http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1322

a.. 21/11/2007 10:40 WIB


Aceh Negeri Paradoks

[ penulis: Azhar Peurelak | topik: Pemerintahan ]


Aceh sebuah negeri paradoks, kaya tapi rakyatnya miskin. Aceh memiliki 
sumberdaya publik perkapita terbesar ketiga di Indonesia tapi pada saat yang 
sama merupakan daerah dengan jumlah orang miskin terbesar keempat di Indonesia. 
Atau 47,8 persen dari total populasinya adalah penduduk miskin dengan 
pendapatan kurang dari Rp 130.000 per kapita per bulan (data Bappeda 2006). 

Jumlah penganggur 1,3 juta jiwa (28,2 persen) di tengah sumberdaya alam yang 
melimpah. Kenyataan itu selalu dijadikan alasan untuk pembenaran diri dan 
cuci-tangan pejabat di Aceh atas keterpurukan yang terjadi. Pada era sebelum 
otonomi, kita berdalih pemerintah Pusat yang tidak berkeadilan dalam distribusi 
pendapatan negara. Pada masa konflik kita menyatakan keadaan konflik yang jadi 
penyebab kemiskinan. Lalu, pada saat otonomi diberikan dan damai datang, 
kemudian kita bingung tentang apa penyebab kemiskinan itu. 

Selama bertahun-tahun kita menikmati APBD yang berlimpah, tapi dalam pengamatan 
saya, tidak ada sesuatu yang berbekas, kecuali rumah para pejabat yang 
besar-besar dan rumah para kontraktor. Ada anekdot, bahwa pemilik rumah besar 
di Aceh hanya dua; pejabat dan kontraktor. Kalau bukan mereka, ya mantan 
keduanya. ABPD kita ibarat, abee di ateuh tunggok. Setiap tahun hilang tanpa 
bekas yang berarti. 

Selama bertahun-tahun pula, kita tidak pernah tahu apa program yang ada pada 
dinas-dinas dan pada badan-badan, baik di daerah tingkat I maupun tingkat II. 
Barangkali sudah menjadi keharusan bagi para pelaksana proyek/program di negeri 
ini untuk meminimalisir partisipasi publik dalam proses perencanaan 
pembangunan. Publik tak pernah tahu berapa anggaran yang disetujui dewan, siapa 
sasarannya, apa tujuannya, apa tolok ukur keberhasilannya dan siapa pelaksana 
proyeknya. Sering kita baca di koran bahwa daya serap anggaran oleh dinas-dinas 
rendah, dan itu dijadikan indikator kinerja dari dinas-dinas. 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kemampuan untuk menghabiskan anggaran justru 
dianggap sebagai sebuah kinerja? Cukupkah hal itu dianggap sesuatu yang valid 
untuk mengukur kinerja sebuah dinas atau badan dan pemerintah secara 
keseluruhan? Tidakkah ada sesuatu yang salah dengan pengelolaan anggaran 
negara/daerah ini? 

Menurut saya, sebuah negara ataupun pemerintahan daerah yang memiliki otonomi 
yang besar, adalah ibarat sebuah korporasi (perusahaan). Keberhasilan suatu 
perusahaan harus dapat diukur dengan barometer yang jelas, manfaatnya harus 
dapat dirasakan oleh para pemegang saham, komunitas masyarakat sekitar, para 
pelanggan, para supplier dan stakeholder lainnya. 

Manfaat atau benefit yang memiliki economic value bagi pemegang sahamnya 
dirasakan dalam bentuk yang bukan hanya sekedar laba. Pemegang saham harus 
dapat menikmati return yang tinggi dengan risiko yang reasonable, atau 
sebaliknya risiko yang rendah namun return yang reasonable. Masyarakat di 
sekitar korporasi dapat menikmati kesempatan kerja dari keberadaan suatu 
perusahaan, supplier dapat menikmati harga yang baik atas produk/barang yang 
dipasoknya dan pelanggan dapat menikmati kepuasan atas kualitas produk yang 
diharapkan dengan tingkat harga yang pantas. 

Demikian pula sebuah pemerintahan, rakyat sebagai pemegang saham dapat 
menikmati fasilitas publik yang memadai, apakah fasilitas publik tersebut dalam 
bentuk jalan umum yang terpelihara, lingkungan yang bersih dengan drainase yang 
baik, fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit yang ramah dan 
memadai, ataupun pendidikan yang bermutu. 

Aceh, memang sebuah negeri yang paradoks. Tatkala gubernur sakit, beliau enggan 
dirawat di rumah sakit yang dibiayai oleh pemerintahannya sendiri, bahkan 
beliau lebih suka dirawat di Penang (Malaysia) demikian juga halnya pejabat 
lain dan orang-orang kaya Aceh lainnya. Ketika anaknya terserang demam berdarah 
dengue, lagi-lagi Gubernur lebih menyukai anaknya dirawat di Rumah Sakit 
Harapan Bunda, sebuah Rumah Sakit Swasta yang tentu diyakini lebih baik 
pelayanannya. 

Apakah kualitas Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) kurang baik? Mengapa 
Gubernur tidak meningkatkan kualitas pelayanan Rumah Rakit (BPK) Zainoel Abidin 
sehingga memenuhi standard pelayanan yang dia inginkan? Kurangkah fasilitas 
medisnya? Kurangkah tenaga para medis dan tenaga medisnya? Kenapa pula tidak 
ditambah? Pernahkah audit dilakukan terhadap RSUZA sehingga diketahui apa yang 
menjadi kekurangan dan kendala bagi peningkatan kualitas pelayanan untuk 
kemudian dilakukan langkah-langkah perbaikan? Saya kira pemerintah tidak pernah 
menghitung berapa rasio Pasien dengan Dokter, Pasien dengan Paramedis dan 
indikator pelayanan lainnya sebagainya. 

Kalau kita berprasangka baik, mungkin semua itu akan dilakukan setelah 
pembangunan Rumah Sakit baru berlantai lima yang di sebelahnya selesai 
dibangun. Pada sisi lain saya sempat terpikir kalau Rumah Sakit Baru berlantai 
lima tersebut dalam proses pembangunan, dalam waktu yang tidak terlalu lama 
tentu kebutuhan dokter juga akan bertambah sangat besar, mengapa rekrutmen PNS 
untuk dokter pada tingkat provinsi hanya dua dokter. Inikah kualitas 
perencanaan kita? 

Reaktif... yah. Itulah satu ciri dari perencanaan kita. DBD Watch juga sebuah 
bentuk tindakan reaktif pada sisi yang lain. Mungkin DBD Watch begitu penting 
karena memang begitu banyak genangan air di Banda Aceh, got-got yang mampet di 
mana-mana, kita tidak pernah tahu got-got di Banda Aceh berujung dimana karena 
airnya tidak pernah mengalir, bahkan di Lampriek sendiri got-nya dijamin 
mampet. Masihkah sanggup DBD Watch mengawasi isi rumah-rumah penduduk untuk 
melihat bak mandi dikuras teratur ? Apakah DBD Watch sebuah solusi untuk sebuah 
manajemen yang sangat biasa-biasa saja di Banda Aceh? Gambaran di atas 
merupakan sebuah contoh kasus, bahwa perbaikan pelayanan publik akan 
ditingkatkan disamping perbaikan ekonomi yang merupakan janji gubernur pada 
masa-masa awal pemerintahannya. Apakah telah dilaksanakan sampai dengan saat 
ini? 

Good dan clean governance 

Bila kita menginginkan pengelolaan dana negara dapat memberikan manfaat yang 
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka pemerintah perlu melakukan 
prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu Fairness, Transparancy, 
Accountability dan Responsibility yang biasanya diterapkan dalam suatu 
perusahaan. Jalankan pemerintahan ibarat sebagai sebuah perusahaan publik yang 
memberikan value added bagi para stakeholdersnya. 

Jalankan pemerintahan ini dalam prinsip fairness. Tempatkan mereka yang 
memiliki integritas, punya visi dan komitmen kerakyatan, semangat pengabdian 
dan ketulusan sebagai pejabat publik. Dalam pengamatan saya, Gubernur justru 
mempertahankan pejabat yang memiliki reputasi sebagai pecundang dan miskin 
prestasi. 

Jalankan pemerintahan dengan prinsip transparansi. Dengan website; 
www.nad.go.id atau apapun namanya yang dapat memberikan semua informasi tentang 
program-program kerja pemerintah dan sekaligus menampung aspirasi masyarakat 
tentang program-program yang disiapkan. Bukan hanya sekedar informasi yang 
gitu-gitu aja . Melalui situs ini pemerintah dapat memberikan 
informasi-informasi tentang program-program yang akan dan sudah dilaksanakan 
dalam tahun pertama, kedua dan seterusnya; berapa anggaran untuk program 
tersebut dan siapa pelaksana proyek. Melalui situs tersebut, pemerintah juga 
dapat meminta pendapat publik tentang kelemahan dari program yang dibuat dan 
sekaligus saran dan urun rembug dalam memperbaikinya sehingga sebuah program 
dapat berjalan dengan tingkat kegagalan yang minimal. Setiap program harus 
memiliki tujuan, sasaran, standar pencapaian dan indikator-indikator yang 
terukur sebagai ukuran kinerja. 

Jalankan pemerintahan dengan prinsip accountability. Setiap pengeluaran 
anggaran negara harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administratif 
keuangan maupun secara etik dan moral. Saat ini semua program di Aceh secara 
administratif dapat dipertanggungjawabkan, namun secara moral tidak. Selama dua 
tahun terakhir saya di Banda Aceh dan bolak balik ke Peureulak, sepanjang ruas 
jalan yang saya lalui terutama di kawasan pegunungan Seulawah selalu dalam 
perbaikan yang tidak pernah tuntas. Secara administratif tidak ada yang salah 
dengan proses perbaikan jalan tersebut, tapi secara moral sangat bermasalah. 
Prinsipnya, pemerintah bisa saja membangun jalan yang beraspal beton karena 
dana yang tersedia saat ini mencukupi untuk itu, dan dapat tahan selama 30 
tahun dengan perawatan yang minimal. Namun, hal tersebut belum menjadi 
prioritas utama dalam penyusunan anggaran (baik APBN maupun APBA). 

Jalankan pemerintahan dengan prinsip responsibility. Kegagalan dalam 
pelaksanaan program kerja harus membawa konsekuensi kepada pejabat pelaksana. 
Di negeri ini jabatan dianggap sebagai sebuah anugerah karena pejabat pemangku 
jabatan tidak pernah mengenal konsekuensi dari kegagalan suatu tugas. Kegagalan 
dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Kita mengganggap hal yang biasa terhadap 
kegagalan Seulawah NAD Air, kita menganggap sesuatu yang biasa terhadap 
prestasi tak jelas dari Badan Pengelola Kawasan Sabang (BPKS), kita menganggap 
hal yang biasa-biasa saja terhadap proyek pembangunan kereta api di Aceh yang 
telah gagal dan kita juga biasa-biasa saja terhadap program Pemberdayaan 
Ekonomi Rakyat (PER) yang gagal total. Pejabat perencana dan pelaksana pun 
tidak merasa malu atas kegagalan itu semua. Sampai kapankah hal-hal seperti ini 
akan terus berlangsung? 

Reponsibility selama ini dianggap selesai, sepanjang administrasi keuangan 
beres dan tidak terindikasi adanya tindak pidana korupsi. Sebuah proyek/program 
tak pernah diukur bagaimana tepat/tidaknya sasaran, target pencapaian, kualitas 
proyek/program dan indikator kinerja lainnya. Selama ini pejabat yang dianggap 
berhasil yang mampu menyerap anggaran sampai dengan 100 persen sesuai dengan 
yang telah direncanakan tanpa mengukur apa value yang disampaikan kepada 
rakyat. Pernahkah mereka mempertanyakan adakah implikasi terhadap pertumbuhan 
ekonomi, pengurangan pengangguran, pelayanan publik yang makin baik, lingkungan 
yang makin baik dan sebagainya dari suatu program yang dijalankannya? 

Apabila pemerintah Aceh yang baru ini menjalankan pemerintahannya dengan 
mengacu pada keempat prinsip di atas, paling tidak pada awal masa 
pemerintahannya telah menjalankan salah satu dari empat prinsip diatas, kita 
akan merasakan suatu sinyal bahwa pemerintahan ini telah menuju clean 
governance and good government. Tapi selama sembilan bulan pemerintahan ini 
berjalan, belum ada tanda-tanda sebuah perubahaan. Mungkin saya harus percaya 
dengan statement ini, Apabila suatu pemerintahan tiada terobosan 
diawal-awalnya, jangan diharap sebuah perubahan akan terjadi sepanjang rejim 
pemerintahan tersebut . Paling tidak, dengan percaya pada statement diatas, 
maka kita akan tidak berharap, dengan tidak berharap maka kita tidak akan 
kecewa. 





*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Aceh Development Strategy 
(CADS).

Kirim email ke