KOMPAS
 Kamis, 22 November 2007

 
Wajib Militer dan Hak Sipil 


Usman Hamid 

Departemen Pertahanan berencana menerapkan wajib militer melalui RUU Komponen 
Cadangan. Tujuannya, memperbesar serta memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI 
sebagai komponen utama penyelenggaraan pertahanan negara. 

Dari perspektif reformasi sektor keamanan, RUU ini diperlukan untuk 
melaksanakan UU Pertahanan Negara. Dalam keadaan damai, tidak diperlukan banyak 
tentara. Tentara yang banyak diperlukan jika negara dalam keadaan darurat. Itu 
hanya bisa dimobilisasi dengan cepat melalui wajib militer (wamil). Muara wamil 
adalah untuk mengisi struktur TNI. 

Jika urgen, adakah ancaman asing terhadap negara kita? Ancaman seperti apa, 
dari mana, berapa lama, siapa yang merumuskan itu. Bukankah lebih dulu harus 
dibentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang merumuskan strategic defense 
review? 

Hingga kini masih dipertanyakan implementasi UU Pertahanan Negara dan UU TNI. 
Selain DPN belum terbentuk, bagaimana perpres penghapusan bisnis militer, 
pemindahan yurisdiksi peradilan militer ke peradilan sipil, hingga penyelesaian 
kasus-kasus alutsista, korupsi, dan pelanggaran HAM oleh militer. 

Pemerintah sering beralasan, reformasi macet karena rendahnya budget 
pertahanan. Lemahnya institusi sipil menjadi kendala. Bukankah wamil perlu 
biaya besar? Bukankah kontrol sipil masih lemah? Banyak hal harus dibenahi 
sebelum menerapkan wamil. Di sini, RUU Komponen Cadangan kehilangan urgensi. 
Kita harus menunggu tentara kita profesional dan supremasi sipil dalam 
demokrasi berjalan stabil. 

Menolak wamil 

Bolehkah warga negara menolak wamil? Boleh. Bela negara tak bisa hanya dilihat 
dari perspektif kemiliteran, tetapi juga HAM dan realitas praktik negara-negara 
di dunia. 

Lee Daehun, pemerhati perdamaian Universitas Bradford, Inggris, menyatakan, 
menolak wamil adalah bagian kebebasan yang harus dilindungi, yang dijamin Pasal 
18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (kebebasan berpikir, 
berkeyakinan, dan beragama). 

Untuk pertama kali, Resolusi Ke-46 Komisi HAM PBB tahun 1987 menyatakan 
penolakan wamil sebagai praktik yang beralasan dari kebebasan berpikir, 
berkeyakinan, dan beragama. Yakni keyakinan yang melarang mengangkat senjata. 

Daehun menunjuk Denmark dan Jerman sebagai pionir yang menerima penolakan 
sebagai hak yang diakui, baik karena alasan agama, keyakinan, kemanusiaan, 
maupun politik. Argentina punya undang-undang wamil (the Mandatory Military 
Service), tetapi tak diwajibkan sejak 2004. Alasannya, kekurangan budget, 
pengalaman Perang Malvinas/Falklands (1982), dan skandal pembunuhan Omar 
Carrasco di markas militer (1994). 

Menghapus wamil 

Meski pernah diterapkan saat Perang Dunia, Perang Korea, dan Perang Vietnam, 
wamil Australia dihapus sejak Pemerintah Whitlam (1972). Belgia membatalkan 
wamil tahun 1994. Bosnia-Herzegovina mencabut wamil 1 Januari 2006. Pada 31 
Desember 2004, Menhan Republik Czech mengumumkan keputusan pemerintah menghapus 
wamil. 

Hongaria menghapus wamil November 2004. Kini Hongaria membangun tentara 
profesional, dengan penekanan pada tentara-tentara kontrak yang secara sukarela 
ikut wamil untuk mendapat penghasilan per empat tahun. India tidak memiliki 
wamil sejak kekuasaan Inggris dan sejak kemerdekaan 1947. India memiliki banyak 
tentara, terbesar kedua di dunia, tetapi itu didasarkan pada kerelaan bukan 
kewajiban. Ada banyak negara yang tak lagi mewajibkan warganya untuk wamil, 
apalagi mengancam warganya dengan sanksi pidana. 

Resolusi Ke-88 Komisi HAM PBB tahun 1998 mendesak tiap negara untuk mengambil 
langkah yang diperlukan agar penolak wamil (conscientious objectors) tak 
dikenai sanksi pidana. 

Kedua, membentuk lembaga independen guna menguji kelayakan keberatan tanpa 
prasangka. Ketiga, menyediakan alternatif bela negara yang harmonis. 

Keempat, keberatan bagi yang sudah wamil pun harus diizinkan (tanpa 
pemidanaan). Kelima, memajukan perlindungan para penolak sebagai pengungsi. 

Setelah menegaskan bahwa penolakan itu adalah hak, PBB merekomendasikan 
negara-negara anggota agar membuat sistem bela negara alternatif. Kini realitas 
politik dunia menunjukkan mayoritas negara menolak wamil sebagai satu-satunya 
bela negara. Bagaimana dengan kita? 

Usman Hamid Koordinator Kontras 

Kirim email ke