Assalamu'alaikum wr. wb.
    Ustadz ykh., selama ini yang saya fahami adalah bahwa ketika seorang  
muslim memiliki budak wanita maka dia boleh menyetubuhi budak tersebut  tanpa 
lebih dulu menikahinya. Saya mohon ustadz menjelaskan apakah  pemahaman saya 
itu benar dan kalau salah bagaimana sebenarnya pandangan  Islam tentang hal 
ini. Atas jawaban ustadz saya haturkan jazakumullah  khair.
    Wass. wr. wb.
  Acep
acep
      Jawaban    Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
    Apa yang anda sebutkan itu memang benar dan dibenarkan langsung oleh  
Al-Quran Al-Karim, kitab suci yang kita absolutkan itu. Dalam banyak  ayatnya, 
Al-Quran memang membolehkan laki-laki menyetubuhi budaknya  sendiri. Tetapi 
bukan budak orang lain.
    Hal itu antara lain terdapat dalam ayat-ayat ini:
    Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap  isteri-isteri 
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya  mereka dalam hal ini 
tiada tercela. (QS Al-Mu'minun: 5-6)
    Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap  perempuan yang 
yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi:  dua, tiga atau empat. 
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku  adil, maka seorang saja atau 
budak-budak yang kamu miliki. Yang  demikian itu adalah lebih dekat kepada 
tidak berbuat aniaya.(QS An-Nisa: 3)
    Dan wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki  sebagai 
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang  demikian mencari 
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan  untuk berzina. Maka 
isteri-isteri yang telah kamu ni'mati di antara  mereka, berikanlah kepada 
mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan  tiadalah mengapa bagi kamu 
terhadap sesuatu yang kamu telah saling  merelakannya, sesudah menentukan mahar 
itu. Sesungguhnya Allah Maha  Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisa: 24)
    Pembolehan itu kalau kita lihat di masa sekarang ini, sekilas memang  
terasa aneh dan tidak sesuai dengan rasio kita. Sebab kita hidup di  abad 21, 
di mana perbudakan sudah menjadi barang yang asing. Kalau  sampai kita membaca 
ayat Al-Quran yang seolah menerima konsep  perbudakan, bahkan pemiliknya sampai 
boleh menyetubuhinya, tentu saja  kita akan merasa sangat heran.
    Namn pahamilah bahwa status budak itu amat hina. Budak dianggap  sebagai 
makhluk setengah binatang dan setengah manusia. Maka tindakan  menyetubuhi 
budak di masa itu jangan dianggap sebagai kenikmatan,  justru sebaliknya, 
masyarakat di masa itu memandangnya sebagai sebuah  tindakan yang hina dan 
kurang terhormat. Meski pun dihalalkan oleh  Al-Quran.
    Dan ketika Al-Quran menghalalkan laki-laki menyetubuhi budaknya, hal  itu 
merupakan dispensasi atau keringanan belaka. Terutama buat mereka  yang tidak 
mampu menikahi wanita terhormat dan mulia. Masyarakat  sendiri tidaklah 
memandang bahwa menyetubuhi budak itu sebagai sebuah  fasilitas penyaluran 
aktifitas seksual yang 'wah' di masa itu. Sebab  memang sudah menjadi konvensi 
bahkan sebuah kelaziman.
    Berbeda dengan zaman sekarang, kalau kita mendengar kebolehan  menyetubuhi 
budak, seolah kita merasakan kehebohan tersendiri. Padahal  para budak wanita 
itu bukan sekedar wanita murahan atau rendahan,  bahkan dianggap sebagai 
separuh binatang. Anda bisa bayangkan, mana ada  orang di masa itu mau 
menyetubuhi makhluk setengah manusia dan setengah  binatang. Pastilah mereka 
lebih memilih untuk menikah dengan para  wanita mulia, ketimbang menggauli 
budak. Kalau sampai ada yang  menyetubuhinya, mereka pun merasa kurang 
terhormat.
    Mari kita renungkan kembali keadaan sosiol kemasyarakatan di masa  itu, 
yakni abad ketujuh masehi, tentu pandangan kita akan berbeda jauh.
    Ketahuilah bahwa perbudakan itu sendiri bukan produk agama Islam.  
Perbudakan itu sudah ada jauh sebelum Al-Quran ini diturunkan. Di zaman  Romawi 
dan Yunani Kuno, Persia kuno, China dan hampir seluruh peradaban  manusia di 
masa lalu telah dikenal perbudakan. Dan semua itu terjadi  berabad-abad sebelum 
Islam datang.
    Sedangkan negeri Arab termasuk negeri yang belakangan mengenal  perbudakan, 
sebagaimana belakangan pula dalam mengenal kebejadan moral.  Minuman keras, 
pemerkosaan, makan uang riba, menyembah berhala,  poligami tak terbatas dan 
budaya-budaya kotor lainnya bukan berasal  dari negeri Arab, tetapi justru dari 
peradaban-peradaban besar manusia.
    Ini penting kita pahami terlebih dahulu sebelum memvonis ajaran  Islam. 
Negeri Arab adalah peradaban yang terakhir mengenal  budaya-budaya kotor itu 
dari hasil persinggungan mereka dengan dunia  luar. Karena orang Makkah itu 
biasa melakukan perjalanan dagang ke  berbagai negeri. Justru dari 
peradaban-peradaban ‘maju’ lainnya itulah  Arab mengenal kejahiliyahan. Perlu 
anda ketahui bahwa berhala-berhala  yang ada di depan ka‘bah yang berjumlah 360 
itu adalah produk impor.  Yang terbesar di antaranya adalah Hubal yang asli 
produk impor dari  negeri Yaman.
    Saat itu dunia mengenal perbudakan dan belaku secara international.  Yaitu 
tiap budak ada tarif dan harganya. Dan ini sangat berpengaruh  pada mekanisme 
pasar dunia saat itu. Bisa dikatakan bahwa budak adalah  salah satu komoditi 
suatu negara. Dia bisa diperjual-belikan dan  dimiliki sebagai investasi 
layaknya ternak.
    Dan hukum international saat itu membenarkan menyetubuhi budak milik  
sendiri. Bahkan semua tawanan perang secara otomatis menjadi budak  pihak yang 
menang meski budak itu adalah keluarga kerajaan dan  puteri-puteri pembesar. 
Ini semua terjadi bukan di Arab, tapi di  peradaban-peradaban besar dunia saat 
itu. Arab hanya mendapat imbasnya  saja.
    Dalam kondisi dunia yang centang perenang itulah Islam diturunkan.  Bukan 
hanya untuk dunia Arab, karena kejahiliyahan bukan milik bangsa  Arab sendiri, 
justru ada di berbagai peradaban manusia saat itu.
    Maka wajar bila Al-Quran banyak menyebutkan fenomena yang ada pada  masa 
itu termasuk perbudakan. Bukan berarti Al-Quran mengakui  perbudakan, tetapi 
merupakan petunjuk untuk melakukan kebijakan di  tengah sistem kehidupan yang 
masih mengakui perbudakan saat itu.
    Dan ingat, tidak ada jaminan bahwa fenomena perbudakan itu telah  hilang 
untuk selamanya. Karena kejahiliyahan itu selalu berulang. Tidak  ada jaminan 
bahwa kebobrokan umat terdahulu yang telah Allah hancurkan,  di masa mendatang 
tidak kembali melakukannya. Termasuk perbudakan.
    Kebetulan saja kita hari ini hidup di masa di mana perbudakan  kelihatannya 
sudah tidak ada lagi. Tapi ingat, perbudakan baru saja  berlalu beberapa ratus 
tahun yang lalu di Barat yang katanya modern.  Jadi tidak ada ayat Al-Quran 
yang habis masa berlakunya.
    Di sisi lain, perhatikan Al-Quran dan Sunnah, hampir semua hukum  yang 
berkaitan dengan perbudakan itu berintikan pembebasan mereka.  Semua pintu yang 
mengarah kepada terbukanya pintu pembebasan budak  terbuka lebar. Dan 
sebaliknya, semua pintu menuju kepada perbudakannya  tertutup rapat. Dengan 
demikian, secara sistematis, jumlah budak akan  habis sesuai perjalanan waktu.
    Sementara itu, perbudakan tidaklah semata-mata penindasan, tapi  pahamilah 
bahwa di masa itu perbudakan adalah komoditi. Harga budak itu  cukup mahal. 
Seseorang dalam sekejap akan jatuh miskin bila secara  tiba-tiba perbudakan 
dihapuskan oleh Islam. Seorang tuan yang memiliki  100 budak, akan menjadi 
fakir miskin bila pada suatu hari perbudakan  dihapuskan. Padahal dia 
mendapatkan budak itu dari membeli dan  mengeluarkan uang yang cukup besar 
serta menabung bertahun-tahun. Bila  hal itu terjadi, di mana sisi keadilan 
bagi orang yang memiliki budak,  sedangkan dia ditakdirkan hidup di zaman di 
mana perbudakan terjadi dan  menjadi komoditi.
    Karena itu Islam tidak secara tiba-tiba menghapuskan perbudakan  dalam satu 
hari. Islam melakukannya dengan proses kultural dan  ‘smooth’. Banyak sekali 
hukuman dan kaffarah yang bentuknya membebaskan  budak. Bahkan dalam syariah 
dikenal kredit pembebasan budak. Seorang  budak boleh mencicil sejumlah uang 
untuk menebus dirinya sendiri yang  tidak boleh dihalangi oleh tuannya.
    Dengan cara yang sistematis dan proses yang alami, perbudakan hilang  dari 
dunia Islam jauh beberapa ratus tahun sebelum orang barat  meninggalkan 
perbudakan.
    Kalau hari ini ada orang yang bilang Al-quran mengakui perbudakan,  maka 
dia perlu belajar sejarah lebih dalam sebelum bicara. Pendapatnya  itu hanya 
akan meperkenalkan kepada dunia tentang keterbatasan ilmunya  dan pada 
gilirannya akan menjadi bahan tertawaan saja.
    Dengan sudah berakhirnya era perbudakan manusia oleh sebab turunnya  agama 
Islam, maka otomatis urusan kebolehan menyetubuhi budak pun tidak  perlu 
dibicarakan lagi. Sebab perbudakannya sendiri sudah dileyapkan  oleh syariah.
    Mungkin ada yang bertanya, kalau perbudakan sudah lenyap, mengapa Al-Quran 
masih saja bicara tentang perbudakan?
    Untuk menjawab itu kita perlu melihat lebih luas. Marilah kita  membuat 
pengandaian sederhana. Seandainya suatu ketika nanti entah  kapan, terjadi 
perang dunia yang melumat semua kehidupan dunia. Lalu  pasca perangitu 
peradaban umat manusia hancur lebur, mungkin juga  peradaban manusia kembali 
lagi menjadi peradaban purba, lantas umat  manusia yang jahiliyah kembali jatuh 
ke jurang perbudakan manusia, maka  agama Islam masih punya hukum-hukum suci 
yang mengatur masalah  perbudakan.
    Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatllahi wabarakatuh,
    Ahmad Sarwat, Lc.
  
       
---------------------------------
Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.

Kirim email ke