RIAU POS

      Amrozi Minta Dipancung 
           
      03 Desember 2007 Pukul 08:08  
      Laporan JPNN, Jakarta
      Tiga terpidana mati bom Bali I 2002, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali 
Ghufron alias Muklas minta dieksekusi secara pancung. Terpidana bom Bali yang 
menewaskan lebih dari 200 orang itu menganggap tata cara eksekusi mati yang 
diatur UU Nomor 2/1964 melalui eksekusi regu tembak "Tidak Islami''. Achmad 
Michdan dari Tim Pembela Muslim (TPM) mengatakan, permintaan Amrozi Cs akan 
ditindaklanjuti melalui pengajuan uji material (judicial review) di Mahkamah 
Konstitusi (MK). 
       
      ''Draf pengajuannya sedang disusun. Kami segera mendaftarkannya ke MK,'' 
kata Michdan saat dihubungi JPNN, Ahad (2/11).

      Melalui uji material, MK diharapkan dapat menggugurkan pemberlakuan UU 
itu. Selanjutnya, DPR kelak dapat mengamandemen dengan memasukkan eksekusi 
pancung sebagai salah satu pilihan tata cara pelaksanaan hukuman mati.

      Selain sesuai dengan syariat, lanjut Michdan, eksekusi pancung lebih 
cepat mematikan daripada eksekusi dengan cara ditembak. ''Urat kematian itu 
dekat dengan leher, sehingga pemancungan akan lebih cepat mematikan,'' jelas 
Michdan. Sebaliknya, eksekusi dengan cara ditembak membuat terpidananya 
mengalami siksaan luar biasa.

      Menurut Michdan, berbagai upaya uji material bukan dalih kliennya untuk 
menunda pelaksanaan eksekusi. ''Kami hanya ingin menegakkan hak-hak seorang 
terpidana,'' jelas Michdan lagi.

      Selain mengajukan uji material, Michdan mengulas banyaknya kejanggalan di 
balik proses sidang Peninjauan Kembali (PK) kliennya. Salah satunya 
transparansi dalam sidang, khususnya pemenuhan hak-hak kliennya.

      ''Saya hanya satu kali dipanggil mengikuti persidangan. Selain itu, kami 
menganggap aneh, lokasi persidangannya harus digelar di Denpasar. Padahal, 
klien kami berada di Nusakambangan,'' ujar pengacara yang berhobi mengenakan 
songkok haji itu.

      Michdan menambahkan, majelis seharusnya memberlakukan standarisasi dalam 
sidang PK. "Mereka seharusnya mengaca pada sidang PK yang dapat digelar sesuai 
dengan lokasi klien saya (Abu Bakar Baasyir, red) berada,'' jelas Michdan. 
Demikian juga sidang PK Tommy Soeharto yang tidak harus dilaksanakan di PN 
Jakarta Pusat, tetapi dapat diselenggarakan PN Cilacap -sesuai dengan 
permintaan Tommy. 

      Menurut Michdan, dengan adanya diskriminasi tersebut, tak berlebihan jika 
sidang PK Amrozi dkk melanggar prinsip-prinsip due process of law -yang menjadi 
roh transparansi sidang kasus-kasus pidana. ''Kalau ini dibiarkan, klien kami 
dapat menjadi korban persidangan yang tidak prosedural. Selanjutnya, bisa 
ditebak, bagaimana legalitas putusannya,'' kata Michdan.(agm/roy/uli)  

<<pdf_button.png>>

<<printButton.png>>

<<emailButton.png>>

<<00-AMROZYY.gif>>

Reply via email to