http://www.suarapembaruan.com/News/2007/10/18/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
RI Mulai Andalkan Impor Kayu Lapis Tiongkok 
[JAKARTA] Produksi kayu lapis atau plywood Indonesia semakin merosot sehingga 
tak mampu lagi menguasai pasar dunia. Seiring ketidakmampuan memenuhi target 
ekspor, Indonesia bahkan mulai mengandalkan impor kayu lapis dari Tiongkok. 
Ironis, karena semula Tiongkok merupakan importir terbesar kayu lapis 
Indonesia. 

Menurut data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) pada 1992 volume ekspor 
kayu lapis Indonesia ke Tiongkok mencapai 1,6 juta meter kubik (m3). 

Namun, pada 2005 Tiongkok dan Malaysia justru menjadi penguasa pasar kayu lapis 
di dunia, menggeser posisi Indonesia. 

Padahal, sebagai produsen kayu lapis terbesar saat ini, sesungguhnya Malaysia 
sangat mengandalkan pasokan bahan baku dari hutan Indonesia. Data Apkindo 
menunjukkan, pada 2006 volume ekspor kayu lapis Malaysia mencapai 4,95 juta m3 
per tahun. 

Pada tahun yang sama Tiongkok, bahkan telah mampu mencetak angka ekspor sebesar 
8,30 juta m3/tahun. Sementara Indonesia, dengan susah payah pada 2006 hanya 
sanggup mengekspor sekitar 3 juta m3/tahun. 

Wakil Ketua Umum Apkindo Abbas Adhar mengatakan, tahun ini Indonesia juga akan 
sulit memenuhi target ekspor, karena hampir semua pabrik kayu lapis yang masih 
beroperasi tidak mampu memproduksi secara optimal. 

"Bahan bakunya tidak ada. Selain itu, banyak pabrik yang tutup karena tidak 
sanggup menanggung biaya produksi yang semakin tinggi. Terus terang, pasar kita 
sudah direbut negara-negara yang dulu merupakan pengimpor kayu lapis kita," 
kata Abbas di Jakarta, Rabu (17/10). 

Dijelaskan, berbagai upaya sudah dilakukan pengusaha untuk merebut pasar atau 
sekadar bertahan, tetapi tanpa dukungan pemerintah, semua tidak ada artinya. 

Apkindo menyesalkan, sejauh ini Departemen Kehutanan (Dephut) tidak peka dan 
tidak membantu mengatasi persoalan yang dihadapi industri kayu secara 
keseluruhan. Sebaliknya, Apkindo menilai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan 
justru semakin menyulitkan pengusaha. 

Misalnya, soal iuran DR dan PSDH untuk kayu berdiameter sedang dan kecil, sejak 
tahun lalu pihaknya sudah meminta agar jangan disamakan dengan kayu diameter 
besar. 

Saat bahan baku semakin sulit, Apkindo mencoba beralih menggunakan kayu 
diameter sedang dan kecil, untuk menekan biaya produksi dan juga efisiensi 
bahan baku. 

"Tapi, kalau iuran yang harus kami bayar tidak ada bedanya, industri malah akan 
semakin rugi," kata Abbas. 


Besi Tua 

Saat ini besarnya pungutan dana reboisasi yang ditetapkan Dephut adalah US$ 
16/m3 dan Rp 64.000/ m3 untuk Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Apkindo 
meminta, agar kayu berdiameter 30-49 cm dikenai pungutan DR sebesar US$ 5/m3 
dan PSDH sekitar Rp 32.000/m3. 

Menurut Abbas, jika permintaan itu ditanggapi, setidaknya akan meringankan 
beban pengusaha yang kini juga semakin terhimpit dengan masalah hukum terkait 
pemberantasan pembalakan liar. 

"Memang operasi pembalakan liar ini tujuannya bagus, tapi yang kami lihat 
pelaksanaannya tidak terkoordinasi, sehingga lagi-lagi industri kita yang kena 
getahnya sementara kayu-kayu curian itu bebas dinikmati negara lain," papar 
dia. 

Apkindo memperkirakan, bila pemerintah tidak segera mengambil tindakan 
penyelamatan, kurang dari dua tahun mendatang industri kayu lapis Indonesia 
yang dibangun dengan investasi total US$ 3 miliar, akan tinggal kenangan. 

Saat ini saja (data per Agustus 2007), dari 67 pabrik yang masih beroperasi 
hanya sekitar 20 unit yang berproduksi normal. 

"Sisanya, on-off. Mati belum, tetapi juga sulit berproduksi. Industri yang dulu 
amat kita banggakan sebagai penyumbang ekspor terbesar nonmigas, terancam 
menjadi besi tua yang tidak ada harganya. Sekitar 400.000 pekerja terancam 
kehilangan pekerjaan bila industri ini tidak berlanjut," ujar dia. [H-13] 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 17/10/07 

Reply via email to