo korupsi. Ini menjadi penjelas mengapa di tingkat makro, korupsi didekati dari persepsi untuk kemudian dilahirkan sebuah indeks. Di tingkat mikro, masih mungkin kita mengestimasi besaran suap yang dibayar perusahaan ke petugas perizinan, Pajak, Bea dan Cukai, dan lain-lain. Namun, di tingkat individual, isu sudah bergeser ke sisi hukum. Keempat, seberapa lebar Soeharto harus didefinisikan? Time Asia memakai kata Suharto Inc, the Family Firm yang di dalamnya ada nama enam anaknya. Jadi ini terbatas pada keluarga batih. Namun, siapakah sebenarnya "pemegang saham" Soeharto Inc? Soeharto sendiri? Terlibatkah para (mantan) menantu, kroni, atau proksi Soeharto? Rentang definisi ini akan menentukan seberapa makmur kerajaan Bapak Pembangunan Indonesia itu. Kelima, estimasi 15 miliar-35 miliar dollar AS tentu tergantung rentang definisi Soeharto Inc dan metode penghitungannya. Ia bisa terlalu besar atau justru terlalu kecil. Kleptokrat, apalagi yang telah puluhan tahun berkarat, tentu paham betul di mana celah untuk sembunyi. Tak mudah kita melacaknya seraya berharap akan hasil yang berpresisi tinggi, apalagi menyeretnya ke bui. Apa daya? Merujuk data korupsi Soeharto saja, kita harus berhadapan dengan problem pembuktian. Ini menunjukkan betapa tebalnya magnitudo persoalan Soeharto. Namun, kasus Soeharto bukan ketiak ular, kita masih bisa mengambil beberapa jalan pilihan. Pertama, mengingat korupsi telah dianggap sebagai kasus extraordinary, tindakan yang diambil juga harus extraordinary. Pendekatan legalistik-formal telah terbukti gagal karena terlalu banyak aral menjegal. Kalau boleh saya sarankan, lupakanlah. Kita perlu menjajal pendekatan politik, dari yang ekstrem, semisal nasionalisasi perusahaan anak dan kroninya, hingga yang moderat, semisal meja perundingan. Lagi pula, data kejahatan Soeharto tidak tunggal. Pintu kamar penjara masih banyak bisa dibuka untuk banyak kasus agar beliau menikmati hari tuanya di sana. Kedua, lakukan kilas balik rentetan kebijakan yang pernah dibuatnya, lalu kejar siapa yang pernah mengambil manfaatnya. Kebijakan Soeharto pada masa lalu punya potensi tinggi menciptakan rentseekers. Segelintir orang telah menjadi hartawan karena kepada kroninya, Soeharto amat dermawan. Membangun basis data untuk kepentingan itu masih dimungkinkan ketimbang mencari harta Soeharto. Lelah kita menegakkan benang basah. Ketiga, telusuri perilaku bisnis dan pergerakan aset anak dan kroni Soeharto. Ini cuma punya dua syarat. Satu, jangan ada lagi pejabat pengkhianat yang menggunting dalam lipatan. Sungguh tak bisa dimengerti, bagaimana bisa dua pejabat tinggi hukum susul-menyusul memberi ruang gerak lebar bagi aliran dana mencurigakan anak Soeharto? Yang menarik, keduanya tidak buta hukum dan politik. Lalu, dua, lakukan tindakan extraordinary. Sekali lagi, extraordinary. Keempat, saat ini kita bak mengharapkan hujan harta Soeharto dari langit, tetapi air tempayan BLBI kita tumpahkan. Para garong BLBI ini bukan tak terdata. Magnitudo curiannya pun fantastis; jadi keterlibatan para petinggi kala itu pasti sangat logis. Detail data pun bisa kita bangun di sini. Mengapa kita melepas punai di tangan? Kelima, jangan lupa garong-garong "kecil'' dan tukang peras di Imigrasi, Bea dan Cukai, kantor pajak, bandara, kantor polisi, pengadilan, kelurahan, hingga tukang palak berseragam dan tak berseragam di jalan. Kita abai mengepal tangan besi pada mereka. Mungkin karena kita berpikir itu kelas "recehan", padahal total volume penyedotan dana di sini tak kalah fantastis. Tak sulit melakukan enumerasi data di sini. Akhirnya, kita bisa tetap membuka tangan jika Bank Dunia, PBB, dan negara-negara maju memang tak sekadar bermulut manis. Namun, jika lidah mereka tak bertulang, bisa mati kita mencari jarum dalam jerami. Kasus korupsi dari teri hingga kakap persis ada di pelupuk mata, tak logis menyebut lantai berundak padahal tak pandai kita menari. Harry Seldadyo Mahasiswa PhD Ekonomi Politik di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda