NEGERI SALAH URUSNYAH PAMAN BOLONG

HEHE,GODAM MENANGGEPIN SI HOLY UNCLE

hehehe,inih bener2 aselinyah singkek 

yang lagih merajuk bagindanyah.

diah bener bener kembaran si engkoh Hong Gieh..

yang saklaluh idup di atas comberan bangsa Indonnyah..

sembari menjilat ke atas, dan menuding ke bawah..

POKOKNYAH SANG BAGINDA KUDU DIJILATIN SUNGPAYA BANGHAGIAH.

AH.singkek dasar singkek..yang kameleon!!

>>>>>>>>>>>>>
holyuncle <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

***Orang Amerika selalu bangga karena memiliki Abraham Lincoln yang 
berkorban nyawa untuk memerangi diskriminasi. Mao Zedong melakukan 
longmarch dari desa ke desa untuk mengepung komprador Chiang Kai Sek 
dan kroninya. Siapakah di antara kita yang bersedia mati untuk 
menentang kedunguan-kedunguan kita sebagai bangsa?

***Menentang kedunguan-kedunguan kita sebagai bangsa, kenapa harus 
bersedia mati ? Bandingkan standar hidup rakyat Indonesia di zaman 
OrLa, OrBa dan OrReformasi, lalu pelajari kenapa paling baik di 
zaman OrBa. Sayangnya OrBa sudah didefinasikan sama dengan evil, 
sehingga tidak ada yang berani memulai kembali program tangan besi 
Soeharto dan dwifungsi TNI.

Negeri Salah Urus 
Rabu, 07/11/2007 

KEMANA pun kita pergi dan kepada siapa pun kita bicara, kita sering 
menemui kesulitan untuk menjawab pertanyaan sederhana berikut, 
Mengapa Indonesia yang dikaruniai sumber daya alam berlimpah, 
sebagian besar penduduknya masuk dalam kategori miskin? 

Sejumlah versi jawaban bisa kita sampaikan. Misalnya, jumlah 
penduduk Indonesia sangat besar dan menempati banyak pulau sehingga 
mempersulit mobilitas dan koordinasi sumber daya nasional. 
Pertambahan jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya sekitar 4 juta 
jiwa, sama dengan jumlah penduduk Singapura.Tentu tidak adil 
membandingkan Singapura, sebagai negara kota,dengan Indonesia. 

Versi jawaban lain menyangkut soal keberagaman penduduk dari segi 
suku, agama, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya. Keberagaman ini 
di satu sisi memang merupakan kekayaan, di sisi lain merupakan beban 
karena membangun sinergi dalam konteks kebhinnekaan membutuhkan 
energi sosial yang lebih besar.

Jepang dan Korea Selatan tidak menghadapi persoalan ini karena 
masyarakatnya sangat homogen. Ada yang mengaitkan jawaban dengan 
usia dan evolusi suatu negara-bangsa. Indonesia masih berusia muda 
sehingga masih membutuhkan waktu untuk melakukan eksperimentasi 
model pembangunan dan kontrak sosial masyarakatnya. Jadi, jangan 
dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Serikat, yang telah mengalami 
periode pendewasaan ratusan tahun. 

Masih banyak jawaban yang bisa diberikan. Tak perlu canggung, bila 
perlu kita mengutip pandangan tokoh-tokoh besar ilmu sosial. 
Misalnya, suatu bangsa miskin karena modal sosialnya rendah 
(Douglass North, Francis Fukuyama), etos kerja dan disiplinnya 
rendah (Max Weber, Gunnar Myrdal), mengalami defisit demokrasi dan 
kebebasan memilih (Von Hayek, Milton Friedman,Amartya Sen),dan 
seterusnya. 

Bila yang ditanya seorang ahli filsafat, maka mungkin muncul 
jawaban, kita terbelakang karena belum mengalami fase pencerahan 
(aufklarung). Bangsa-bangsa lain lebih menekankan logos, sementara 
kita masih berkutat dalam alam mitos. Jangan lupa, Eropa mengalami 
masa kebangkitan pada abad pertengahan karena keberanian 
masyarakatnya untuk berpikir bebas. Sapere aude (beranilah 
berpikir)! 

Bila ahli ilmu ekonomi yang ditanya,mungkin dari banyak kemungkinan, 
jawaban yang disampaikan adalah model pembangunan ekonomi yang 
salah. Model pembangunan yang kita anut, yang telah melahirkan 
ketimpangan tajam antara yang kaya dan miskin,ternyata seperti 
mengulang kesalahan yang terjadi di Amerika Latin. Kita semua tahu, 
negara-negara Amerika Latin, yang telah ratusan tahun mempraktikkan 
model pembangunan propasar bebas, masih tetap menghadapi persoalan 
kemiskinan yang parah. 

Beberapa di antaranya bahkan menjadi pasien langganan (repeated 
patient) dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dari belahan bumi 
ini pula muncul pemimpin-pemimpin baru yang sekarang menjadi pujaan 
banyak kaum muda, Hugo Chavez di Venezuela dan Evo Morales di 
Bolivia. Para ahli manajemen juga memiliki pandangan berbeda. Bagi 
Peter Drucker, tokoh manajemen modern,negara miskin lebih tepat 
disebut sebagai negara salah urus (mismanaged country). 

Siklus manajemen, dari perencanaan sampai kontrol, semuanya 
amburadul. Perencanaan penuh penggelembungan (mark-up) dan ilusi, 
kontrol penuh basa-basi. Karena salah urus terus-menerus inilah 
Pertamina hanya menguasai sekitar 8% ladang minyak di Indonesia, 
sisanya digarap asing.Kontrak Freeport diperpanjang 50 tahun dengan 
kondisi kontrak yang merugikan bangsa. 

Blok Cepu,yang kaya cadangan minyak itu, jatuh ke tangan 
Exxon.Tanker Pertamina dijual lagi setelah dengan susah payah 
dibeli. Setengah bodoh,setengah salah urus, dan setengah sengaja—
ekonomi nasional juga dirontokkan oleh terapi salah dari IMF. 
Bankbank ditutup saat kondisi sedang tidak menguntungkan. Bank-bank 
rekapitalisasi dijual dengan harga murah. 

Ketika beban utang akibat krisis menumpuk dan para pentolan IMF 
ternyata berada di balik investor yang memborong aset-aset nasional, 
kita cuma bisa bersilaturahmi melupakan dosa masa lalu. Karena salah 
urus,dalam industri automotif kita hanya bangga dengan 
sebutan "binatang"pada merek- merek yang beredar, seperti Kijang 
(Toyota), Kuda (Mitsubishi), Panther (Isuzu). 

Karena salah urus, provinsi yang kaya sumber daya alam, seperti 
Aceh, Riau dan Papua, justru memiliki jumlah penduduk miskin yang 
besar.Karena salah urus pulalah struktur ekspor kita setelah lebih 
dari 60 tahun merdeka masih tetap sama dengan pada zaman Belanda, 
industri ekstraktif dan perkebunan. Sebutan "Macan Asia" yang pernah 
kita sandang juga lepas karena pada saat krisis ternyata kita jinak 
seperti kucing. 

Pada saat "naga" (China) bergerak dan "gajah" (India) menari, 
sayap "garuda" (Indonesia) ternyata letih dan terbebani. Kita masih 
terus menyebut masalah yang sama terusmenerus: korupsi, salah urus, 
ekonomi biaya tinggi. Sudah sedemikian jauhkah salah urus terus-
menerus mendera kita? 

Apakah tawaran solusi perbaikan tata kelola (good governance) 
dianggap terlalu memakan waktu dan menguras kesabaran kita? Haruskah 
suatu kebangkitan bangsa selalu dimulai dengan revolusi sosial? 
Masih banyak lagi pertanyaan yang harus kita renungkan. Persyaratan 
apakah yang belum kita penuhi untuk menjadi bangsa yang besar? 

Orang Amerika selalu bangga karena memiliki Abraham Lincoln yang 
berkorban nyawa untuk memerangi diskriminasi. Mao Zedong melakukan 
longmarch dari desa ke desa untuk mengepung komprador Chiang Kai Sek 
dan kroninya. Siapakah di antara kita yang bersedia mati untuk 
menentang kedunguan-kedunguan kita sebagai bangsa?

*** * Penulis, Direktur Program Pascasarjana IBII, Jakarta. 

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/negeri-
salah-urus.html



 


 


Reply via email to